Eva Butar Butar datang bukan hanya sebagai pelatih senam artistik DKI. Pelatih nasional ini juga melirik bakat-bakat baru pesenam muda dari sejumlah daerah.
Oleh
Kelvin Hianusa
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS – Eva Butar Butar, pelatih senam artistik putri DKI Jakarta, punya misi berlapis di PON Papua 2021. Dia tidak hanya bertugas mendampingi tim Ibu Kota. Eva, yang juga menjabat pelatih nasional, menggunakan kaca matanya untuk memantau bibit baru pesenam putri dari semua daerah.
Eva sudah seperti ”setrika” di Arena Istora Papua Bangkit, tempat berlangsungnya lomba senam artsitik dari 1-4 Oktober 2021. Dia terus bergerak saat mendampingi empat pesenam DKI yang tampil di berbagai alat, bergantian. Mulai dari memberi instruksi di pinggir alat lomba, sampai memberi tos dan memeluk para atlet ketika menyelesaikan penampilan pada nomor rutin.
Menurut mantan ”Ratu Senam” Indonesia pada era 1980-an itu, PON kali ini jauh lebih berat dibandingkan dengan gelaran sebelumnya, Jabar 2016. Sekarang dia harus fokus mengawasi empat pesenam sekaligus. Tidak seperti lima tahun lalu ketika dia hanya fokus memegang atlet nasional binaannya, Rifda Irfanaluthfi.
”Saat ini tidak bisa hanya Rifda. Empat-empatnya mesti dijaga karena meng-handle satu tim. Memang harus kerja keras banget. Ternyata meng-handle satu atlet sama satu tim itu beda sekali,” kata Eva pada Minggu (3/10/2021).
Lelah itu terbayar dengan raihan dua emas DKI di nomor beregu putri dan all-around individu, pada hari pertama, Jumat kemarin. DKI mendobrak dominasi sebagai penguasa beregu selama 25 tahun terakhir. Saat bersamaan, Rifda yang disiapkan untuk SEA Games dan Asian Games tahun depan juga berjaya di all-around.
Namun, tugas Eva ternyata lebih berat lagi. Selain memantau empat anak asuhnya, dia juga mengamati seluruh pesenam putri di Istora Papua Bangkit. Sang pelatih nasional sedang mencari bakat-bakat baru untuk menjadi pelapis Rifda. Mengingat Rifda sekarang sudah berusia 21 tahun atau umur yang cukup tua bagi pesenam putri.
Saya datang ke sini juga untuk mencari bibit baru. Karena kami di Persani mau tim Indonesia semakin kuat. —Eva Butar Butar
Karena itu, Eva kerap melirik pesenam yang tampil di alat lain ketika sedang rotasi. Tak jarang, pelatih yang perfeksionis ini memberikan tepuk tangan untuk atlet dari daerah lain. Padahal, dia sedang mengenakan kaus polo oranye yang merupakan warna khas DKI.
”Pasti, saya datang ke sini juga untuk mencari bibit baru. Karena kami di Persani (pengurus cabang induk) mau tim Indonesia semakin kuat. Setelah SEA Games lalu (2019) yang kurang maksimal, kami ingin ke depannya tim nasional berjaya lagi,” jelas mantan pesenam yang pernah mengguncang Asian Games Seoul 1986 tersebut.
Eva sudah belajar banyak dari gelaran sebelumnya. Dia datang ke PON kali ini untuk mencari atlet yang benar-benar kuat dari sisi mental. Menurut dia, banyak pesenam yang tampil hebat di PON, tetapi tenggelam ketika berlaga di ajang internasional.
”Sering sekali di PON hebat, tetapi di internasional tidak kelihatan. Padahal, kalau ditampilkan mungkin tim kita kuat. Akan tetapi, ke mana spiritnya? Sayang banget. Ini tentu harus diubah pola pikirnya. PON bukan segalanya, tetapi itu hanya batu loncatan. Kapan kita mau ke Olimpiade kalau cepat puas dengan PON,” tambahnya.
Jarak antara Rifda dengan calon penerusnya masih begitu jauh. Ketika 16 tahun, Rifda sudah sukses meraih perak di SEA Games Singapura 2015. Adapun dia merupakan pesenam satu-satunya yang menyumbang medali nomor individu (2 emas, 5 perak, 2 perunggu) dalam tiga ajang SEA Games terakhir.
Sejauh ini, menurut Eva, salah satu remaja dengan potensi terbesar adalah atlet Jatim, Salsabila Hadi (17). Pesenam bertubuh ramping itu berbakat, tetapi masih harus dipoles lagi. Salsabila masih belum berbicara banyak pada hari pertama lomba, dengan finis peringkat ke-7 dalam all-around.
”Salsabila memang masih banyak yang harus dilengkapi. Tetapi, dia masih muda. Dia juga akan ikut SEA Games pertama tahun depan. Kalau bisa dibilang, dia itu yang ada di bawahnya Rifda saat ini,” pungkas Eva.
Di sisi lain, dua mantan siswa Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) Ragunan, Yogi Novia Laila (Jateng) dan Muthia Nur Cahya (Sulsel), juga terus dipantau perkembangannya. Dalam nomor all-around, Yogi tampil di bawah standar (peringkat ke-21), sementara Muthia cukup konsisten pada semua alat (peringkat ke-5).
Tugas berat ”kaca mata” Eva masih akan berlanjut dalam dua hari lagi. Pada Minggu dan Senin sore akan berlangsung final empat nomor individu. Setelah pernah menjadi ”Ratu Senam” dan melahirkan ratu baru dari sosok Rifda, Eva sedang dalam perjalanan menemukan bakat emas dari ”Bumi Cenderawasih”.