Fatamorgana Kesejahteraan Insan Olahraga
Terlepas membaiknya atensi pemerintah dan swasta, mayoritas insan olahraga belum sejahtera finansial. Sebagian atlet yang pernah mengharumkan bangsa bahkan dihantam kerasnya kehidupan akibat tak adanya jaminan hari tua.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2F74163764_1545926248.jpg)
Atlet angkat besi, Eko Yuli Irawan, melakukan angkatan saat berlomba di nomor 62 kilogram putra pada Asian Games 2018 di Jakarta International Expo, Jakarta, Selasa (21/8/2018). Kehidupan seusai pensiun sebagai atlet menjadi tantangan dan misteri besar bagi para atlet Indonesia, termasuk Eko Yuli.
JAKARTA, KOMPAS – Di balik ingar bingar pemberian bonus/hadiah bernilai miliaran rupiah dari pemerintah dan swasta kepada para peraih medali di Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo, mayoritas insan olahraga di Indonesia masih kesulitan merasakan kesejahteraan. Pemberian bonus besar, yang hanya sesaat ketika berprestasi, tidak cukup menjamin masa depan mereka bakal sejahtera setelah tidak lagi memberikan medali.
Meskipun tampil mewakili daerah atau negara, bahkan mampu mengibarkan “Merah Putih” di kancah internasional, kehidupan sebagian atlet aktif dan mantan atlet Indonesia tidak lebih baik dari buruh. Mereka harus bergulat mencari sumber nafkah baru dan tak jarang dianggap mengemis iba dan perhatian karena minimnya bekal menyambut hari tua saat masih berkarier dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Adriansyah Apandi, atlet lontar martil asal Lampung, misalnya, menyambi guru honorer di sela-sela profesi utamanya sebagai atlet yang membela DKI Jakarta. Padahal, ia pernah mendapat bonus Rp 280 juta dari pemerintah daerah setelah meraih medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) Jawa Barat 2016 dan perak di PON Riau 2012.
Baca juga : Atlet Bertahan Hidup Tanpa Gaji di Era Pandemi
Tambahan penghasilan bulanan Rp 2,5 juta dari mengajar sangatlah berharga baginya untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta maupun menafkahi istri beserta dua anaknya di Kalimantan Timur. Bonus maupun honor bulanan sebagai atlet daerah, yaitu Rp 4 juta—lalu naik menjadi Rp 8 juta per bulan mulai 2021—dianggapnya tidak cukup untuk bisa menjamin masa depannya maupun keluarga.

Atlet lontar martil asal Sumatera Barat, Rafika Putra, mengikuti mengikuti Kejurnas Atletik 2019 di Stadion Pakansari, Bogor, Senin (5/8/2019). Mayoritas atlet dari daerah seperti Rafika sangatlah berharap diangkat menjadi aparatur sipil negara untuk menjamin kesejahteraannya di hari tua.
“Jika tidak berprestasi, seperti tidak lolos PON, ya langsung dicoret (dari status atlet daerah). Kalau ada penghasilan tetap, pikiran kami pasti akan lebih fokus ke latihan dan prestasi. Saya harap pemerintah daerah bisa memperhatikan nasib kami, apalagi saya sudah mengabdi sebagai atlet sejak kecil,” ujar Adriansyah, yang berharap diangkat menjadi aparatur sipil negara atau PNS agar masa depannya lebih terjamin, saat ditemui awal September lalu.
Sejumlah mantan atlet berprestasi internasional bahkan terpaksa masih bekerja serabutan di masa senjanya. Hal itu antara lain dialami legenda bulu tangkis putri, Tati Sumirah. Salah satu pahlawan Indonesia saat meraih Piala Uber 1975 silam itu pernah bekerja sebagai kasir apotek dan staf perpustakaan sebuah perusahaan minyak pelumas di Jakarta.
Sakit-sakitan
Pensiunan atlet yang wajahnya diabadikan di kartu uang elektronik atau TapCash terbitan salah satu bank BUMN Indonesia saat Asian Games 2018 itu lantas sering berdiam diri dan sakit-sakitan sebelum tutup usia pada Februari 2020 lalu. Sebelum meninggal, sorak sorai penonton saat ia dan timnya memberikan Piala Uber pertama bagi Indonesia masih terngiang di benaknya. Ia lalu pergi selamanya dalam kesunyian.
Selama menjadi atlet, ia tidak pernah berpikir tentang hidupnya setelah pensiun karena fokus berlatih dan mengejar prestasi. “Saya sekarang jarang menonton bulu tangkis. Bikin sedih,” ujarnya mengenai kehidupannya setelah pensiun, dalam wawancara 2018 silam.
[embed]https://youtu.be/fS08_iDkSrU[/embed]
Menurut Richard Sam Bera, mantan perenang nasional sekaligus olimpian, bonus bukanlah jaminan untuk kesejahteraan atlet. “Bonus tidak mengarah ke tujuan meningkatkan kesejahteraan. Itu hanyalah reward dari sebuah hasil. Kesejahteraan itu fokusnya di antara pertandingan. Bukan di ujungnya (hasil),” kata perenang yang tampil di tiga edisi Olimpiade tersebut mendorong adanya sistem jaminan hari tua atlet, seperti dana pensiun.
Djoko Pekik Irianto, guru besar Ilmu Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, sependapat dengan perlunya jaminan hari tua bagi insan olahraga. Perlu ada regulasi yang mengatur pemberian dana pensiun untuk mereka. Profesi atlet patut dihargai karena mereka sudah mengorbankan masa muda dan produktif yang singkat untuk negara.
“Selama ini, paradigma (mendapatkan) uang pensiun kan harus (jadi) PNS karena itu ada regulasinya. Kalau untuk atlet belum ada. Itulah yang perlu dicarikan dasar hukumnya. Mungkin, ada otoritas keuangan yang mengatur khusus jaminan hari tua atlet. Itu sangat mungkin dilakukan,” kata Djoko.
Mendapatkan jaminan hari tua, seperti dana pensiun yang diterima kebanyakan profesi lain, menjadi harapan terbesar yang diungkapkan atlet aktif maupun mantan atlet dalam survei Litbang Kompas yang diikuti 330 responden dari 34 provinsi pada 1-10 September 2021 lalu. Dalam survei itu, mayoritas atau 54,2 persen responden mengaku belum sejahtera finansial.

Sebanyak 84,2 persen responden yang merupakan atlet aktif menyatakan tidak memiliki jaminan hari tua. Pada kelompok mantan atlet, jumlahnya juga masih sangat tinggi, yaitu mencapai 75,2 persen. Hanya 13,8 persen responden yang mendapat dana pensiun dari pemerintah. Mereka mayoritas adalah PNS. Tidak kalah mirisnya, ada 35,2 persen responden yang mengaku tidak punya asuransi kesehatan di tengah gencarnya upaya pemerintah menerapkan program jaminan kesehatan semesta.
Tak pelak, banyak mantan atlet berprestasi yang hidupnya terpuruk dan harus menjual harta bendanya untuk memulihkan diri saat cedera atau mengobati keluarganya ketika sakit parah. Hal itu antara lain dialami mantan pemain tim nasional sepak bola, Muhammad Nasuha; dan mantan atlet dayung peraih medali emas SEA Games, Leni Haini.
Baca juga : Leni Haini Mengelola Sekolah Dayung Bagi Kaum Pinggiran
“Masih banyak pemain yang belum dilindungi asuransi oleh klub yang sejatinya penanggung jawab para pemain itu. Dengan kenyataan itu, kami selalu mengingatkan ke seluruh pemain (sepak bola) untuk cermat dan teliti sebelum menandatangani kontrak. Jangan hanya lihat nilai kontraknya yang besar, tetapi hak-hak mereka juga harus terjamin dengan baik,” ujar Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) Firman Utina.
Minim asuransi
Menurutnya, hanya sekitar 20 persen dari 42 tim Liga 1 dan 2 Indonesia yang peduli dengan keselamatan dan kesejahteraan para pemainnya dengan menyertakan asuransi dalam klausul kontrak kerja. Tidak jarang pula klub-klub menunggak gaji pemainnya akibat masalah finansial. Kondisi itu mempersulit atlet dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk mengejar prestasi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_21082986_114_0-1.jpeg)
Zulham Zamrun, yang pernah membela tim nasional sepak bola Indonesia, menjalani fisioterapi untuk pemulihan cedera ligamen bagian depan saat membela Persib Bandung pada 2016 silam. Cedera dan ketiadaan asuransi dari klub menjadi momok bagi para pemain sepak bola profesional di Tanah Air selama ini.
Padahal, di negara-negara lain, perlindungan kesejahteraan atlet menjadi keniscayaan untuk menciptakan ekosistem kondusif dalam mengejar prestasi. Alih-alih mengumbar bonus besar, Korea Selatan, misalnya, memberikan dana pensiun bulanan hingga 1 juta won (Rp 12 juta) per bulan bagi setiap mantan atletnya yang berprestasi.
Kami mendambakan sistem yang bisa membantu pemain mempersiapkan diri jelang pensiun, misalnya pendidikan kepegawaian atau pelatihan wirausaha. (Firman Utina)
Tolak ukur prestasi untuk mendapat dana pensiun di Korsel tak hanya berupa raihan medali Olimpiade, melainkan juga Asian Games dan kejuaraan dunia. Agar adil, nilai besaran dana pensiun itu dilihat dari angka kredit kumulatif, seperti halnya profesi dosen, dengan angka maksimum 110. Peraih emas Olimpiade misalnya, mendapat kredit sebesar 90 poin, adapun juara Asian Games 20 poin. Mereka yang tidak meraih medali di ajang itu masih bisa mendapatkan poin, walaupun kecil.
Malaysia berikan pensiun
Langkah serupa dilakukan Malaysia. Komite Olahraga Nasional (NSC) Malaysia tengah mengusulkan perluasan skema pemberian dana pensiun bagi atlet-atlet nasional, tidak hanya peraih medali Olimpiade, ke parlemen. Untuk mengurangi beban anggaran pemerintah, skema pensiun itu menggunakan dana abadi yang melibatkan investasi sektor swasta, seperti halnya di Inggris. Selain menjamin kesejahteraan atlet di masa tua, kebijakan itu bisa membuat profesi atlet lebih atraktif.

Di sisi lain, perlu pula ada semacam pendampingan atau pembekalan soft skill bagi atlet agar mereka bisa melanjutkan kariernya di bidang pekerjaan formal atau berwirausaha ketika tidak lagi berlaga. Bukanlah rahasia jika mantan atlet kesulitan mencari pekerjaan formal dan mengelola pendapatannya saat masih berprestasi. Tidak sedikit yang terlunta-lunta akibat berfoya-foya atau terjerat narkoba ketika masih jaya.
Pembekalan yang sinergi dengan dunia akademik itu sudah menjadi kelaziman di negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Singapura. Banyak mantan atlet di negara itu yang lalu melanjutkan kariernya sebagai teknokrat, akademisi sains olahraga, atau manajer di perusahaan ternama.
"Kami mendambakan sistem yang bisa membantu pemain mempersiapkan diri jelang pensiun, misalnya pendidikan kepegawaian atau pelatihan wirausaha. Jadi, kami ingin pemerintah melindungi para atlet dengan memberikan kesempatan karier setelah pensiun yang sesuai dengan kemampuan mereka,” ucap Firman, yang gantung sepatu usai membela Kalteng Putra di Liga 2 2018.
Baca juga : Pengakuan Profesi Atlet Faktor Pemicu Prestasi
Masalah kesejahteraan atlet, ungkap Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, kini menjadi prioritas dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (RUU SKN). Dalam sejumlah pasal yang diusulkan DPR ke pemerintah, ungkapnya, diatur tegas soal kesejahteraan atlet dan keluarganya, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua.

Ketua DPR RI Puan Maharani (tengah) menerima laporan pendapat fraksi terhadap RUU usul inisiatif Komisi X DPR RI tentang perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dalam Rapat Paripurna ke-16 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/4/2021). RUU SKN yang baru menjadi tumpuan harapan untuk perbaikan kesejahteraan dan prestasi atlet Indonesia.
Demi mewujudkan itu, Panitia Kerja RUU SKN Komisi X DPR mengusulkan pemerintah meningkatkan anggaran olahraga sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) per tahun. Sebelumnya, anggaran itu hanya kurang dari 1 persen atau Rp 1,18 triliun pada 2020. “DPR berharap seluruh pihak, terutama Kementerian Keuangan, memberikan perhatian ke olahraga. Hal itu demi meningkatkan prestasi olahraga serta menarik minat lebih banyak generasi muda untuk berkarier sebagai atlet,” ucapnya.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali sependapat, pemerintah pusat dan daerah harus mengubah paradigma bahwa anggaran olahraga bukan pengeluaran semata, melainkan juga investasi, terutama untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Maka, selain lewat revisi UU SKN, pemerintah telah meluncurkan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 pada peringatan Hari Olahraga Nasional ke-38, Kamis (9/9/2021) lalu.
Untuk menerapkan DBON, khususnya terkait pengembangan industri olahraga, pemerintah telah menggandeng Kamar Dagang dan Industri (Kadin). “Lewat DBON, kami bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait untuk meningkatkan prestasi olahraga dari hulu hingga hilir. Bersama Kementerian Dalam Negeri, kami mendorong pemerintah daerah lebih perhatian kepada pembinaan olahraga di daerahnya, berkaitan dengan fasilitas hingga apresiasi/kesejahteraan,” ujar Zainudin. (KEL/DRI/SAN/NDU/YOG/AVN/YOS/JON)