Ibu dari dari "Ratu Senam" Indonesia Rifda Irfanalutfhi, Yulies, datang ke Papua sendirian demi mendukung anaknya. Dia tidak peduli jarak ribuan kilometer, asal bisa melihat sang anak berlomba. Dukungan itu berbuah emas
Oleh
Kelvin Hianusa
·5 menit baca
Dalam lirik lagu “Kasih Ibu”, diceritakan kecintaan orangtua yang tak lekang oleh waktu. Di PON Papua 2021, kecintaan itu tidak hanya melawan waktu, tetapi juga jarak. Naluri para ibu dari atlet menggema di arena laga.
Arena Istora Papua Bangkit bergetar. Gemuruh datang dari tribun penonton. Mereka riuh menyambut “Ratu Senam” Indonesia Rifda Irfanalutfhi, yang sukses menyelesaikan final meja lompat dengan sempurna, pada Minggu (3/10/2021).
Di antara kelompok-kelompok penonton dari arah tribun, tampak Yulies Andriana (53) berdiri sendirian. Dia amat antusias menyaksikan final. Saat yang lain duduk, dia bersandar tepat di depan pagar pembatas tribun.
Yulies berada di titik paling depan untuk menyaksikan penampilan anaknya, Rifda, yang sukses mencuri hati seisi arena. Dengan handycam, dia juga merekam gerakan Rifda, mulai dari pemanasan hingga selesai lomba.
“Saya hampir tidak pernah absen menonton Rifda. Itu membuat saya hidup. Saya jadi tahu, tahun ini apa yang ingin dituju. Kalau orangtua lain mungkin cuman nunggu ambil rapor anaknya. Kalau saya menunggu pertandingan, Insyallah saya akan datang,” kata Yulies yang datang sendirian dari Jakarta.
Ibu dari “Ratu Senam” nasional ini biasanya selalu ikut rombongan tim. Tetapi, tidak saat PON Papua. Wanita berprofesi guru ini sempat memutuskan tidak ikut ke Jayapura karena harus mengurus ibunya, eyang Rifda, yang sedang sakit.
Namun, takdir berkata lain. Eyang Rifda meninggal sebelum PON. Yulies pun memutuskan untuk berangkat ke Jayapura. Karena tidak ada lagi akomodasi untuknya dalam tim DKI Jakarta, dia harus pergi sendirian dari Jakarta-Jayapura, tepat sehari sebelum Rifda bertanding.
Saya hampir tidak pernah absen menonton Rifda. Itu membuat saya hidup. (Yulies Andriana)
Yulies melewati perjalanan sekitar 4.000 kilometer demi menonton sang anak. Tak hanya itu, dia melewati segala keribetan naik pesawat pada era pandemi Covid-19, juga membawa tas cukup berat. Semua dilakukan wanita tua ini seorang diri. “Saya yang penting bisa berangkat. Masa anak saya bertanding tidak lihat,” ucapnya.
Tak ayal, Rifda begitu gembira berkat kejutan hadirnya sang ibu. Rasa bahagia itu terpancar dalam penampilang sang pesenam andalan “Merah Putih”. Dia menyapu bersih tiga emas sekaligus dalam tiga nomor yang diikuti, dua individu (meja lompat dan all-around) serta beregu. “Kalau ada bunda, aku mainnya lebih tenang,” katanya.
Di area tribun, kehadiran Yulies hanyalah ibarat setitik kecil jarum dalam tumpukan jerami. Namun, tidak untuk Rifda. Sang “Ratu Senam” langsung memalingkan wajah ke arah ibunya setiap selesai lomba. Dia menatap ke arah atas sambil melambaikan tangan, “Bunda…”.
Suasana arena yang penuh aroma persaingan di arena, mendadak hangat. Lambaian Rifda dibalas senyuman bangga sang ibu. Tak lama berselang, mereka kemudian bersatu di area lapangan dan saling berpelukan.
Yulies selalu ingin mendampingi karena sangat bangga dengan anaknya. Profesi atlet ini merupakan yang ditanamkannya sejak Rifda kecil. Sang ibu yang merupakan guru Sekolah Khusus Olahraga (SKO) Ragunan selalu mengajaknya berlatih segala macam olahraga, mulai dari renang, loncat indah, panjat tebing, hingga senam.
Saking bangganya, Yulies datang ke Arena Istora Papua Bangkit dengan menggunakan masker merah yang berasal dari kostum senam bekas milik Rifda. Dia menjahitnya sendiri untuk dipakai ketika Rifda berlaga.
Di sisi lain, kehadiran sosok sang ibu juga sudah seperti jimat bagi Rifda. Keampuhan jimat ini bermula pada SEA Games Singapura 2015. Ajang itu merupakan SEA Games pertama Rifda yang masih berusia 16 tahun.
“Di arena itu, hanya saya pendukung Indonesia yang nonton. Dia sempat tampil kurang bagus dan ngambek dengan saya. Namun, sebelum final senam lantai, dia berlari ke tribun lalu minta doa restu ke saya. Semua penonton langsung tepuk tangan saat itu,” cerita Yulies.
Lewat doa restu itu, Rifda meraih medali perak pertamanya di ajang multicabang Asia Tenggara tersebut. Indonesia juga mengakhiri paceklik medali berkepanjangan dari senam artistik putri. Di titik itu pula, “Ratu Senam” Indonesia mulai lahir.
Tak hanya Yulies, pelatih nasional Eva Butar Butar juga tidak mampu menyampingkan naluri ibunya. Dia yang merupakan pelatih tim putri DKI dalam PON Papua 2021, beberapa kali mengamati anaknya, Ken Nathaniel Ritung, yang membela tim putra DKI.
Setelah selesai mendampingi tim putri, Eva berjalan ke arah alat lomba tim putra. Meski merupakan pelatih nasional, Eva tidak ikut campur memberi instruksi kepada Ken. Dia hanya fokus menonton dan merekam aksi anaknya.
Eva yang terkenal perfeksionis dalam melatih juga tidak mengkritik anaknya seusai lomba. Mantan “Ratu Senam” ini justru langsung memeluk erat Ken ketika menyelesaikan rutin.
Senyumnya bermekaran seakan menjadi orang paling bahagia di seisi arena. Dia memang seorang pelatih tegas, tetapi dia berubah menjadi sosok ibu dalam momen tersebut. “Pas beberapa alat saya gak sempat lihat sama sekali, mumpung lagi sempat saya lihatin karena ini kan debutnya dia,” ucapnya.
Eva berbeda dengan Yulies. Dia lebih membebaskan pilihan untuk menjadi atlet ke sang anak. Tujuan Eva memperkenalkan Ken ke dunia olahraga hanya untuk melatih mentalnya.
“Saya sebenarnya bawa dia ke olahraga bukan untuk jadi atlet. Namun, olahraga itu bagus banget sih, semangatnya, untuk membekali mereka ke depan. Itu tujuan saya. Lebih ke spirit sangat positif. Dia kan sekarang sedang pulang Jakarta karena kuliah di Jerman sedang lockdown. Ke depannya saya hanya support semaksimal mungkin. Sisanya terserah dia,” jelas Eva.
PON Papua menggambarkan ajang pertarungan olahraga se-Indonesia ini bukan hanya tentang menang atau kalah. Seperti terjadi di arena lomba senam, terpancar kisah kecintaan ibu kepada anaknya yang menembus jarak dan waktu.