Gelombang Doa untuk Para Olimpian
Selain pelatih, keluarga menjadi salah satu sumber kekuatan dan inspirasi para atlet. Keluarga mendukung saat atlet berjuang dan membantu mereka untuk bangkit ketika terpuruk.
Selain persoalan fisik dan teknik, sejumlah olimpian menempa kekuatan mental hingga spiritual agar tampil maksimal. Di balik upaya itu, ada dukungan dan gelombang doa dari keluarga. Itulah salah satu sumber kekuatan mereka.
Senin (2/8/2021) jelang fajar, Amiruddin Pora (64) tak henti merapal doa-doa terbaik untuk putri bungsunya, Apriyani Rahayu, dan Greysia Polii dari dalam kamar rumahnya di Desa Lawulo, Konawe, Sulawesi Tenggara. Hari itu adalah hari yang amat penting lantaran Apriyani dan Greysia menjadi tumpuan Indonesia satu-satunya untuk merebut medali emas Olimpiade Tokyo 2020.
Selang beberapa saat, telepon genggamnya berdering. Di ujung telepon, Ani—sapaan Apriyani—yang terpisah jarak sekitar 4.772 kilometer dari Konawe menyapa ayahnya. Ia khusus menelepon untuk meminta izin berangkat ke Musashino Forest Sport Plaza, Tokyo, untuk bertanding melawan Chen Qingchen/Jia Yifan. Ia juga memohon doa dan restu.
”Saya bilang, saya sudah doakan dan saya lepas. Sekarang kamu berangkat dan fokus,” cerita Amiruddin kepada Kompas, Senin (2/8/2021) siang.
Ketika pertandingan berlangsung pukul 13.00 Wita dan rumah keluarga Amiruddin ramai oleh sanak saudara yang menonton bareng pertandingan final, ia memilih tetap di kamar, menonton sambil terus berdoa. Ia baru keluar kamar setelah Ani dan Greysia memenangi pertandingan dan merebut emas. Lantas, ia melakukan sujud syukur.
Amirudin yakin sekali doa orangtua dan jutaan warga Indonesia memberi kekuatan mental kepada Ani dan Greysia hingga mereka bisa bertanding dengan gagah tanpa rasa takut. Apa doa yang dipanjatkan Amiruddin? ”Itu RHS, Pak. Rahasia, ha-ha-ha,” katanya. ”Pokoknya kita doakan saja karena Ani bukan bertanding untuk Lawulo, tetapi untuk Indonesia. Yang penting doanya ikhlas.”
Tanpa mengecilkan peran para pelatih yang menjadi juru strategi di lapangan, keluarga menjadi salah satu sumber kekuatan dan inspirasi para atlet. Orangtua Ani, Amiruddin dan almarhumah Sitti Jauhar, adalah orang yang mengarahkan Ani untuk menekuni bulu tangkis. Mereka susah payah membelikan raket bahkan dengan cara mencicil hingga mengantar Ani meniti karier bulu tangkis di Jakarta.
Pasangan Ani, Greysia, juga menyebut keluarga—terutama kakaknya Rickettsia Polii—sebagai sumber inspirasi dan kekuatannya. Ricki menjadi pengganti ayah Greysia yang telah lama meninggal dunia. Ricki pula yang selalu memotivasi Greysia dan Ani untuk terus memperkuat mental agar bisa melangkah merebut medali Olimpiade.
”Pada 2019, dia bilang ke saya dan Apriyani tentang mental. Bagaimana kita melatih mental, misalnya melatih mental ke psikolog, membaca buku motivasi dari para motivator,” cerita Greysia kepada wartawan Kompas, Agung Setyahadi, yang meliput Olimpiade Tokyo, Selasa (27/7/2021).
Baca juga : Liku Jalan Menuju Emas Olimpiade
Ricki yang meninggal dunia pada 24 Desember 2020, sehari setelah pernikahan Greysia dengan Felix Djimin, tidak hanya memotivasi, berinisiatif memperkenalkan adiknya dengan motivator serta praktisi mindfulness. Salah satu di antaranya Rani Badri Kalianda, praktisi mindfulness dan komunikasi dari Soul of Speaking (SOS) di Lebak Bulus, Jakarta.
”Waktu itu Ricki yang kebetulan sahabat saya dari kecil datang membawa Greysia. Lalu kami ngobrol. Greysia bilang, sejak kecil punya mimpi untuk menjadi juara Olimpiade. Saya jawab, ’siapa pun bisa jadi apa pun asalkan punya kelayakan diri yang tinggi untuk menjadi juara’,” tutur Rani menceritakan obrolannya dengan Greysia, Selasa (9/8/2021).
Singkat cerita, Greysia setuju mengikuti kelas SOS untuk menemukan kesadaran tentang kelayakan diri. Awalnya sendirian, tapi selanjutnya ia mengajak Ani. ”Setiap akhir pekan selama 2-3 jam, mereka ikut kelas SOS. Total enam pertemuan. Setelah itu, kami WA-an terus,” kata Rani sambil menunjukkan jejak percakapannya dengan Greysia sebelum dan selama Greysia berjuang di Tokyo.
Bunda super
Bagi peraih medali perunggu angkat besi Olimpiade Tokyo 2020, Windy Cantika Aisah, ibunya, Siti Aisah, adalah sumber inspirasinya untuk menekuni angkat besi. Siti memang bukan sosok sembarangan. Ia adalah lifter nasional yang merebut perak di Kejuaraan Dunia 1988.
Cantika sejak kecil biasa mendengar cerita ibunya tentang kehidupan atlet. Dari situlah ia tertarik berlatih angkat besi dengan gagang barbel dari paralon plastik di bawah bimbingan langsung ibunya sejak kelas IV SD. Setelah berkembang, Cantika dilatih mantan lifter nasional Maman Suryaman.
Sementara ibunya menjadi pendukung dan motivator utama lifter berusia 19 tahun itu. Cantika menceritakan, ibunya selalu mengingatkan dia agar tidak sombong meski sudah menjadi juara. Sang bunda juga terus mendorong dia agar fokus berlatih.
Baca juga: Cantika, Pembuka Jalan Perburuan Medali Olimpiade
Apa pun dilakukan Siti demi meningkatkan prestasi anaknya. Dua pekan menjelang Olimpiade, misalnya, putrinya meminta Siti Aisah datang ke pelatnas di Jakarta. Siti berangkat dari rumah di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menuju ke pelatnas untuk memberikan kekuatan mental.
”Biasanya saat mau tidur, dia minta dipeluk terus kami ngobrol-ngobrol,” kata Siti. Dengan begitu, Cantika menjadi tenang. Ujungnya, dia bisa melangkah jauh di Olimpiade Tokyo dan menyumbangkan perunggu untuk Indonesia.
Peran ibu juga menentukan karier Vidya Rafika, petembak yang tampil di Olimpiade Tokyo 2020. Saat Vidya jatuh sakit seusai Asian Games 2018, sang ibu, I Gusti Putu Ayu Indra Dewi, menjadi penyelamatnya. ”Saat itu, habis mandi dan pakai baju, Vidya minta tolong dipegang. Sampai kamar langsung ambruk. Lemas,” cerita Ayu yang juga mantan petembak nasional, Jumat (13/8/2021).
Setelah diperiksa, dokter menyatakan Vidya baik-baik saja. Demam pun tidak. Meski begitu, Vidya tidak berdaya. Kondisi itu berlangsung sekitar satu tahun sehingga Vidya tersingkir dari pelatnas. Ayu tak henti berdoa dan menyemangati anaknya.
”Saya bilang, kalau mau menghadapi sesuatu, ujian pasti ada. Rangking (atlet) Vidya merosot karena enggak pernah tanding,” ujarnya. Ayu berpesan, meski Vidya sakit, bukan berarti kalah. Optimisme senantiasa diembuskan ke dalam kalbu sang anak.
”Kamu sembuh dulu. Setelah itu, ayo kerja keras lagi. Kembali normal. Kita punya Tuhan. Serahkan kepada Allah. Kalau bersungguh-sungguh, apa pun bisa terjadi,” katanya.
Baca juga : Vidya Menjadi Atlet Sejak di Kandungan Ibunya
Segala upaya dan doa membuahkan hasil. Vidya berangsur-angsur sehat. Ia bisa berlatih lagi dari nol lalu ikut pertandingan untuk menaikkan peringkat. ”Waktu ikut pertandingan lagi, Vidya gemetar tapi tetap nomor satu. Tuh kan, saya bilang, kamu tetap paling baik,” ucapnya.
Perjuangan keras Vidya berujung manis. Ia menjadi petembak pertama Indonesia yang lolos langsung ke Olimpiade setelah mencatat hasil bagus di Kejuaraan Asia 2019 di Qatar. Ia juga meraih medali perunggu nomor 50 meter senapan api tiga posisi beregu putri dalam Piala Dunia ISSF 2021 di New Delhi, India. Namun, di Olimpiade Tokyo, Vidya belum berhasil merebut medali.
Bagi Maria Londa, atlet lompat jauh yang tampil di Olimpiade Rio 2016, keluarganya yang sangat sederhana merupakan alasan ia terjun ke dunia atletik. ”Mereka adalah tujuan saya. Saya berlatih giat untuk membuat mereka bahagia dan bangga dengan hasil yang saya raih,” ujar Maria yang mengenal lompat jauh pertama kali dari ayahnya, Kamilus Kasi.
Ketika berusia sembilan tahun, ia diajak ayahnya melihat atlet atletik berlatih di Stadion Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Maria pun tertarik pada atletik. Tahun berikutnya, ia mulai berlatih serius di bawah asuhan pelatih I Ketut Pageh. Dengan naik sepeda onthel dari Nusa Dua menuju Denpasar, yang berjarak sekitar 20 kilometer, Kamilus mengantar anaknya.
”Kalau ayah tak bisa mengantar, saya terpaksa berjalan kaki,” kata Maria, awal Juli lalu.
Berkat motivasi dari orangtua dan gemblengan pelatih, Maria mencetak prestasi internasional, antara lain merebut medali emas Asian Games Incheon 2014 dan tampil di Olimpiade Rio.
Kelayakan diri
Rani Badri menjelaskan, setiap atlet mesti memiliki kelayakan diri yang tinggi untuk menjadi juara di ajang olahraga tingkat tinggi seperti Olimpiade. Rani yang sempat menjadi fasilitator pelatihan mindfulness dan komunikasi untuk Greysia dan Apriyani tidak kaget pasangan ini bisa menjadi juara Olimpiade.
Mereka memang punya modal kelayakan diri yang tinggi, dari secara fisik, materi, emosi, sosial, hingga spiritual. ”Secara fisik mereka bagus. Secara materi, hidup mereka tidak bergantung pada benda. Secara emosi mereka stabil, tidak mudah marah. Secara sosial mereka pandai bergaul, dan secara spiritual mereka berusaha menjalankan nilai-nilai yang baik bagi kehidupan,” tambah Rani.
Namun, lanjut Rani, kelayakan diri harus dijaga. Pasalnya, kelayakan diri bisa disabotase oleh emosi-emosi yang kontraproduktif, seperti kecemasan dan rasa takut. Emosi kontraproduktif yang dihadapi Greysia dan Apriyani saat itu mengikuti pelatihan di SOS, kata Rani, adalah takut kalah.
Dari situ, mereka memetakan siapa musuh-musuh yang ditakuti dan mengapa. Mereka diminta menerima kecemasan itu, lantas melepaskannya. Selanjutnya, dengan beberapa teknik, mereka belajar membayangkan, merasakan, dan menikmati pertandingan; menjadi juara; dan mengibarkan Merah Putih. Dengan begitu, energi Greysia dan Apri menjadi besar.
Mereka juga diminta menggeser fokusnya selama bertanding di Olimpiade Tokyo. Fokusnya bukan medali, tetapi siapa saja yang mendapatkan kebanggaan atas medali itu, mulai keluarga, pelatih, induk organisasi, pemerintah, dan jutaan masyarakat Indonesia.
Rani yang pernah menjadi wartawan olahraga pada era 1980-an mengatakan, kesadaran tentang kelayakan diri dan cara untuk meningkatkannya selayaknya dimiliki oleh semua atlet Indonesia. ”Ilmu ini sudah lama dipakai oleh atlet di negara-negara Eropa untuk memaksimalkan prestasi mereka. Mungkin di Indonesia belum banyak yang pakai,” katanya.
Baca juga: Mengangkat Derajat Nomor Ganda Putri
Rani tidak bisa memastikan apakah kedua pasangan itu menerapkan pelatihan mindfulness dan komunikasi yang ia berikan saat berlaga di Olimpiade Tokyo dan sukses merebut medali emas. ”Bagaimanapun yang kami berikan berupa tools. Yang menentukan tetap atletnya. Apakah mereka memakai tools itu atau tidak. Dan jangan lupa, ada peran pelatih dan induk organisasi yang juga punya kelayakan diri tinggi di balik kesuksesan mereka,” ujar Rani.
Apa pun faktor pendorongnya, Greysia dan Apriyani menunjukkan energi yang besar dalam setiap pertandigan di Olimpiade Tokyo. Mereka bertarung dengan gagah, ngotot, tapi tidak pernah lupa untuk tersenyum.
Menurut dia, Greysia-Apriyani dan atlet lainnya karena mereka dan pelatih memang punya kelayakan diri tinggi sebagai juara. Kelayakan diri mereka diperkuat oleh gelombang doa dari orangtua, saudara, dan jutaan warga Indonesia. Dan, semesta merestuinya. (BAY/BSW)