Setengah Hati Mengelola Kompetisi
Ketidakpastian penyelenggaraan Liga 1 Indonesia di masa pagebluk saat ini adalah bukti nyata pengelolaan kompetisi sepak bola yang masih setengah hati. Para pemain dan pelatih pun menjadi pihak yang paling menderita.
Pandemi Covid-19 menunjukkan pengelolaan kompetisi sepak bola di Indonesia kian tertinggal dari negara-negara tetangga. Batal digelarnya kelanjutan Liga 1 dan Liga 2 Indonesia memang akibat tidak adanya izin keramaian dari Kepolisian Negara RI.
Akan tetapi, di sisi lain, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) juga gagal meyakinkan pemerintah dan publik melalui pelaksanaan kompetisi yang baik lewat peta jalan yang jelas dan berkesinambungan.
Di kawasan Asia Tenggara, hanyalah Indonesia yang tidak mampu merampungkan kompetisi di 2020. Sayangnya, kevakuman kompetisi itu tidak serta merta dijadikan momen introspeksi para pemangku kepentingan sepak bola nasional untuk memperbaiki berbagai aspek yang belum sempurna dalam penyelengaraan liga selama ini.
Pelaksanaan kompetisi sepak bola nasional, setiap tahunnya, ibarat adagium ”tiba masa, tiba akal”. PSSI dan operator liga hanya menjalankan kompetisi dengan prinsip business as usual. Nyaris tidak ada inovasi dan perbaikan sistem berkala demi meningkatkan kualitas dan pamor kompetisi secara regional.
Baca juga : Pemain dan Klub Jadi Korban
Liga 1 telah tertinggal dari kompetisi negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, yang sudah mengikuti jejak kompetisi elite di Eropa. Mereka kini lebih maju dalam hal fasilitas infrastruktur, pengelolaan klub, kompetisi yang berorientasi bisnis berkelanjutan, dan penerapan teknologi guna memudahkan tugas wasit seperti penggunaan alat komunikasi dan asisten wasit peninjau video (VAR).
Cilakanya pula, saat liga terhenti, PSSI dan PT LIB justru belum memiliki bayangan yang pasti tentang format dan jadwal kompetisi di tahun 2021. Hal itu sangat kontras dengan pengelolaan kompetisi di tiga negara tetangga tersebut yang telah memiliki jadwal pasti serta sejumlah rencana aksi bagi kompetisi di musim 2021 yang masih dibayangi pandemi.
Sebagai sebuah produk industri sepak bola, kepastian pelaksanaan liga tentu dapat meningkatkan ketertarikan sponsor untuk berinvestasi demi membiayai jalannya kompetisi. Di sisi lain, pemain, pelatih, dan klub juga mengharapkan kejelasan tentang nasib mereka yang serba tidak menentu di masa pagebluk ini.
Baca juga : Klub Masih Menunggu Kepastian
Kontroversi wakil di AFC
Dampak pengelolaan liga yang setengah hati juga terlihat ketika PSSI dihadapkan pada tuntutan untuk menentukan wakil Indonesia di kompetisi antarklub Asia, yaitu Piala AFC, musim 2021. Kevakuman kompetisi menjadi alibi PSSI, melalui hasil rapat komite eksekutif (exco), untuk menunjuk secara sepihak Bali United dan Persija Jakarta sebagai duta Indonesia. Hal itu didasari hasil kompetisi tahun 2019.
Penunjukkan sepihak itu pun memicu kekisruhan. Persoalannya, dalam regulasi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), tidak ada jatah bagi runner-up Piala Liga, dalam hal ini Persija. Apabila juara Piala Liga Indonesia 2018-2019, PSM Makassar, gagal memenuhi persyaratan, maka semestinya tim di peringkat kedua atau ketiga Liga 1 2019 yang berhak mengisi satu jatah itu.
Alhasil, keputusan PSSI menunjuk Persija itu diprotes keras Persipura yang menduduki peringkat ketiga Liga 1 2019. Persipura lantas melayangkan protes resmi ke AFC.
Dalam surat balasannya, AFC menganulir keputusan PSSI. Persipura dinilai AFC tim yang tepat mendampingi Bali United tampil di Piala AFC yang direncanakan bergulir mulai Maret 2021. Terkait keputusan AFC itu, PSSI pun berkilah penunjukkan Persija itu disebabkan tidak pahamnya sebagian besar anggota Exco PSSI akan regulasi AFC.
Kompetisi antarklub Asia, seperti Piala AFC, sejatinya merupakan etalase perkembangan sepak bola nasional di level internasional. Hal itu ditunjukkan Myanmar dan Filipina yang mampu mengejutkan publik di Tanah Air melalui kemampuan klub-klubnya menyaingi empat negara kuat di Asia Tenggara, yaitu Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam. Padahal, sesungguhnya, kemajuan di kedua negara itu tidaklah instan.
Penampilan meningkat tim nasional Myanmar dan Filipina dalam satu dekade terakhir merupakan dampak dari penampilan konsisten klub mereka di Piala AFC. Malaysia, lewat wakilnya, Johor Darul Ta’zim, bahkan telah merasakan menjadi kampiun Piala AFC pada 2015.
Sementara itu, klub-klub Vietnam sudah rutin lolos hingga babak final Piala AFC zona Asia Tenggara. Lalu, klub-klub asal Thailand rutin tampil di panggung elite, Liga Champions Asia. Adapun klub-klub Liga 1 baru rutin tampil lagi di Piala AFC pada tiga edisi terakhir.
Padahal, tampil di level Asia merupakan bukti nyata prestasi dan profesionalitas klub di Tanah Air. Pasalnya, untuk berlaga di kompetisi yang diselenggarakan AFC, sebuah klub harus lulus berbagai kriteria ketat lisensi klub profesional, yaitu di antaranya terkait infrastruktur, keuangan, kepengurusan, dan pembinaan usia dini.
Pecinta sepak bola Tanah Air sudah bosan menyaksikan anomali tim-tim Indonesia, yaitu tampil menawan saat bermain di kompetisi domestik, tetapi melempem di turnamen internasional.
Sayangnya, meskipun telah tiga kali berganti nama kompetisi sejak musim 1994-1995, yaitu mulai dari Liga Indonesia, Liga Super Indonesia, hingga Liga 1, tidak ada perubahan signifikan dari pengelolaan klub profesional di Tanah Air. Sebagai contoh, hanya 7 klub dari 18 kontestan Liga 1 2020 yang memenuhi standar klub profesional AFC untuk edisi 2021.
Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Liga Myanmar misalnya, punya 15 klub profesional yang memenuhi kriteria AFC. Begitu pula Thailand yang memiliki 12 klub profesional dari 16 kontestan di liga utamanya. Adapun 8 dari 12 klub di Liga Super Malaysia punya standar yang sama.
Jika dirata-ratakan, sebanyak 65 persen dari klub-klub di liga kasta tertinggi negara-negara tetangga itu telah diakui sebagai klub profesional oleh AFC. Sementara, di Tanah Air, hanya 38 persen klub Liga 1 yang mampu memenuhi standar itu. Realitas ini tentunya menghadirkan tanda tanya terkait proses verfikasi klub profesional yang rutin dilakukan PSSI setiap menjelang bergulirnya musim baru Liga 1.
Baca juga : Pijakan Awal Klub di Era Industri
Eksodus massal
Di sisi lain, vakumnya kompetisi membuat pemain dan pelatih kesulitan dalam hal ekonomi maupun menjaga performanya. Kondisi itu mendorong sejumlah pemain dan pelatih, baik lokal maupun asing, mengakhiri kontraknya dengan klub Liga 1 demi bisa melanjutkan karier di luar negeri yang telah memiliki kejelasan kompetisi.
Para pemain nasional, seperti Ryuji Utomo, Todd Rivaldo Ferre, dan Syahrian Abimanyu, memilih ”menyelamatkan” kariernya dengan menerima tawaran, yaitu masing-masing dari Penang FA (Malaysia), Lampang FC (Thailand), dan Johor Darul Ta\'zim (Malaysia).
Adapun Sergio Farias, pelatih asal Brasil, meninggalkan Persija. Eksodus serupa dilakukan para pemain asing seperti Makan Konate dan Bruno Da Silva yang hijrah ke klub Malaysia, Terengganu FC. Total, ada 30 pemain asing yang pergi dari klub Liga 1 setelah kompetisi gagal dilanjutkan Oktober lalu.
Eksodus massal itu belum akan berakhir mengingat kontrak mayoritas pemain Liga 1 berakhir pada akhir bulan ini. Ketidakjelasan kapan bergulirnya kompetisi pada 2021 mendatang bakal menambah kegundahan pelatih dan pemain serta mendorong mereka mencari sumber periuk lainnya.
Kehilangan para pemain bintang tentunya akan menurunkan daya tarik Liga 1 musim 2021. Mayoritas klub Indonesia memang memiliki pendukung fanatik yang selalu bersedia menyaksikan tim kesayangannya di stadion. Namun, berkurangnya pemain bintang akan mengurangi kualitas kompetisi dan ketertarikan pihak sponsor.
Maka itu, sudah sepatutnya PSSI dan PT LIB menjadikan musim pandemi sebagai momentum berintropeksi diri untuk mengejar ketertinggalan kualitas dari kompetisi negara-negara tetangga. Pecinta sepak bola Tanah Air sudah bosan menyaksikan anomali tim-tim Indonesia, yaitu tampil menawan saat bermain di kompetisi domestik, tetapi melempem di turnamen internasional.
Hal itu berimbas pula kepada penampilan timnas yang semakin sulit bersaing di level Asia Tenggara.