Sapto Yogo di Ambang Medali Paralimpiade
Sprinter andalan Indonesia di Paralimpiade Tokyo 2020, Sapto Yogo Purnomo, menempatkan dirinya sebagai kandidat kuat peraih medali nomor lari 100 meter klasifikasi T37. Sapto juga sempat memecahkan rekor Paralimpiade.
TOKYO, JUMAT — Sapto Yogo Purnomo berpeluang besar meraih medali nomor 100 meter klasifikasi T37 Paralimpiade Tokyo 2020 setelah menempati posisi ketiga tercepat dalam babak pertama, Jumat (27/8/2021). Sprinter berusia 23 tahun itu menjadi yang tercepat pada heat 1 dengan waktu 11,33 detik. Catatan waktu itu menempatlan Sapto di posisi ketiga tercepat babak pertama di bawah Chermen Kobesov dengan 11,32 detik dan Nick Mayhugh sebagai favorit peraih emas dengan waktu mengesankan 10,97 detik.
Waktunya ketat sekali. Saya tidak bisa banyak berkomentar karena waktunya sangat ramai. Kita lihat saja saat final, dan semoga Sapto Yogo bisa mendapat hasil terbaik.
”Waktunya ketat sekali. Saya tidak bisa banyak berkomentar karena waktunya sangat ramai. Kita lihat saja saat final, dan semoga Sapto Yogo bisa mendapat hasil terbaik,” ungkap pelatih atletik Paralimpiade Indonesia, Purwo Adi Sanyoto, yang berada di Stadion Olimpiade Tokyo melalui pesan singkat.
Baca juga : Ni Nengah Widiasih Petik Buah Kesabaran
Persaingan meraih medali memang sangat ketat di nomor 100 meter klasifikasi T37 ini. Medali emas hampir pasti menjadi milik Nick Mayhugh dari Amerika Serikat dengan catatan waktu yang sungguh jauh dari para pesaingnya. Sementara untuk medali perak, Kobesov dari Komite Paralimpiade Rusia (RPC) dan Sapto akan bersaing ketat.
Selain mereka, ada Andrei Vdovin, juga dari RPC, yang berada di posisi keempat babak pertama dengan 11,34 detik. Jika Sapto bisa konsisten dengan start yang sangat baik dan ritme lari yang stabil seperti saat heat 1, peluang meraih medali sangat terbuka. Babak final nomor 100 meter T37 akan berlangsung Jumat ini pukul 17.25 WIB.
Baca juga : Ibrahim Hamadtou, Menepis Keterbatasan dengan Keajaiban
Pada heat 1, Sapto Yogo berlari di lintasan 6 diapit oleh Christian Gabriel Luiz da Costa di lintasan 5 dan Vdovin di lintasan 7. Saat disorot kamera televisi menjelang start, Sapto Yogo memberikan salam kepada penggemar dengan meremas kepalanya dan menarik rambut hingga menutupi wajahnya sambil tersenyum.
Sapto Yogo melakukan start dengan sangat bagus dan finis terdepan dengan waktu 11,33 detik, disusul oleh Vdovin dengan 11,34 detik, dan Luiz da Costa dengan 11,51 detik.
Hingga heat 1 selesai, catatan waktu Sapto merupakan rekor baru Paralimpiade yang sebelumnya dipegang oleh Charl du Toit asal Afrika Selatan dengan 11,42 detik di Rio 2016. Ini juga melampaui rekor personal Sapto Yogo 11,41 detik saat meraih medali perunggu 100 meter T37 Kejuaraan Dunia Atletik Paralimpiade Doha 2019.
Baca juga : Kekalahan Memicu Semangat Komet dan Adyos
Namun, rekor Paralimpiade itu tak bertahan lama. Nick Mayhugh yang tampil pada heat 2 mencetak rekor baru dengan waktu 10,97 detik. Catatan waktu itu sekaligus menjadi rekor dunia baru atas namanya yang sebelumnya 11,21 detik. Pada heat 2, posisi kedua ditempati oleh Kobesov dengan 11,32 detik dan posisi ketiga oleh Ricardo Gomes De Mendonca dari Brasil dengan 11,45 detik. Sementara peraih emas Rio 2016, Charl du Toit, berada di posisi kelima dengan 11,58 detik.
Rekor dunia
Pada sesi pagi, sejumlah rekor dunia dicetak dari cabang atletik, salah satunya dari nomor lari 100 meter putri klasifikasi T35. Sprinter asal China, Xia Zhou, mempertahankan medali emas yang diraihnya di Rio 2016 dengan catatan waktu brilian 13,00 detik. Ini sekaligus menjadi rekor dunia dan rekor Paralimpiade baru. Rekor dunia sebelumnya dipegang oleh sprinter putri asal Australia, Isis Holt, dengan 13,43 detik yang dicetak dalam Kejuaraan Dunia Atletik Paralimpiade di London 2017. Rekor Paralimpiade juga sempat dipegang oleh Holt saat menjadi yang tercepat pada babak pertama heat 2 Tokyo 2020 dengan 13,49 detik.
Holt yang sempat difavoritkan meraih medali emas kembali meraih perak, seperti pada Paralimpiade pertamanya di Rio 2016. Atlet berusia 20 tahun itu mencetak waktu 13,13 detik pada babak final. Adapun medali perunggu diraih oleh atlet Inggris Raya, Maria Lyle, dengan 14,18 detik.
Pada babak pertama nomor 100 meter klasifikasi T35 putri—keterbatasan pada koordinasi organ gerak, termasuk akibat cerebral palsy—sprinter asal Australia, Holt, sempat menegaskan dirinya sebagi kandidat kuat peraih medali emas. Pemegang rekor dunia 100 meter T35 putri itu, dengan catatan 13,43 detik, mampu membukukan waktu mengesankan 13,49 detik, yang sekaligus menjadi rekor baru Paralimpiade. Rekor sebelumnya dipegang oleh sprinter China, Xia Zhou, dengan 13,66 detik saat meraih medali emas Paralimpiade Rio 2016. Zhou yang tampil pada heat 1 mencetak waktu 13,86 detik, yang merupakan catatan waktu terbaiknya musim ini.
Zhou menjadi lawan terkuat Holt. Keduanya pernah bersaing di Rio lima tahun lalu. Zhou meraih emas, sedangkan Holt meraih perak dengan waktu 13,75 detik. Namun, Zhou kembali menjadi peraih medali emas dengan lompatan performa yang sangat besar dari babak pertama hingga final yang kurang dari tiga jam.
"Saya sangat senang dengan rekor saya. Saya tidak menyangka bisa mencetak rekor dunia, san sangat bagus bisa memiliki performa seperti ini. Tentu saya sangat terkejut. Saya tidak pernah berpikir saya bisa berlari secepat ini," ujar Zhou
Zhou mengalahkah Isis Holt yang sempat mendekat menjelang finis. Meskipun meraih perak, Holt tetap bangga dengan penampilannya di Paralimpiade keduanya ini.
Baca juga : Tim Tenis Meja Indonesia Kejar Perunggu
Isis Holt merupakan fenomena dari Australia. Dia pertama kali menggeluti atletik Paralimpiade pada 2014 saat masih di tingkat enam sekolah dasar. Setahun kemudian, pada Kejuaraan Dunia Atletik Paralimpiade di Doha, dia membuat kejutan dengan meraih medali emas di nomor 100 dan 200 meter T35 putri. Pada nomor 100 meter T35 putri, Holt yang waktu itu berusia 14 tahun mencetak waktu 13,63 detik, yang menjadi rekor dunia. Dia juga mencetak rekor dunia pada nomor 200 meter T35 dengan waktu 28,57 detik.
Holt yang dijuluki ”Lightning Bolt Holt” sempat jeda dua tahun dari atletik Paralimpiade setelah meraih emas Commonwealth Games 2018. Dia fokus pada studinya dan sempat menimbulkan tanda tanya apakah dia akan kembali berlomba atau tidak. Holt kembali ke lintasan atletik sekitar enam bulan sebelum Paralimpiade 2020 sebelum ditunda setahun akibat pandemi Covid-19. Penundaan itu memberi waktu lebih bagi Holt untuk mempersiapkan diri. Dan, kini mahasiswa Universitas Teknologi Queensland berusia 20 tahun itu berjaya di Paralimpiade Tokyo.
”Saya menyadari, betapa saya sangat mencintai menjadi bugar dan betapa saya sangat menyukai menyandang kondisi fisik saya, dan kemudian saya menyadari, tidak ada tempat lain seperti lintasan atletik,” ungkap Holt terkait keputusan kembali ke atletik di laman Athletics Australia.
”Saya membutuhkan jeda. Setelah Commonwealth, saya tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan,” ujar Holt.
”Saya istirahat di sisa 2018 dan sepanjang 2019. Jadi, saya bisa menyelesaikan studi level 12. Saya tidak berlari sepanjang itu,” kata Holt yang tergerak kembali ke lintasan atletik setelah menyaksikan video dirinya saat mencetak rekor 100 meter di London 2017.
"Ini sungguh istimewa, medali apa pun di Paralimpiade adalah sebuah kehormatan. Saya telah bekerja sangat keras untuk berada di sini. Bisa mencetak catatan waktu personal terbaik, mematahkan rekor dunia saya, adalah bukti atas kerja keras. Medali perak adalah cara yang cukup bagus untuk mencerminkan itu," ujar Holt dalam laman Sistem Informasi Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 untuk para jurnalis pemegang akreditasi.
"Diperlukan rekor dunia untuk mengalahkan saya. Dia (Zhou) adalah lawan yang sangat kuat dan tantangan besar bagi saya," ungkap Holt yang rekornya dipatahkan oleh Zhou di final.
"Start saya bisa lebih baik lagi, itu hanya satu dari beberapa hal. Tetapi saya tahu saya akan kuat di pertengahan lomba. Saya bisa mendekat di akhir dan jika kami memiliki 50 meter lagi, maka siapa tahu. Tetapi masih ada 200 meter pada Minggu" ungkap Holt tetap optimistis.
Holt kini meraih tiga medali perak dan satu perunggu dari Paralimpiade. Dua perak di nomor 100 meter dan 200 meter T35 dia raih di Rio 2016, perak 100 meter di Tokyo 2020, serta perunggu estafet 4x100 meter di Rio 2016. Dia kini memburu medali emas nomor 200 meter T35 yang akan berlangsung pada Minggu di Stadion Olimpiade Tokyo.
"Akan sangat bagus bisa meraih emas. Saya tahu 200 meter saya kuat dan itu nomor di mana saya sangat bersemangat berlari. Minggu adalah hari yang berbeda," lanjut Holt yang mulai tahun ini kuliah di bidang psikologi pada Universitas Teknologi Queensland.
Emas pertama
Sesi pagi atletik Paralimpiade juga memastikan Brasil sebagai negara pertama yang meraih medali emas pada cabang ini. Pelari jarak jauh klasifikasi T11—keterbatasan pada penglihatan, yaitu atlet tidak bisa melihat sepenuhnya atau bisa menangkap sedikit cahaya, tetapi tidak bisa melihat bentuk tangan sendiri pada jarak berapa pun—Yeltsin Jacquez menjadi yang tercepat pada final nomor 5.000 meter T11 dengan catatan waktu 15 menit 13,62 detik.
Jacquez bersama pemandunya menerapkan strategi jitu dalam menjaga ritme sehingga bisa mengalahkan dua andalan tuan rumah Jepang, Kenya Karasawa dan Shinya Wada, yang masing-masing meraih perak dan perunggu. Karasawa finis kedua dengan catatan 15 menit 18,12 detik, sedangkan Wada mencetak waktu 15 menit 21,03 detik.
Baca juga : Evi dan Yogo di Jalur Medali Paralimpiade
Pada nomor lompat jauh T11 putri, atlet Brasil, Silvania Costa de Oliveira, meraih medali emas dengan lompatan sejauh 5,00 meter, selisih 0,46 meter dari rekor dunia atas namanya sendiri yang dicetak pada 2016. Lompatan Costa de Oliveira di Stadion Olimpiade Tokyo juga hanya selisih 0,07 meter dari rekor Paralimpiade atas nama Purificacion Ortiz asal Spanyol yang bertahan sejak Atlanta 1996.
Medali perak lompat jauh T11 putri diraih oleh atlet asal Uzbekistan, Asila Mirzayorova, dengan lompatan sejauh 4,91 meter. Sementara medali perunggu diraih oleh pelompat jauh asal Ukraina, Yuliia Pavlenko, dengan 4,86 meter.
Pada nomor tolak peluru F41 putri—keterbatasan tubuh pendek atau kerdil—atlet asal Tunisia, Raoua Tlili, belum tertandingi oleh lawan-lawannya. Pemegang rekor Paralimpiade dengan tolakan sejauh 10,19 meter di Rio 2016 itu meraih medali emas Tokyo 2020 dengan rekor baru 10,55 meter. Ini sekaligus menjadi rekor dunia tolak peluru T41 putri. Tlili unggul jauh dari para pesaingnya, termasuk peraih perak Mayerli Buitrago Ariza asal Kolombia dengan tolakan sejauh 9,94 meter. Medali perunggu diraih oleh atlet asal Argentina, Antonella Ruiz Diaz, dengan 9,50 meter.