Fenomena heboh bonus Greysia/Apriyani dari pemerintah dan swasta tidak bisa mewakili kesejahteraan mayoritas atlet di Tanah Air. Bonus besar belum tentu bisa menjamin masa tua yang baik bagi para atlet berprestasi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Hadiah tanpa henti mendatangi ganda putri bulu tangkis, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu seusai meraih emas Olimpiade Tokyo 2020. Mulai dari pemerintah hingga swasta tergerak mengapresiasi prestasi mereka. Sesaat, profesi atlet di Indonesia tampak menjanjikan untuk bisa membuat hidup makmur.
Namun, kenyataannya, fenomena kasus Greysia/Apriyani hanyalah ibarat jarum kecil dalam tumpukan jerami. Ganda putri nasional ini cukup beruntung karena bisa meraih prestasi di ajang tertinggi. Di sisi tak terlihat, ribuan atlet Tanah Air lain yang belum mencapai prestasi tersebut masih sibuk mencari makna dari kata sejahtera.
Richard Sam Bera, mantan perenang nasional sekaligus olimpian, berkata, bonus besar kepada Greysia/Apriyani sama sekali bukan jaminan untuk kesejahteraan atlet. Bonus dari pemerintah itu justru dianggap cara paling instan dan mudah di dalam upaya memakmurkan hidup atlet.
“Bonus ini tidak mengarah kepada tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Ini hanyalah reward dari sebuah hasil. Kesejahteraan itu fokusnya di antara pertandingan-pertandingan tersebut. Bukan di ujungnya,” kata perenang yang tampil dalam tiga gelaran Olimpiade tersebut.
Kata Richard, kesejahteraan baru akan tercapai jika kebutuhan atlet terpenuhi dalam proses pembinaan. Nyatanya, fase sebelum bertanding justru seringkali menjadi momen tersulit bagi para atlet. Beragam masalah, seperti keterlambatan honor/gaji hingga besaran upah yang cenderung rendah sudah seperti menjadi garisan takdir.
“Jangankan ngomongin besaran upah, proses pencairannya saja sering kali belum teratur. Kita nggak bisa bicara kesejahteraan kalau gitu. Selama ini, kita hanya mencari jalan pintas. Di negara maju, bonus tidak besar, tetapi uang bulanannya sangat memadai untuk kehidupan mereka,” tambah mantan Ketua Umum Asosiasi Olimpian Indonesia (IOA) tersebut.
Hari Olahraga Nasional ke-38, pada 9 September 2021 lalu, menjadi momentum paling tepat untuk mengubah paradigma serba instan ini. Apalagi, Menteri Pemuda dan Olahraga baru saja meluncurkan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang targetnya mengubah tata kelola peningkatan prestasi dari hulu hingga hilir olahraga.
Di titik ini, kesejahteraan atlet adalah problem utama yang harus diselesaikan. Tanpa kesejahteraan, banyak bakat-bakat baru yang akan menjauhi olahraga. Prestasi tinggi pun hanya akan jadi mimpi siang bolong jika calon atlet tersebut tidak tertarik terjun ke dunia olahraga.
Paradoks di dunia atlet
Richard menggambarkan paradoks yang terjadi di kalangan olimpian. Ternyata, banyak mantan olimpian yang tidak merestui anaknya menjadi seorang atlet. Padahal, dia bisa sukses dari profesi tersebut.
“Kira-kira hanya kurang dari 5 persen yang anaknya menjadi atlet lagi. Nah kenapa? Karena mereka tahu, jaminan masa depannya itu tidak terlalu bisa diandalkan. Jangankan masyarakat umum, mantan atlet sendiri saja tidak mau,” ucap Richard.
Masalah ini, menurut Richard, mungkin bisa sedikit diredam dengan memberi jaminan hari tua atau uang pensiun untuk atlet. Setidaknya, para orangtua calon atlet tidak lagi khawatir berlebihan. Atlet jadi punya pegangan saat sudah tidak berkarier.
“Di sinilah letak pentingnya jaminan hari tua, bisa dipakai untuk merekrut atlet-atlet muda. Tetapi, saya berharap utamanya agar kesejahteraan atlet dalam proses pembinaan diselesaikan dulu. Dengan begitu, mereka bisa menjamin diri sendiri, tidak sepenuhnya mengandalkan pemerintah,” jelas mantan Ketua Umum Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tersebut.
Pemberian jaminan hari tua ini sudah menjadi wacana lama yang dibahas dalam revisi Undang Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) No. 3 Tahun 2005 di Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, revisi ini tak kunjung rampung.
Guru Besar Ilmu Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, Djoko Pekik Irianto, sependapat dengan prlunya pemberian jaminan hari tua. Menurut dia, perlu ada regulasi yang mengatur pemberian uang pensiun terhadap atlet. Profesi atlet patut dihargai karena mereka sudah mengorbankan masa mudanya untuk negara.
“Selama ini, mindset uang pensiunan kan harus PNS, karena ada regulasinya. Kalau untuk atlet belum ada. Itu yang perlu dicarikan dasar hukumnya. Mungkin, bisa ada otoritas keuangan yang mengatur khusus untuk jaminan hari tua atlet. Itu sangat mungkin dilakukan,” kata Djoko.
Hal berbeda disampaikan pengamat olahraga, Fritz E Simanjuntak. Baginya, tidak ada satu profesi pun di dunia yang bisa menjamin hari tua. Profesi itu termasuk atlet di dalamnya. Karena itu, jaminan hari tua bukanlah hal terpenting untuk memperbaiki kesejahteraan atlet.
Pertandingan, ucap Fritz, merupakan kunci dari kehidupan mapan atlet. Semakin banyak pertandingan, maka kian banyak pula kesempatan mereka mendapatkan uang. Atlet Indonesia kurang sejahtera karena minimnya pertandingan atau kompetisi.
“Atlet ini kan bukan profesi formal. Mereka harus bertanding dulu, menang, baru mendapat uang. Dari situ bisa kita lihat, bahwa untuk menjamin kesejahteraan ya paling penting perbanyak pertandingan, mulai level daerah, nasional, sampai internasional,” kata Fritz.
Di dalam kompetisi, tingkat kegagalan atlet sangatlah tinggi. Maka itu, penting untuk memperbanyak kompetisi agar semakin banyak kesempatan atlet menang. “Itu yang harus dipertimbangkan. Ini tugas induk cabang olahraga, KONI, juga pengurus daerah,” tambahnya.
Selama ini, mindset uang pensiunan kan harus PNS, karena ada regulasinya. Kalau untuk atlet belum ada. Itu yang perlu dicarikan dasar hukumnya. (Prof Djoko Pekik Irianto)
Daripada jaminan hari tua, Fritz lebih menyarankan ada sistem yang dibuat untuk memperbaiki masa depan atlet. Salah satunya, menyambungkan antara olahraga dengan pendidikan. Cara ini sudah dilakukan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura.
“DI AS, seorang atlet profesional itu diambil dari sekolah. Di Singapura, atlet diberikan pendidikan skill yang up to date misal perbankan. Makanya, banyak mantan atlet Singapura yang bekerja jadi eksekutif di bidang keuangan. Jadi, jauh lebih penting membangun sistem untuk mempersiapkan kompetensi mereka seusai pensiun,” ungkap Fritz kemudian.