Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan kehidupan atlet nasional. Akibat kehilangan panggung berkarya, nyaris sepanjang tahun, mereka dipaksa hidup prihatin. Menguras tabungan dan kerja serabutan kini jadi keseharian mereka.
Oleh
KELVIN HIANUSA, ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR AKUN APPI DI YOUTUBE
Ugik Sugiyanto, pemain klub Liga 2, PSCS Cilacap, mempersiapkan produk dagangannya, kelapa muda, di kediamannya, beberapa waktu lalu. Ia terpaksa beralih profesi menyusul terhentinya kompetisi sepak bola akibat pandemi Covid-19.
Akhir tahun ini bagaikan mimpi buruk bagi pebasket putri profesional, Dita Pramesti (25). Momen pergantian tahun biasanya dipenuhi dengan euforia berlatih untuk memasuki musim kompetisi baru. Tahun ini, akibat pandemi Covid-19, hanya ada kegamangan, yaitu bagaimana bertahan hidup di hari baru tanpa gaji dari klub.
”Seharusnya, tanggal-tanggal ini sudah masuk persiapan musim baru. Namun, sekarang berbeda. Tim sudah dibubarkan sejak Maret. Pemilik (klub) menyurati kami tidak mampu membayar kontrak (kerja). Sejak itu, saya hanya bisa mencoba bertahan dengan mencari peluang usaha lain,” ujar pebasket dari klub Merpati Bali itu, Senin (28/12/2020).
Akibat pandemi, kompetisi utama bola basket putri, Piala Srikandi, dihentikan sebelum selesai. Sejak itu, klub-klub pun mulai membubarkan tim. Kontrak pemain dan pelatih pun diputus sementara karena kompetisi yang mati suri.
Awalnya, ungkap Dita, keputusan mendadak itu sangat berat diterimanya.
Naasnya, mati surinya turnamen basket itu bersamaan dengan kondisi ayahnya yang terkena stroke. Dita kehilangan penghasilan utamanya di tengah kebutuhan biaya tinggi untuk perawatan ayahnya yang terbaring sakit.
”Setelah papa sakit, saya coba cari usaha lain, yaitu mencoba jualan nugget (ayam olahan) lewat daring. Selama tiga bulan sangatlah berat kondisinya karena harus membiayai perawatan papa sekaligus makan sehari-hari untuk keluarga. Papa akhirnya meninggal,” ujarnya lirih.
KOMPAS/KELVIN HIANUSA
Pemain Merpati Bali, Tania Rasidi, berupaya melewati hadangan pemain-pemain GMC Cirebon pada seri kedua Piala Srikandi, Rabu (12/2/2020), di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan. Kompetisi bola basket putri itu terpaksa terhenti dan tidak tuntas akibat pandemi Covid-19.
Namun, berjualan makanan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Jualannya kurang laku. Namun, hal itu tidak memupus asa dan upaya wanita dari enam bersaudara itu untuk terus mencoba berbagai cara menafkahi keluarganya.
Dita pun kini beralih ke bisnis baru, yaitu berjualan makanan ringan, pangsit, dan martabak pisang. Bisnis lewat daring itu ternyata lebih menjanjikan dibandingkan jualan sebelumnya. Sambil berjualan, dia juga mencari tambahan dari melatih basket.
Tantangan serupa dirasakan pelari putri asal Sumatera Barat, Juni Ramayani (28). Ia terpaksa menguras tabungannya bertahun-tahun menyusul terhentinya banyak kejuaraan atau lomba lari di Tanah Air.
TANGKAPAN LAYAR INSTAGRAM
Pelari Juni Ramayani dan rekan-rekannya sesama atlet berpose menjelang Borobudur Marathon 2020, November lalu. Kejuaraan lari semacam itu menjadi andalan atlet lari seperti Juni mendapatkan penghasilan.
Mengandakan uang lomba
Bagi Juni, uang hasil lomba adalah sumber penghasilan utamanya mengingat ia bukan atlet pemusatan latihan daerah (pelatda) ataupun nasional (pelatnas) yang mendapatkan gaji alias uang saku bulanan dari pemerintah. Dia juga bukan pegawai negeri sipil (PNS) yang penghasilannya terjaga.
Sehari-harinya, Juni hanya pegawai kontrak di salah satu bank milik negara di Jakarta Pusat dengan penghasilan Rp 5,3 juta per bulan. Penghasilannya itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya tinggal di Jakarta seraya membantu orangtua di kampung halaman.
”Kalau dulu menabung, sekarang terpaksa memecah (tabungan). Impian untuk membuka usaha pun terpaksa ditunda agar bisa bertahan selama pandemi ini,” ungkap Juni dihubungi terpisah.
Apa saja dikerjakan guna mencari penghasilan lain, seperti jualan es kelapa muda.
Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ia biasa mendapatkan tambahan uang Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan dari lomba lari. Bahkan, ia pernah mendapatkan Rp 60 juta dari sebuah lomba.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ekspresi haru atlet lari putri seusai melintasi garis finis Borobudur Marathon 2020, 15 November lalu. Tahun 2020, yang diwarnai pandemi Covid-19, menjadi ujian terberat para atlet nasional dalam bertahan hidup. Banyak dari mereka kehilangan pemasukan akibat terhentinya kompetisi.
Tahun ini, ia hanya bisa sekali ikut lomba lari, yaitu Borobudur Marathon 2020. ”Selain dapat uang tampil Rp 2 juta per atlet dan tidak mengeluarkan biaya, lomba ini juga penting untuk mengembalikan mental bertanding sekaligus bahan evaluasi diri setelah lama vakum bertanding,” ujar Juni.
Membuang gengsi
Pandemi telah memaksa para atlet di Tanah Air memaknai prinsip paling hakiki seluruh makhluk, yaitu bertahan hidup. Tidak heran, demi insting itu, mereka membuang rasa gengsinya jauh-jauh.
Hal itu, antara lain, dilakukan Ugik Sugiyanto (38), pemain sepak bola yang membela klub Liga 2 Indonesia, PSCS Cilacap. Atlet senior yang telah menjalani 300 laga dan biasa dielu-elukan ribuan penonton saat mencetak gol itu kini menepi di pinggir jalan. Untuk membuat asap di dapur rumahnya tetap mengepul, ia berjualan es kelapa muda.
”Kebetulan, rumah di pinggir jalan dan bisa buka usaha. Apa saja dikerjakan guna mencari penghasilan lain, seperti jualan es kelapa muda,” ujar Ugik, anggota Komite Eksekutif Asosiasi Pesepak-bola Profesional Indonesia (APPI).
[embed]https://youtu.be/KURKX9qjLqg[/embed]
Menurut dia, sangat banyak pesepak bola nasional yang harus banting setir, seperti kerja serabutan atau merintis wirausaha kecil-kecilan demi menyambung hidup. Hal itu dilakukan menyusul dihentikannya seluruh kompetisi sepak bola nasional sejak Maret lalu.
Akibatnya, gaji pemain sepak bola sepertinya dipangkas, yaitu terakhir hanya tersisa 10 persen dari nilai kontrak awal.
”Jumlah pemasukan saat ini tidak sebanding pengeluaran,” ujar Miftahul Hamdi, pemain sepak bola lainnya yang kini mengandalkan pemasukan dari hasil jualan kue istrinya dan membantu usaha ayahnya.
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang kompetisi sepak bolanya tidak bisa dilanjutkan pada tahun ini. Situasi miris yang dialami para atlet itu bahkan telah menyita perhatian FIFPro, organisasi global yang menaungi para pesepak bola dunia, seperti Cristiano Ronaldo.
”Kami prihatin dan frustrasi melihat kegagalan federasi di Indonesia menerapkan standar minimal kontrak. Itu membuat mereka (pemain) kian rentan dalam kondisi krisis saat ini,” ujar Direktur Hukum FIFPro Roy Vermeer dalam keterangan resminya. (JON)