Atlet Daerah Mendamba Nasib seperti Atlet Nasional
Para atlet daerah bermimpi diperlakukan seperti atlet nasional yang cenderung lebih terjamin kesejahteraannya. Perhatian untuk olahraga di daerah berbeda-beda, sehingga kerap memicu "pembajakan" atlet jelang PON.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Atlet lontar martil dan lempar cakram yunior, Syachrina Priandany, mengikuti sesi latihan dengan menggunakan bola beban di tempat latihan atlet Pelatnas Atletik di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Kesejahteraan atlet nasional saat ini sudah semakin membaik. Pemerintah maupun swasta memberikan bonus berlimpah hingga jaminan hari tua acap kali mereka meraih prestasi internasional. Namun, hal itu belum dirasakan sebagian atlet daerah. Padahal, mereka adalah akar rumput pembinaan olahraga Indonesia yang menjadi cikal-bakal atlet nasional.
Hal itu antara lain dialami atlet lontar martil DKI Jakarta, Adriansyah Apandi. Dia adalah atlet kelahiran Bandar Lampung, Provinsi Lampung, 21 Juli 1990. Tetapi, sejak masuk SMA Negeri Ragunan/Sekolah Olahraga Ragunan, Jakarta Timur, pada 2005, anak Betawi keturunan Lampung ini menghabiskan masa kecilnya hingga sekarang di ibu kota RI tersebut.
Pengabdiannya untuk daerah kelahiran ayahnya ini, antara lain berbuah medali emas lontar martil sekaligus rekor PON dengan jarak 52,28 meter di PON Jawa Barat 2016 dan perak di PON Riau 2012. Oleh Pemprov DKI Jakarta, prestasi itu dihargai bonus Rp 200 juta untuk emas dan Rp 80 juta untuk perak.
Selebihnya, belum ada apresasi seperti pengangkatan sebagai aparatur sipil negara (ASN/PNS) . ”DKI Jakarta terakhir kali mengangkat atlet daerah berprestasi menjadi PNS itu pada 2010,” ujar Adriansyah saat ditemui usai latihan di Stadion Madya Senayan, Jakarta Pusat, awal September lalu.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Atlet lontar martil putra Papua, Frans Corneles de Boer (21), berlatih di Stadion Madya Senayan, Jakarta, Rabu (11/2/2015) silam.
Tidak ada jaminan
Selama bergabung dengan pelatda DKI Jakarta, Adriansyah tidak memiliki jaminan untuk terus berada di sana. Dia hanya otomastis dimasukan ke dalam pelatda usai mendapatkan medali di PON. Di pelatda, penghasilan yang didapatnya bertahap mulai dari Rp 4 juta sebulan pada 2017 menjadi Rp 8 juta per bulan saat memasuki tahun ini.
Kalau sewaktu-waktu prestasinya menurun, seperti gagal lolos kualifikasi PON, Adriansyah dan atlet lainnya bisa ditendang atau dikeluarkan sewaktu-waktu. ”Pelatda ini tidak ada kontraknya, tetapi masuk otomatis karena prestasi di PON sebelumnya. Kalau tidak berprestasi, seperti tidak lolos PON, yah langsung dicoret,” kata atlet yang pernah masuk pelatnas pada 2007-2011 tersebut.
Belum lagi, pelatda terkadang tidak dilakukan berkesinambungan selama empat tahun sebelum PON, melainkan hanya beberapa bulan jelang ajang itu. Menjelang PON Papua pada 2-15 Oktober mendatang misalnya, Adriansyah baru melanjalani pelatda terpusat selama tiga bulan terakhir.
Maka itu, untuk menyambung hidup, Adriansyah menjadi guru kontrak di SMA Ksatrya Jakarta Pusat sejak 2017 atau selepas lulus Pendidikan Kepelatihan di Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Jakarta, pada 2016. Penghasilan yang diterimanya sekitar Rp 2,5 juta per bulan, plus intensif dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sekitar Rp 500.000 per bulan.
Kompas/AGUS SUSANTO
Lifter Sarah KBB (kelas 59 kilogram) menjalani pemusatan latihan daerah (pelatda) PON 2020 cabang angkat besi Jawa Barat di Gedung Kesegaran Jasmani, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (3/7/2020). Mereka menargetkan lima medali emas dalam PON 2020 mendatang di Papua.
”Penghasilan ini untuk hidup sehari-hari di Jakarta dan menafkahi keluarga, dua anak dan seorang istri, yang tinggal di Kalimantan Timur,” katanya.
Berpisah dengan keluarga
Adriansyah menyampaikan, penghasilannya sebagai guru tergolong pas-pasan. Untuk itu, dia memilih hidup terpisah dengan keluarga. Sejak menikah pada 2016, dia memilih tetap di Jakarta, sedangkan istrinya di Kalimantan Timur. Ketika kedua anaknya lahir, mereka pun tetap hidup terpisah. Sekarang, anak pertamanya berusia empat tahun dan anak keduanya dua tahun.
Pilihan hidup berjauhan ini untuk menjaga karier istrinya sebagai ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kalimantan Timur. Adapun istrinya mantan atlet taekwondo dan diangkat sebagai ASN oleh daerahnya sejak 2016.
Bersama Kementerian Dalam Negeri, kami mendorong pemerintah daerah lebih memperhatikan pembinaan olahraga di daerahnya, berkaitan dengan fasilitas hingga apresiasi/kesejahteraan. (Zainudin Amali)
Mereka praktis hanya bertemu enam bulan sekali sebelum pandemi Covid-19. ”Sayang karier istri kalau dia harus diboyong ke Jakarta sekarang, sedangkan saya masih belum punya pekerjaan tetap. Kecuali, kalau saya sudah memiliki pekerjaan tetap di Jakarta, seperti jadi PNS, mungkin istri dan anak-anak langsung saya boyong ke sini,” tuturnya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para atlet dayung Pelatda Banten mengikuti latihan di Situ Cipondoh, Tangerang, Banten, Jumat (15/1/2021). Saat ini para atlet dayung Banten mulai berlatih rutin 6 hari dalam seminggu sebagai bagian dari persiapan untuk berlaga di Pekan Olah raga Nasional (PON) XX Papua pada Oktober 2021 mendatang.
Bagi Adriansyah, kepastian pekerjaan tetap sangat penting untuk menjaga semangat dan fokus atlet dalam berlatih maupun mengejar prestasi. Apalagi, menjadi atlet tidak selamanya. Prestasi mereka bisa terhenti karena usia yang semakin menua atau akibat cedera.
”Kalau ada kerja tetap, pikiran akan lebih fokus ke latihan dan prestasi. Kalau belum ada kerja tetap, pasti kepikiran ke mana-mana, bagaimana memberi nafkah untuk keluarga. Saya berharap sekali pemerintah daerah bisa memperhatikan nasib kami. Apalagi, kami sudah mengabdi sebagai atlet sejak kecil," ujar Adriansyah yang telah berusia 31 tahun atau usia mendekati masa pensiun sebagai atlet.
Memicu perpindahan atlet
Wakil Sekretaris Jenderal II Bidang Hukum KONI Pusat Othniel Mamahit mengatakan, selama ini, perhatian pemerintah daerah kepada atletnya amat minim. Daerah hanya peduli ketika akan menghadapi PON. Di masa seperti itu, mereka mau menggelontorkan anggaran berlimpah demi gengsi daerahnya.
Mirisnya, karena tidak mau anggaran yang sudah digelontorkan sia-sia, banyak daerah yang memilih jalan pintas dengan merekrut atlet matang atau yang sudah jelas berpengalaman berprestasi dari daerah lain. Atlet itu ditawarkan bonus besar hingga iming-iming kerja tetap atau diangkat ASN di daerah yang mau merekrutnya tersebut.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tim sepak takraw putri Provinsi Sulteng untuk PON XX Papua berlatih tanding dengan salah satu klub takraw putra di gelanggang olahraga di Palu, Sulteng, Kamis (10/9/2021).
Bak gayung bersambut, karena desakan ekonomi, atlet rela berpindah dari satu daerah ke daerah lain setiap menjelang PON. ”Kondisi ini tidak sehat karena membuat pembinaan di daerah tidak berjalan dengan seharusnya dan atlet yang berprestasi di PON hanya itu-itu saja. Padahal, pelatda ataupun PON diharapkan menjadi wadah mencetak bibit baru atlet nasional,” katanya.
Menurut Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, kesejahteraan atlet nasional atau yang berada di pelatnas menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan untuk atlet daerah atau yang berada di pelatda menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Ketentuan itu tertuang di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Faktanya, Zainudin tidak menafikan bahwa masih ada daerah yang kurang memberikan perhatiannya kepada dunia olahraga. Dalam UU SKN, daerah hanya diwajibkan memberikan perhatikan ke pembinaan olahraga, tetapi tidak ada sanksi bagi yang tidak menjalankan kewajibannya.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.
Fenomena itu coba dibenahi dalam revisi UU SKN yang masih digodok di DPR. Setidaknya, pemerintah sudah menyiapkan roh dari revisi UU SKN ini dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 pada peringatan Hari Olahraga Nasional ke-38, Kamis (9/9/2021).
”Lewat DBON, kami bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait untuk meningkatkan prestasi olahraga dari hulu di daerah hingga hilir di pusat (pelatnas). Bersama Kementerian Dalam Negeri, kami mendorong pemerintah daerah lebih memperhatikan pembinaan olahraga di daerahnya, berkaitan dengan fasilitas hingga apresiasi/kesejahteraan. Pemerintah pusat maupun daerah harus mengubah paradigma bahwa anggaran untuk olahraga bukan pengeluaran biaya semata, melainkan investasi, terutama untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia,” terangnya.