Revisi UU SKN Berpeluang Lahirkan Undang-undang Baru
Usul untuk mengubah sebagian besar isi UU SKN bermunculan. UU SKN dianggap tidak memiliki implementasi yang jelas untuk mencapai target prestasi. Selain itu, banyak aturan dalam UU tersebut justru saling berbenturan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia Dikdik Zafar Sidik ketika memberikan masukan dalam rapat daring mengenai Dengar Pendapat Umum Panja Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) yang digelar Komisi X DPR, Senin (31/8/2020). Usulan Revisi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentan Sistem Keolahragaan Nasional telah memasuki tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sampai kini, banyak usul untuk mengubah sebagian besar isi undang-undang yang dianggap tidak memiliki implementasi yang jelas untuk mencapai target prestasi dan banyak aturan justru saling berbenturan. Karena itu, revisi itu berpeluang melahirkan undang-undang mengenai olahraga nasional yang baru.
JAKARTA, KOMPAS — Usulan Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) telah memasuki tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. Sampai kini, banyak usul untuk mengubah sebagian besar isi undang-undang yang dianggap tidak memiliki implementasi yang jelas untuk mencapai target prestasi, dan banyak aturan justru saling berbenturan. Karena itu, revisi itu berpeluang melahirkan undang-undang mengenai olahraga nasional yang baru.
Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Dikdik Zafar Sidik, ketika menjadi pembicara dalam rapat daring mengenai Dengar Pendapat Umum Panja Revisi UUU SKN yang digelar Komisi X DPR, Senin (31/8/2020), mengatakan, UU SKN sekarang masih bersifat doa. Pasalnya, semua isinya hanya tersirat mengenai pembinaan dan pengembangan.
Sebaliknya, nyaris tidak tersirat mengenai peningkatan prestasi. Padahal, pembinaan dan pengembangan bersifat kondisional. Adapun peningkatan merupakan suatu upaya untuk mencapai titik maksimal dari hasil pembinaan dan pengembangan tersebut. ”Sejauh ini, olahraga Indonesia relatif sudah berkembang tetapi tidak cukup meningkat,” ujarnya.
Tak tercapainya peningkatan itu, lanjut Dikdik, akibat banyaknya benturan antara kompetisi dan kebijakan dari pemangku kepentingan. Paling tidak, masih ada pengotak-kotakan antara olahraga prestasi, olahraga pendidikan, dan olahraga masyarakat. Sedianya, ketiganya saling berhubungan.
Sepanjang ini, masih ada pula tumpang tindih kalender/jadwal pelatihan dan kompetisi atau kejuaraan di tingkat satuan pendidikan dari level sekolah hingga perguruan tinggi. Tiap lembaga pemerintah memiliki agenda kompetisi atau kejuaraan sendiri-sendiri atau tidak sinergis dan periodik.
Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Dikdik Zafar Sidik, ketika memberikan masukan dalam rapat daring mengenai Dengar Pendapat Umum Panja Revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) yang digelar Komisi X DPR, Senin (31/8/2020). Menurut Dikdik, UU SKN sekarang masih bersifat doa. Pasalnya, semua isinya hanya tersirat mengenai pembinaan dan pengembangan. Sebaliknya, nyaris tidak tersirat mengenai peningkatan prestasi. Padahal, pembinaan dan pengembangan bersifat kondisional. Adapun peningkatan merupakan suatu upaya untuk mencapai titik maksimal dari hasil pembinaan dan pengembangan tersebut.Contohnya, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki agenda Pekan Olahraga Pelajar Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), dan masih ada lainnya. Itu sangat berbahaya kepada target pencapaian prestasi. Sebab, pembinaan menjadi tidak sistematis.
”Kondusivitas dan harmonisasi antar-pemangku kepentingan olahraga ataupun pelaku olahraga lainnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan prestasi olahraga”. (Dikdik Zafar Sidik).
Harusnya, ada keselarasan secara konseptual dan operasional antaragenda yang ada, agar atlet mengalami peningkatan secara bertahap, berkesinambungan, dan teratur. ”Kondusivitas dan harmonisasi antar-pemangku kepentingan olahraga ataupun pelaku olahraga lainnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan prestasi olahraga,” kata Dikdik.
Ketegasan dalam pembinaan
Pembicara lain, Guru Besar Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya Hari Setijono menuturkan, perlu ada penegasan terkait kewenangan pengelola, pelaksana, dan penyelenggara Sekolah Khusus Olahraga (SKO) antara Kemenpora dan Kemendikbud. Sampai kini, ada tumpang tindih dalam proses latihan dan sekolah di SKO.
Saat ini, SKO terbaik adalah SKO Ragunan di DKI Jakarta. Di sana, proses latihan dan belajar sudah terjadwal pasti atau teratur sehingga tidak mengorbankan salah satunya. Namun, di daerah lain, sebagian besar atlet SKO justru sekolah di lembaga pendidikan reguler. Akibatnya, atlet harus mengikuti agenda sekolah reguler yang mengutamakan pelajaran. Hal itu menjadi beban atlet maupun pelatih karena harus menyesuaikan tugas dan ujian dari sekolah reguler.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Guru Besar Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya Hari Setijono, ketika memberikan masukan dalam rapat daring mengenai Dengar Pendapat Umum Panja Revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) yang digelar Komisi X DPR, Senin (31/8/2020). Usulan Revisi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentan Sistem Keolahragaan Nasional telah memasuki tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sampai kini, banyak usul untuk mengubah sebagian besar isi undang-undang yang dianggap tidak memiliki implementasi yang jelas untuk mencapai target prestasi dan banyak aturan justru saling berbenturan. Karena itu, revisi itu berpeluang melahirkan undang-undang mengenai olahraga nasional yang baru.
Semestinya, atlet SKO bukan latihan sambil sekolah melainkan latihan ataupun prestasinya diikuti atau didukung oleh sekolah. ”Dalam kasus ini, perlu ada sinergitas antara Kemenpora dan Kemendikbud agar atlet SKO bisa menjalani proses latihan dan belajar secara beriringan,” tuturnya.
Lalu, patut ada kesinambungan jenjang pembinaan dari atlet tingkat pelajar di SKO ataupun Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP). Sepanjang ini, terdapat rantai yang hilang dalam pembinaan dari tingkat pelajar ke mahasiswa dampak dari penghapusan Pusat Pendidikan dan Laithan Mahasiswa (PPLM).
Untuk itu, harus ada ada peninjauan kembali tentang jenjang atlet yang mengikuti program pembinaan, terutama yang disiapkan untuk mengikuti ajang multi cabang internasional. ”Dahulu, ketika masih ada Satlak Prima, jenjang pembinaan itu berkelanjutan dari atlet remaja atau di bawah 18 tahun, atlet muda atau yunior, dan atlet utama atau elite. Sekarang, sejak diambil alih Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kemenpora, jenjang pembinaan hanya sebatas atlet muda dan utama,” ujar Hari.
Patut menyeluruh
Atas dasar itu, Hari berharap, pemerintah dan DPR bisa membahas revisi UU SKN secara menyeluruh atau tidak sepotong-sepotong. Dia meyakini setiap bab dalam UU SKN sekarang memiliki pemasalahan masing-masing. Kalau tidak dibahas menyeluruh dan detail, dirinya khawatir akan timbul masalah lagi di kemudian hari.
”Ketika UU SKN ini lahir 15 tahun lalu, saya turut terlibat dalam proses pembuatannya. Ketika itu, kami merasa UU ini sudah ideal. Ternyata, dalam pelaksanaan di lapangan, terjadi banyak benturan kebijakan. Saya berharap revisi UU SKN ini bisa lebih baik dan tidak menimbulkan benturan kebijakan lagi,” katanya.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf ketika memimpin rapat daring mengenai Dengar Pendapat Umum Panja Revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) yang digelar Komisi X DPR, Senin (31/8/2020). Usulan Revisi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentan Sistem Keolahragaan Nasional telah memasuki tahap pembahasan di DPR. Sampai kini, banyak usul untuk mengubah sebagian besar isi undang-undang yang dianggap tidak memiliki implementasi yang jelas untuk mencapai target prestasi dan banyak aturan justru saling berbenturan. Karena itu, revisi itu berpeluang melahirkan undang-undang mengenai olahraga nasional yang baru.
Pimpinan rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menyampaikan, pihaknya memang tidak ingin terburu-buru dalam membahas revisi UU SKN yang telah diusulkan sejak tahun lalu tersebut. Dari melihat dan mendengar sejumlah masukan, banyak permasalahan dari UU SKN yang perlu dibahas dengan hati-hati.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan terjadi revisi lebih dari 50 persen kandungan materi UU tersebut. Kalau itu terjadi, nantinya revisi tidak berlaku melainkan lahir UU yang baru. ”Kalau revisi lebih dari 50 persen, bisa jadi nanti ini bukan revisi melainkan menjadi UU baru. Namanya juga bisa berubah menjadi UU Olahraga Nasional,” tuturnya.
Menurut Dede, Komisi X DPR bersemangat untuk melahirkan produk UU Olahraga lebih baik. Pandemi Covid-19 telah menyadarkan bahwa olahraga itu sangat penting bukan hanya untuk prestasi melainkan untuk kesehatan masyarakat, demi menangkal serangan wabah tersebut. Jadi, olahraga harus mendapatkan perhatian lebih baik di masa depan. ”Kami berharap pembahasan mengenai UU Olahraga ini bisa selesai April 2021,” pungkas Dede.