Medali perunggu Paralimpiade Tokyo yang diraih Sapto Yogo Purnomo merupakan kemenangan sprinter 23 tahun itu melawan keterbatasan fisiknya. Sapto Yogo juga mampu melengkapi bakat alamiahnya dengan kedisiplinan berlatih.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sapto Yogo Purnomo meniti karier atlet Paralimpiade dengan pesat sejak mencuat di Peparnas Jawa Barat 2016. Bakatnya dipoles di pelatnas Paralimpiade mulai 2017 hingga dia meraih berbagai prestasi di ajang internasional, termasuk dua emas Asian Para Games 2018. Sprinter klasifikasi T37 itu juga terus menaikkan level performanya hingga meraih medali perunggu nomor lari 100 meter T37 Paralimpiade Tokyo, Jumat (27/8/2021).
Sapto mencetak waktu 11,31 detik pada babak final yang sekaligus menjadi rekor Asia 100 meter klasifikasi T37, atlet dengan keterbatasan organ gerak, termasuk akibat cerebral palsy. Medali emas diraih sprinter Amerika Serikat, Nick Mayhugh, dengan waktu 10,95 detik. Mayhugh mempertajam rekor dunia dan Paralimpiade yang sebelumnya dia cetak dalam heat 2 babak penyisihan dengan waktu 10,97 detik. Sementara medali perak diraih atlet Komite Paralimpiade Rusia (RPC) Andrei Vdovin dengan waktu 11,18 detik yang menjadi rekor Eropa. Vdovin merupakan atlet kawakan dengan tiga gelar juara Eropa.
Medali ini saya persembahkan untuk ibu saya dan juga kado kemerdekaan Indonesia.
”Medali ini saya persembahkan untuk ibu saya dan juga kado kemerdekaan Indonesia,” kata Sapto Yogo melalui pesan singkat, Jumat malam.
Medali perunggu yang diraih Sapto ini menegaskan posisi atlet yang akan genap 23 tahun pada 17 September mendatang itu ada di level dunia. Dia mampu mengalahkan atlet-atlet top dunia, termasuk atlet RPC, Chermen Kobesov, yang finis keempat dengan waktu 11,32 detik. Sapto yang sempat tertinggal dalam 50 meter pertama bisa mendahului Kobesov menjelang finis hingga unggul 0,01 detik untuk meraih perunggu. Momen penantian waktu resmi final membuat jantung berdebar karena sekilas Kobesov finis lebih awal.
Momen menegangkan itu terjadi karena Sapto lambat saat start, berbeda dengan start brilian dalam heat 1 babak penyisihan, Jumat pagi, di mana dia mencetak waktu 11,33 detik. Catatan waktu itu memecahkan rekor Paralimpiade yang sebelumnya 11,42 detik atas nama Charl du Toit asal Afrika Selatan. Namun, beberapa menit kemudian rekor itu dipecahkan oleh Nick Mayhugh pada heat 2 babak penyisihan dengan 10,97 detik. Start Sapto Yogo pada babak penyisihan itu tidak bisa diulang di final karena dia melakukan kesalahan menjelang start.
”Tadi dia sebelum start membuat kesalahan. Pada saat yang lainnya rileks dengan berdiri, dia malah jongkok, itu membuat dia tidak rileks. Posisi jongkok membuat otot kontraksi, padahal saat start harus rileks, apalagi dia CP (cerebral palsy), CP itu ketika kontraksi otot menjadi agak keras, tegang ototnya. Posisi seperti itu tidak boleh karena saat start harus rileks. Saya tidak pernah mengajari seperti itu. Saya perlu kasih tau dia bahwa itu kesalahan, tetapi mungkin dia tidak tahu kalau itu salah,” ujar Kepala Pelatih Atletik Paralimpiade Slamet Widodo.
Kesalahan menjelang start itulah yang membuat drama saat final karena Sapto Yogo tertinggal hingga berada di posisi keempat setelah start. ”Saya terus deg-degan sepanjang lomba tadi karena saya tahu kontraksi otot itu akan memengaruhi kondisi otot pada gerakan berikutnya. Memang di 100 meter itu kesalahan sekecil apa pun sangat pengaruh, lihat saja selisih 0,01 detik lawannya bisa kalah,” ungkap Slamet.
Sapto Yogo yang bisa menyusul Kobesov menjelang finis mengaku tidak tahu bagaimana dia melakukan itu. ”Saya tidak tahu bagaimana bisa seperti itu. Saya hanya fokus berlari, tidak memperhatikan yang lainnya,” ujar Sapto diiringi tawa.
”Medali ini yang pasti bermakna sangat besar setelah apa yang saya lalukan dalam persiapan. Ini membuat saya lebih percaya diri, ternyata bisa bersaing dengan atlet-atlet kelas dunia,” ujar Sapto seusai upacara penyerahan medali di Stadion Olimpiade Tokyo.
Sapto juga optimistis bisa memperbaiki waktunya ke depan dengan disiplin berlatih. Slamet pun menilai, potensi atlet asal Purwokerto itu bisa lebih baik lagi karena usianya baru 23 tahun. ”Dia masih bisa memperbaiki catatan waktunya. Saya yakin masih bisa karena masih bisa diperbaiki teknik dan power-nya,” ujar Slamet.
Disiplin berlatih
Medali perunggu Paralimpiade memang menjadi target utama Sapto Yogo dan tim pelatih, terutama setelah kemunculan Nick Mayhugh dua tahun terakhir. Sebelumnya, saingan terberat Sapto Yogo adalah Vdovin yang meraih emas di Dubai 2019, Du Toit, Kobesov, serta dua sprinter Brasil, Christian Gabriel Luiz da Costa dan Ricardo Gomes de Mendonca. Jika dilihat dari catatan waktu, potensi terbesar Sapto Yogo memang medali perunggu.
Namun, prestasi itu tidak akan bisa diraih oleh Sapto Yogo tanpa kerja keras selama pemusatan latihan di Solo, Jawa Tengah. Dia tekun berlatih, disiplin menjalankan program dari pelatih sejak bergabung di pelatnas pada 2017. Dia juga menerapkan pola hidup atlet profesional, salah satunya setiap pukul 21.00 dia sudah bersiap tidur.
”Dia orangnya disiplin, selalu mengikuti program dari pelatih. Dia juga serius saat latihan, disiplin, dan enggak neko-neko (tidak aneh-aneh). Itu kunci juara. Atlet seperti itu pasti bisa juara. Untuk menjadi atlet, selain fisik yang bagus, juga perlu memiliki karakter yang mendukung. Kalau fisik bagus, karakter enggak bagus, ya, tidak akan maksimal,” ujar Slamet.
”Karakter Yogo bagus, dan dari awal kami juga membimbing dia secara mental dan karakter, kalau ingin juara harus totalitas, waktu, tenaga, pikiran diarahkan ke situ, jadi fokus. Kebetulan Sapto Yogo ini tidak aneh-aneh dan itu mendukung dia bisa menjadi juara,” ungkap Slamet.
Penguatan mental atlet Paralimpiade juga dilakukan dengan membaurkan atlet-atlet disabilitas dengan atlet-atlet normal. Kondisi itu membuat atlet Paralimpiade tidak merasa minder sehingga mentalnya semakin kuat.
”Kalau di Solo, memang kita membaur antara atlet difabel dan yang tidak. Kita membaur biasa, tidak ada jarak, bergaul biasa saja. Secara sosial, itu membuat atlet menjadi biasa dan secara mental jadi percaya diri,” jelas Slamet yang juga dosen FKIP Universitas Sebelas Maret.
Pendampingan psikologis
Membina atlet dengan keterbatasan bukanlah tugas mudah. Para pelatih perlu mendapat kredit lebih karena mereka bersedia meleburkan diri dalam kerumitan psikologis atlet-atlet binaannya. Sapto Yogo juga mendapat pendampingan sosial dan psikologis dari pelatih muda Purwo Adi Sanyoto. Mereka berdua menjalin ikatan batin sejak Peparnas 2016 dan semakin melebur begitu Sapto Yogo masuk pelatnas pada 2017.
”Saya lebih ke pendampingan personal, kalau teknik Pak Slamet. Saya fokus menguatkan dan meningkatkan mentalnya karena keseharian dia bersama saya, ke mana pun sama saya,” ungkap Purwo.
Sapto sekilas tampak pendiam, tetapi begitu kenal dekat, atlet berusia 23 tahun itu sosok yang jenaka dan periang. Namun, kondisi cerebral palsy kadang membuat dia memerlukan perhatian lebih untuk membangkitkan motivasi. Kondisi tersebut menuntut kecakapan pelatih untuk melakukan pendekatan yang spesifik ke tiap atlet.
”Kalau CP (cerebral palsy) itu mood-nya naik turun, nah itu yang susah karena ketegangan otot sampai otak, itu kesatuan dari otak sampai kaki. Kalau dia sudah malas berlatih, sulit sekali membuat dia bergerak,” ungkap Purwo dari Tokyo.
”Dia unik karena tidak bisa disanjung untuk membangkitkan motivasi. Dia tidak suka disanjung, kalau disanjung justru makin drop. Jadi, dia itu harus dicarikan tantangan. Nah, kalau ada tantangan, dia akan kembali semangat berlatih. Tidak mudah mendampingi atlet-atlet Paralimpiade karena karakternya unik dan memerlukan pendekatan yang berbeda. Pas lagi mood-nya jelek, dia harus ditempel terus, itulah seninya mengolah Yogo,” ujar Purwo yang juga mendalami ilmu psikologi.
Sapto Yogo kini akan fokus mempersiapkan diri tampil di nomor 200 meter T37, di mana babak penyisihan pada 3 September dan final pada 4 September. Namun, Sapto Yogo tidak ditargetkan meraih medali di nomor ini karena dia memiliki kelemahan saat melewati tikungan ke kiri akibat kelemahan pada kaki dan tangan kanannya.
”Di 200 meter kita tidak menargetkan medali karena Yogo punya kelemahan di tikungan. Dia kaki dan tangan kanannya lemah, jadi kalau belok ke kiri tubuh bagian kanan, kan, harus kuat. Dia tubuh bagian kanannya tidak kuat, jadi di tikungan ada kelemahan karena 200 meter ada menikung ke kiri. Kaki kanan dan tangan kanannya agak lemah karena disabilitas dia di situ. Jadi, di 200 meter dinikmati saja. Sejak awal target kami memang di 100 meter, jadi strategi saya memang fokus di 100 meter,” pungkas Slamet.