Ungkapan ”usia hanya sekadar angka” terasa pas untuk mewakili pencapaian dua petenis muda, Leylah Fernandez dan Emma Raducanu, yang akan bertemu di final tunggal putri Grand Slam Amerika Serikat Terbuka.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Ungkapan ”usia hanya sekedar angka” biasanya digunakan untuk menggambarkan atlet senior yang masih kompetitif. Kali ini, ungkapan tersebut juga pas ditujukan pada dua remaja yang tampil memikat di Flushing Meadwos, New York.
Final perebutan trofi juara tunggal putri Amerika Serikat Terbuka akan menjadi pertarungan dua petenis muda yang namanya mungkin hanya dikenal penggemar tenis sejati sebelum turnamen ini dimulai 30 Agustus. Leylah Fernandez (19) akan berhadapan dengan Emma Raducanu (18) di arena tenis terbesar di dunia, Arthur Ashe, Sabtu (11/9/2021) sore waktu setempat atau Minggu, mulai pukul 03.00 WIB.
Final yang akan melahirkan juara baru Grand Slam ini menjadi final pertama antara dua petenis non-unggulan dalam turnamen level tertinggi itu sejak era Terbuka tahun 1968. Dua unggulan terakhir mereka singkirkan pada semifinal, Kamis.
Unggulan kedua, Aryna Sabalenka, disingkirkan Fernandez, 6-7 (3/7), 6-4, 4-6. Adapun Raducanu menang atas unggulan ke-17, Maria Sakkari, 6-1, 6-4.
Pertemuan dua bintang baru di persaingan tenis level tertinggi ini adalah pertemuan pertama dua remaja dalam final Grand Slam sejak Serena Williams, saat itu 17 tahun, mengalahkan Martina Hingis (18), 6-3, 7-6 (7/4), pada AS Terbuka 1999. Fernandez dan Raducanu belum lahir saat itu.
Namun, ada satu hal yang membedakan Fernandez dan Raducanu dengan Serena dan Hingis. Pada 22 tahun lalu, status Hingis adalah petenis nomor satu dunia, sedangan Serena peringkat kedelapan. Adapun Fernandez adalah petenis peringkat ke-73 dan Raducanu di posisi 150 dunia.
Pada usia yang sama dengan Serena dan Hingis bertemu difinal Grand Slam, Fernandez menjadi finalis Australia Terbuka yunior 2019 dan juara Perancis Terbuka yunior 2019. Adapun hasil terbaik Raducanu di panggung yunior adalah perempat final Wimbledon dan AS Terbuka 2018.
Di lapangan rumput Wimbledon, tiga tahun lalu itulah, Fernandez dan Raducanu bertemu. Raducanu mengalahkan Fernandez, 6-2, 6-4, pada babak kedua hingga langkahnya dihentikan Iga Swiatek pada perempat final.
”Ya, kami bertemu di Wimbledon yunior. Setelah itu, perjalanan kami jauh berbeda, dalam permainan, juga sebagai manusia. Saya yakin, final nanti akan sangat berbeda dengan pertemuan terakhir kami. Kami telah bermain dengan baik di sini dan pertandingan nanti akan menarik,” kata Raducanu.
Setelah pertemuan itu, karier Fernandez maju lebih cepat. Dia mencapai final pertama turnamen WTA di Meksiko, pada 2020, dan meraih gelar pertama dari WTA Monterrey, Maret 2021. Adapun tahun ini adalah debut Raducanu di turanmen WTA, karena orang tua memintanya menyelesaikan sekolah menengah atas lebih dulu. Dia pun menepi dari turnamen selama 1,5 tahun, sejak Februari 2020.
Petenis Inggris Raya kelahiran Toronto, Kanada, itu tak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri kembali dengan kompetitifnya persaingan tenis putri. Setelah tampil dalam dua turnamen, pada Juni, Raducanu menjadi sorotan ketika menembus babak keempat Wimbledon.
Saya yakin, final nanti akan sangat berbeda dengan pertemuan terakhir kami. Kami telah bermain dengan baik di sini dan pertandingan nanti akan menarik.
Cerita indahnya berlanjut di lapangan keras Flushing Meadows. Petenis berayahkan orang Rumania dan ibu dari China ini tampil lebih fenomenal. Menapaki babak utama sejak kualifikasi, tiga pekan lalu, dia tak kehilangan satu set pun pada sembilan pertandingan, tiga laga kualifikasisi dan enam laga babak utama, dalam debutnya di AS Terbuka. Sebelumnya, ada Angelique Kerber yang selalu menang dua set menuju final AS Terbuka 2016. Kerber juara setelah mengalahkan Karolina Pliskova dalam tiga set.
”Jujur, saya sulit percaya. Mengejutkan dan gila. Bisa menembus final Grand Slam dengan cara seperti ini,saya sulit mengungkapkan perasaan dengan kata-kata,” komentar Raducanu yang selalu berkomunikasi dengan dua mantan petenis Inggris, Tim Henman dan Virginia Wade, selama di Flushing Meadows.
Wade, yang selalu hadir di stadion dalam laga Raducanu, adalah tunggal putri terakhir Inggris yang mencapai final Grand Slam, yaitu di Wimbledon 1977, saat dia menjadi juara turnamen klasik tersebut.
Tak kenal takut
Fernandez tampil spektakuler dengan cara yang lain. Menuju final, dia menaklukkan empat unggulan dalam empat laga beruntun, tiga di antaranya petenis peringkat lima besar dunia, yaitu Naomi Osaka (3), Elina Svitolina (5), dan Sabalenka (2). Petenis Kanada itu juga menyingkirkan Kerber, tiga kali juara Grand Slam, hingga dia disebut sebagai “pembunuh raksasa”. Dengan semangat juang dan daya tahan fisik yang prima, Fernandez menjalani keempat laga itu dalam tiga set.
”Tidak ada hal yang tidak mungkin. Seperti dikatakan ayah saya, tidak ada batasan untuk mengembangkan potensi. Setiap hari, kami bekerja keras. Mungkin saya telah melakukan hal yang luar biasa di sini. Tetapi, ada satu kata yang tertanam dalam benak saya, yaitu keajaiban, bukan hanya tentang hasil yang diperoleh, melainkan tentang cara saya bermain,” tutur petenis yang dilatih ayahnya, Jorge Fernandez, mantan pesepak bola profesional Ekuador.
Dua petenis ini punya karakter permainan berbeda, Fernandez ulet dan Raducanu lebih taktis. Namun, ada faktor yang mempersamakan mereka. ”Keduanya tak kenal takut dan bermain tanpa beban. Saya sangat mengapresiasi mereka,” ujar Sakkari.
Mantan petenis Thailand, Tamarine Tanasugarn, berkomentar sama. ”Saya takjub melihat cara mereka menghadapi situasi tampil di stadion besar dengan banyak penonton. Saat saya seusia mereka dan dihadapkan pada situasi itu, mungkin saya ketakutan. Mereka justru bisa tampil tenang. Maka, final nanti akan menjadi pertandingan sangat menarik,” ujar Tanasugarn. (AFP/REUTERS)