Atlet disabilitas Indonesia harus bertempur dengan segala ketidakpastian sebelum bisa bertanding di Paralimpiade Tokyo. Mulai dari protokol kesehatan, cuaca, hingga klasifikasi coba menghadang mereka.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Aura kebahagiaan terpancar dari petenis meja disabilitas Indonesia, Komet Akbar (35), pada debutnya di Paralimpiade Tokyo 2020. Setelah menanti satu dekade lamanya, Komet akhirnya bisa menggapai panggung tertinggi yang lama diimpikan, Rabu (25/8/2021).
Atlet kelas TT10 (disabilitas tangan paling ringan) ini begitu menikmati laga babak grup melawan unggulan pertama asal Polandia, Patryk Chojnowski. Dia bertarung gagah berani meskipun kalah dari peraih perak Rio 2016 itu, 0-3 (5-11, 7-11, 6,11).
”Tadi saya sangat percaya diri. Tetapi, memang kualitas bola dia lebih bagus. Kekalahan ini semakin memotivasi saya. Kalau bisa meladeni peringkat satu, masa yang lain tidak bisa,” ucap Komet, yang merasakan perbedaan atmosfer Paralimpiade dibandingkan ajang lain.
Terlepas dari hasil, Komet bersyukur karena rasa cemasnya seminggu terakhir telah usai. Sejak tiba di Wisma Atlet Tokyo, Selasa pekan lalu, Komet selalu was-was karena peraturan wajib tes Covid-19 setiap hari. Dia, sama seperti seluruh atlet Paralimpiade, harus menjalani tes saliva (air liur) pada pagi dan menanti hasil pada sore hari.
”Pasti khawatir setiap hari harus tes dan menunggu hasilnya sore hari. Karena yang begitu (virus Covid-19), kan, barang enggak kelihatan, ya. Kami hanya bisa menjaga diri sambil terus berdoa tidak positif,” kata peraih emas ganda putra TT10 Asian Para Games 2018 itu.
Wajar jika Komet khawatir. Hasil tes positif bisa menjegal mimpinya tampil pertama kali di Paralimpiade. Seperti diketahui, dia sudah lama menanti kesempatan ini, melewati berbagai kegagalan termasuk saat London 2012 dan Rio 2016.
Menyadari pertarungan tak terlihat itu, Komet melakukan segala cara agar tidak terpapar Covid-19. Dia membatasi pergerakan selama di wisma atlet. Juara Asia 2019 ini juga mengonsumsi madu dan menyiapkan obat kumur mulut untuk antisipasi.
Masalahnya, menjaga kesehatan di negeri ”orang” tidak semudah yang dibayangkan. Sejumlah atlet Indonesia sempat kesulitan beradaptasi dengan cuaca di Jepang yang sedang memasuki musim panas.
Suhu udara di Tokyo yang sekitar 32 derajat celsius pada siang, memang tidak berbeda jauh dengan Solo, tempat pemusatan latihan atlet nasional. Tetapi, cuacanya tidak menentu, bisa berubah drastis dalam hitungan jam.
Tantangan adaptasi cuaca ini dirasakan atlet bulu tangkis paralimpiade kelas SL 4 (disabilitas kaki ringan), Hary Susanto (46), yang menjalani persiapan terakhir di kota Machida. Kata Hary, cuacanya cukup panas sehingga sempat mengganggu persiapan.
Pasti khawatir setiap hari harus tes dan menunggu hasilnya sore hari. Karena yang begitu kan barang enggak kelihatan, ya. Kami hanya bisa menjaga diri sambil terus berdoa tidak positif.
”Kalau latihan cepat capek karena kemarin masih penyesuaian. Tetapi ini sudah mulai enak lagi. Kurang ngerti juga kenapa pemulihannya agak lambat. Padahal hampir sama seperti di Solo. Mungkin masih beradaptasi tubuhnya kemarin itu,” kata peraih dua emas Asian Para Games 2018 tersebut.
Ketegangan klasifikasi
Selain protokol kesehatan dan perbedaan cuaca, ujian tambahan dialami beberapa atlet. Salah satunya sprinter putri nomor 100 meter kelas T42, Karisma Evi Tiarani (20).
Evi sempat menjalani klasifikasi ulang di Tokyo. Hasil klasifikasi itu semula tidak menguntungkan. Panitia menyarankan Evi pindah ke kelas T44. Jika naik kelas, kansnya meraih emas menurun drastis karena melawan atlet dengan disabilitas lebih ringan.
T42 adalah klasifikasi untuk amputasi salah satu kaki di atas lutut atau keterbatasan yang setara, sedangkan T44 adalah klasifikasi atlet dengan amputasi salah satu kaki di bawah lutut atau yang setara.
Hasil itu diprotes Wakil Sekretaris Jenderal Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia Rima Ferdianto. Pemindahan kelas akhirnya dibatalkan setelah tinjauan ulang sekali lagi. ”Setelah pemeriksaan detail, Evi akhirnya tetap di nomor biasanya. Itu sangat melegakan,” ucap Rima.
Hal yang paling dikhawatirkan, semua rintangan berlapis ini akan berdampak terhadap mental atlet. Seperti yang sudah terjadi di Olimpiade Tokyo, atlet elite seperti pesenam Simone Biles saja bisa mengalami problem kesehatan mental karena ajang yang berlangsung dalam karantina ”gelembung” di tengah pandemi ini.
Meski demikian, kepala pelatih atletik paralimpiade, Slamet Widodo, mengaku tidak khawatir. Menurut dia, atlet yang berangkat ke Tokyo merupakan wakil terbaik. Mereka sudah rindu berkompetisi karena ajang multicabang yang diikuti adalah Asian Para Games 2018.
”Atlet-atlet ini sudah tersaring, karakternya juga bagus. Di atletik ada tujuh orang, semua itu sudah diberitahu tantangan yang akan dihadapi. Mereka sudah paham dan bisa menerima itu. Sisanya, tinggal kita hadapi bersama-sama, antara pelatih yang memberi bimbingan dan atlet yang menjalankan,” kata Slamet.
Paralimpiade di tengah pandemi, menurut Hary, memang paling berat daripada ajang lainnya. Namun, dia merasa semua itu sepadan demi mimpi meraih emas untuk Indonesia.
”Pasti sulit. Kami tidak bisa ke mana-mana, harus diam di hotel. Sudah bosan, inginnya cepat tanding lalu semoga bisa membawa pulang emas. Kami sudah siap perang karena sudah menunggu ini sejak setahun lalu,” tambah atlet yang akan turun pada nomor ganda campuran mulai 30 Agustus itu.
Segala rintangan ini akan menambah panjang perjalanan para atlet nasional untuk meraih prestasi. Namun, semua tantangan tersebut sebanding dengan misi mereka, untuk bertarung melawan stigma terhadap kaum disabilitas. Mereka sama-sama bisa membanggakan Indonesia.