Atlet Paralimpiade Jambi Mencoba Bertahan di Tengah Keterbatasan
Sejumlah daerah masih memandang sebelah mata olahraga disabilitas. Tak pelak, sejumlah atlet paralimpiade di Jambi harus berlatih dengan keterbatasan biaya, alat, dan pelatih. Mereka bahkan harus antre ke kamar mandi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Meiranti, atlet lempar lembing saat berlatih di Stadion Mini Telanaipura, Sabtu (4/9/2021). Pemusatan latihan bagi atlet disabilitas asal Jambi dijadwalkan berlangsung hingga menjelang Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Papua, November 2021.
Sejumlah atlet paralimpiade asal Jambi menjalani pemusatan latihan dalam berbagai keterbatasan dan diskriminasi. Di tengah minimnya dukungan anggaran dari pemerintah daerah, mereka bersiasat demi mengikuti Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Papua, November 2021.
Atlet-atlet paralimpiade itu tengah menjalani pemusatan latihan daerah (pelatda) di rumah kontrakan kecil di Kota Jambi. Fasilitas itu jauh berbeda dibandingkan atlet-atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) asal Jambi yang menjalani pelatda. Mereka diinapkan di hotel bintang tiga. Makanan, vitamin, hingga susu, pun ditanggung penuh oleh pemda.
Selama mengikuti pelatda, Pemprov Jambi menganggarkan dana untuk atlet paralimpiade. Namun, jumlahnya hanya Rp 50.000 per atlet per hari. Dengan dana terbatas itu, atlet harus bisa berhemat agar cukup untuk makan tiga kali sehari, membeli vitamin dan susu, serta keperluan lainnya.
Untuk menyiasati minimnya anggaran itu, atlet-atlet paralimpiade Jambi kembali ke kontrakan untuk memasak dan sarapan di sela-sela berlatih. Mereka pun harus antre saat mandi karena hanya ada satu kamar mandi di tempat itu.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Atlet paralimpiade catur asal Jambi, Abdul Halim (30), tengah berlatih tanding di sebuah pondokan dalam Stadion Mini Telanaipura, Kota Jambi, Sabtu (4/9/2021). Halim akan mewakili kontingen Jambi pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas), di Papua, November mendatang.
Kondisi itu miris dibandingkan atlet paralimpiade dari daerah lainnya. Di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Riau, misalnya, atlet-atlet Peparnas dipenuhi segala kebutuhannya, mulai dari akomodasi berupa hotel, makanan dan minuman, hingga suplemen penunjang. Selain itu, setiap atlet masih mendapatkan sang saku sebesar Rp 3 juta per bulan.
Padahal, dalam keterbatasan, selama ini mereka tetap berjuang mencetak prestasi. Eka Rosa Hybrida dan Abdul Hamid, suami-istri tunadaksa asal Muara Bulian, misalnya, membawa harum nama Indonesia pada ASEAN Para Games 2007, 2011, 2013, hingga 2015, dengan meraih perak dan perunggu untuk nomor lempar cakram dan tolak peluru.
Selain belum punya pelatih sendiri, tidak ada pula alat catur khusus tunanetra dan jam catur yang memadai.
Maka itu, Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Provinsi Jambi turun tangan agar atlet-atlet disabilitas itu bisa bertahan hidup menjelang keberangkatannya ke Papua. Pengurus NPC Jambi urunan membeli sekarung beras, bahan makanan, dan sejumlah keperluan lainnya untuk para atlet.
Tidak banyak daerah yang peduli pada atlet paralimpiade. Pada Peparnas tahun ini, ada 13 provinsi yang tidak memberangkatkan atletnya ke Papua. Terbatasnya anggaran jadi alasannya. ”Dengan banyaknya prestasi yang telah diukir, pemerintah seharusnya tak membedakan fasilitas atlet PON dengan Peparnas,” ujar Wakil Ketua NPC Jambi Khaidir.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Atlet atletik usai berlatih di Stadion Mini Telanaipura, Sabtu (4/9/2021). Pemusatan latihan bagi atlet disabilitas asal Jambi dijadwalkan berlangsung hingga menjelang Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Papua, November 2021.
Bukan hanya kebutuhan dasar, dukungan fasilitas latihan di sana pun minim. Banyak peralatan tidak lagi memadai. Lapangan atletik khusus atlet disabilitas di Stadion Mini Telanaipura misalnya, sering becek. Tali pembatasnya pun sobek. "Lintasan (atletik) sering tergenang air sehabis turun hujan,” ungkap Khaidir.
NPC Jambi sebetulnya sudah lama mengusulkan pengadaan alat-alat baru ke pemda. Namun, hingga kini, belum ada realisasinya. Tak pelak, mereka sering meminjam alat, seperti lembing, cakram, dan bola peluru, dari KONI Jambi.
Pada Peparnas XVI di Papua, Jambi akan memberangkatkan 39 atlet. Dari 12 cabang olahraga yang dipertandingkan, mereka akan tampil di tujuh cabor, yaitu atletik, renang, angkat berat, panahan, tenis meja, catur, dan judo.
Tidak punya pelatih
Namun, NPC Jambi belum memiliki sejumlah pelatih khusus disabilitas, misalnya yang bisa berbahasa isyarat untuk atlet tunarungu. Tak pelak, atlet dan pelatih yang ada harus beradaptasi sendiri dalam berkomunikasi.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Atlet paralimpiade catur asal Jambi, Abdul Halim.
Kendala itu diakui pengurus catur paralimpiade Provinsi Jambi, M Usman. Selain belum punya pelatih sendiri, tidak ada pula alat catur khusus tunanetra dan jam catur yang memadai.
Maka, mereka urunan membeli alat catur khusus tunanetra yang dipakai Abdul Halim, atlet yang akan berangkat ke Peparnas Papua. Usman juga mengajukan permintaan ke KONI agar dipinjamkan pelatih. Pihak KONI pun bersedia. Selama dua kali sepekan, Abdul kini bisa didampingi pelatih. Selebihnya, ia mengatur porsi latihannya sendiri.
Hampir setiap hari, Usman menjemput Abdul untuk berlatih tanding. Latihan itu lebih sering digelar di kedai kopi karena tidak ada tempat khusus. ”Kami carikan lawan-lawan tanding agar Abdul Halim bisa terus bermain,” kata Usman.
Mereka berharap pemerintah lebih mendukung kemajuan olahraga paralimpiade. Jika di tengah keterbatasan saja mereka bisa berprestasi tinggi, seperti terjadi di Paralimpiade Tokyo, maka dapat dibayangkan besarnya lompatan prestasi ke depan saat tiada lagi diskriminasi.