Pengakuan Profesi Atlet Faktor Pemicu Prestasi
Profesi atlet belum diakui secara hukum sehingga lemah secara hukum dalam urusan jaminan kesehatan hingga sengketa pembayaran gaji.

Mantan Kapten Timnas Sepak Bola Indonesia Ponaryo Astaman
JAKARTA, KOMPAS — Profesi atlet belum diakui secara hukum sehingga lemah secara hukum dalam urusan jaminan kesehatan hingga sengketa pembayaran gaji. Secara tidak langsung, hal itu turut memengaruhi prestasi atlet nasional.
”Kalau profesi atlet tidak jelas, bagaimana mau bicara soal kesejahteraan atlet. Bagaimana atlet bisa fokus untuk mengejar prestasi,” ujar Ponaryo Astaman, Manajer Umum Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI), dalam webinar ”Prestasi dan Kesejahteraan Atlet dalam Desain Sistem Keolahragaan Nasional (SKN)” yang digelar Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (16/7/2020).
Ponaryo yang juga mantan kapten timnas sepak bola Indonesia mengatakan, profesi atlet belum diakui oleh negara dan belum sinkron dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal itu pun berimbas buruk terhadap atlet, termasuk pesepak bola di liga sepak bola nasional.
Salah satu contoh kasus adalah ketika APPI memediasi kasus tunggakan gaji 25 pemain Persegres Gresik (Jawa Timur) di Liga 1 tahun 2017 dengan dinas tenaga kerja setempat. Saat itu, upaya APPI ditolak dengan alasan tidak terdapat hubungan tenaga kerja antara pemain dan klub, hanya dinilai sekadar hobi.
Bahkan, berdasarkan data APPI, kasus tunggakan gaji atlet sepak bola profesional nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada lima tahun terakhir terdapat 5 kasus selama tidak ada kompetisi resmi pada 2016, 22 kasus pada 2017, 67 kasus pada 2018, 139 kasus pada 2019, dan 175 kasus hingga Juli 2020. ”Kondisi ini sangat memprihatinkan yang membuat atlet tidak bisa fokus untuk optimal mengejar prestasi,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2F20170606acib.jpg)
Kelompok pendukung Persegres Gresik yang menamakan diri Ultrasmania masuk ke lapangan di Gresik, 6 Juni 2017, karena kecewa atas kekalahan yang diderita tim mereka.
Atas dasar itu, lanjut Ponaryo, APPI berharap profesi atlet bisa mendapatkan pengakuan dalam Revisi UU No 3/2005 tentang SKN. Dengan demikian, diharapkan atlet bisa dinaungi oleh serikat pekerja, mendapatkan hak asuransi/jaminan kesehatan, jaminan hari tua, hingga kekuatan hukum ketika ada sengketa tunggakan gaji. ”Semua ini agar atlet bisa tenang untuk meningkatkan prestasi,” katanya.
Ruang kosong
Selain pengakuan terhadap profesi atlet, anggota DPR Komisi X Bidang Pendidikan, Olahraga, dan Sejarah, Mustafa Kamal, menuturkan, ada sejumlah ruang kosong yang perlu diisi atau diperkuat dari UU SKN. Sejatinya, UU SKN yang ada sudah mencakup semua permasalahan olahraga nasional.
Namun, ada poin-poin yang perlu ditambahkan untuk memperkuat UU tersebut sehingga tidak perlu dilakukan revisi terlalu besar. Misalnya mengenai pembagian kelompok olahraga dari olahraga pendidikan, rekreasi/masyarakat, hingga prestasi. Pembagian itu sudah ideal, tetapi belum bersinergi atau saling mendukung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Fb36010de-7865-44c9-b230-eeb8bd5ec9d0_jpg.jpg)
Petenis nomor satu Indonesia, Christopher Rungkat, menerima bola saat bertanding melawan Mohammad Rifqi Fitriadi dalam pertandingan final kompetisi internal Pelatnas Putra PP Pelti di Stadion Tenis Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
”Selama ini, pembagian kelompok olahraga itu berdiri sendiri-sendiri. Seharusnya olahraga pendidikan menjadi akar untuk mencetak bibit atlet, olahraga rekreasi/masyarakat untuk memopulerkan atau memperkuat pengembangan olahraga itu, dan keduanya bermuara ke olahraga prestasi,” ujarnya.
Untuk memperkuat sinergitas itu, pemerintah patut meningkatkan komitmen terhadap olahraga. Caranya, perlu peningkatan anggaran olahraga nasional yang selama ini masih kecil di kisaran 0,06 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (sumber Sekretariat Kementerian Pemuda dan Olahraga/Kemenpora) menjadi idealnya di kisaran 2 persen dari APBN, seperti masukan dari pengamat olahraga).
”Komitmen anggaran seperti itu agar olahraga dan profesi atlet tidak lagi dipandang sebelah mata. Agar ada keterlibatan lebih aktif dari kementerian/lembaga negara maupun swasta, antara lain lewat CSR (tanggung jawab sosial perusahaan). Agar kompatibel juga dengan UU Ketenagakerjaan,” katanya.
Peta jangka panjang
Menpora Zainudin Amali mengutarakan, pasca-era 1977-1997, prestasi olahraga Indonesia memang rapuh. Bahkan, prestasi Indonesia di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang merupakan prestasi semu. Ketika berada di peringkat keempat dengan 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu di ajang tersebut, raihan Indonesia sebagian besar atau 14 emas dan satu perunggu berasal dari cabang olahraga pencak silat yang belum tentu ada lagi pada Asian Games berikutnya.
Bahkan, walau prestasi meningkat dari peringkat kelima dengan 38 emas, 63 perak, dan 90 perunggu di SEA Games 2017 Malaysia menjadi peringkat keempat dengan 72 emas, 84 perak, dan 111 perak di SEA Games 2019 Filipina, raihan Indonesia itu dinilai bukan karena hasil pembinaan olahraga berkesinambungan, melainkan sisa prestasi atlet dari Asian Games 2018.
”Jujur saja, prestasi Indonesia di SEA Games 2019 bukan prestasi Kemenpora karena itu bukan hasil pembinaan prestasi berkesinambungan. Kita pun mendapatkan atlet berprestasi bukan hasil fabrikasi atlet,melainkan ditemukan karena ketidaksengajaan,” tuturnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Fe6ef77be-7195-4534-bb16-7cfafc45ed08_jpg.jpg)
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali (kiri) melantik Chandra Bhakti sebagai Deputi IV Bidang Peningkatakan Prestasi Olahraga Nasional Kemenpora secara permanen di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Untuk itu, dalam masa kepemimpinannya, Zainudin ingin fokus membuat peta jalan olahraga nasional untuk jangka panjang. Ia ingin membenahi fondasi olahraga Indonesia agar kuat dan berkelanjutan, bukan hanya temporer untuk mengikuti suatu ajang belaka.
Salah satu caranya mengusulkan revisi UU SKN. ”Jadi, di masa kepemimpinan saya, saya tidak bisa menjanjikan prestasi. Sebab, saya ingin fokus membenahi fondasi olahraga nasional agar kuat untuk jangka panjang. Saya ingin mewujudkan fabrikasi atlet berkelanjutan,” ujarnya.
Membenahi sistem
Dalam revisi UU SKN, tambah Zainudin, pihaknya mengusulkan perubahan sistem pembinaan yang berbasis dengan ilmu pengetahuan olahraga (sport science). Nantinya, mereka hanya fokus untuk membina cabang-cabang Olimpiade andalan Indonesia. Lalu, pembinaan atlet dilakukan berkesinambungan, antara lain tingkat SMP dan SMA di Sekolah Khusus Olahraga (SKO) di Cibubur, Jakarta Timur, serta tingkat mahasiswa dan senior di Kompleks Olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Kemudian, mereka mengusulkan kurikulum khusus untuk pelajar di SKO. Kurikulum untuk atlet pelajar harus disesuaikan dengan pola/jadwal latihan maupun bertanding mereka. Mereka harus dididik agar bisa berpikir secara cepat dan tepat guna mendukung performa dalam perlombaan/kejuaraan. Mereka pun harus mendapatkan pendidikan karakter agar memiliki jiwa nasionalisme atau militan untuk negara yang kuat dalam kejuaraan.
Selain itu, atlet juga harus mendapatkan pendidikan bahasa Inggris yang kuat. ”Ada persoalan sederhana yang berdampak besar dari para atlet Indonesia. Banyak atlet yang tidak menguasai bahasa Inggris sehingga bermasalah ketika melakukan protes dalam kejuaraan internasional. Bahkan, ada atlet yang ingin disekolahkan atau dikirim berlatih ke luar negeri, tetapi takut kalau pergi sendiri karena tidak bisa bahasa Inggris,” katanya.
Terakhir Zainudin mengutarakan, harus ada dukungan penuh untuk kesejahteraan atlet. Selain perlu ada peningkatan anggaran keolahragaan nasional, atlet harus diberikan kepastian untuk masa depannya ketika sudah pensiun sebagai atlet. Hal itu bisa dengan jaminan kuliah untuk modal masa depan, serta jaminan menjadi pegawai pemerintah (ASN) atau pegawai badan usaha milik negara (BUMN).
”Atlet maupun olahraga nasional sekarang mengalami dilema. Tidak pernah mendapatkan jaminan kesejahteraan, tetapi tuntutan prestasinya luar biasa. Bagaimana atlet mau tenang mengejar prestasi kalau jaminan kesejahteraan, terutama hari tua saja belum pasti,” tuturnya.
Menurut Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto, draf revisi UU SKN sudah selesai. Mereka tinggal melakukan konsultasi publik sebelum dipaparkan ke DPR RI. ”Kami berharap revisi UU SKN ini bisa disahkan pada Hari Olahraga Nasional 9 September, sebelum Pekan Olahraga Nasional Papua (yang dijadwalkan Oktober 2021,” katanya.