Liku Jalan Menuju Emas Olimpiade
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu menjalani lika-liku hidup yang naik turun sebelum merebut medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Lika-liku hidup itu menempa mereka menjadi pejuang tangguh yang berhasil di kancah tertinggi.
Sejarah untuk bulu tangkis Tanah Air diciptakan Greysia Polii/Apriyani Rahayu dengan menjadi ganda putri pertama Indonesia yang meraih medali emas Olimpiade. Podium tertinggi Olimpiade Tokyo 2020 mereka gapai melalui kehidupan masing-masing yang penuh liku.
Dalam final di Musashino Forest Sport Plaza, Senin (2/8/2021), Gresyia/Apriyani mengalahkan Chen Qingchen/Jia Yifan (China), 21-19, 21-15. Tangis pun pecah saat mereka menjadi ganda putri pertama Indonesia yang menyumbangkan medali bulu tangkis Olimpiade.
Tangis itu melepas semua emosi yang mereka rasakan, bukan hanya saat bertanding, melainkan juga dalam menjalani hidup. Keduanya melalui liku hidup berbeda untuk mencapai puncak prestasi seorang atlet.
Yang terdekat, Greysia kehilangan kakaknya, Rickettsia Polii, yang meninggal pada 24 Desember 2020, sehari setelah pernikahan Greysia dengan Felix Djimin. Rickettsia adalah sosok kakak pengganti peran ayah Greysia yang telah tiada.
Masa kelam di arena bulu tangkis terjadi di ajang tertinggi, Olimpiade. Dalam debutnya di London 2012, Greysia, yang berpasangan dengan Meiliana Jauhari, mengalami diskualifikasi, meski telah mendapat tiket perempat final.
Bersama tiga pasangan lain, yaitu Ha Jung-eung/Kim Min-jung, Jung Kyung-eun/Kim Ha-na (Korea Selatan), dan Wang Xiaoli/Yu Yang (China), Greysia/Meiliana dicoret dari persaingan. Keempat pasangan dinilai merusak nilai-nilai olahraga karena tidak menunjukkan usaha terbaik untuk menang demi menghindari lawan lebih kuat di pada perempat final.
Tuhan memberi mimpi spesifik dalam hidup saya, saya mau mendapat medali emas Olimpiade di ganda putri.
Greysia pun memandang peristiwa itu dari sisi positif. Dia menjadikan momen pahit itu sebagai motivasi.
”Saya merefleksi diri, bukan hanya sejak London 2012, tetapi sejak usia 13 tahun. Waktu itu, saya melihat senior saya begitu luar biasa. Mereka menjuarai Olimpiade dan juara dunia. Saya punya mimpi untuk menjadi seperti mereka. Tuhan memberi mimpi spesifik dalam hidup saya, saya mau mendapat medali emas Olimpiade di ganda putri,” tutur Greysia pada wartawan Kompas, Agung Setyahadi, yang meliput final ganda putri di Tokyo.
Kesempatan mewujudkan mimpi itu datang ketika dia menjalani debut di Olimpiade London 2012. ”Banyak pro dan kontra tentang kejadian (diskualifikasi) itu, tetapi saya hanya mau mendengarkan orang yang mendukung saya secara tulus. Mereka bilang, jangan menyerah dulu karena ganda putri ada di pundak saya,” lanjut pemain yang selalu memperlihatkan kedewasaannya ketika berbicara pada media itu.
Di tengah gempuran pemain-pemain China, Jepang, dan Korea Selatan, yang dinilai Greysia sudah sangat terlalu kuat, dia menapaki kembali kariernya. Greysia kembali berpartner dengan Nitya Krishinda Maheswari yang pernah menjadi pasangannya pada 2008-2010.
Keduanya bisa dikategorikan sebagai salah satu pasangan terbaik tanpa gelar juara ajang besar, hingga membuat kejutan pada Asian Games Incheon 2014 di bawah polesan Eng Hian. Mantan pemain ganda putra itu datang ke pelatnas Cipayung pada Maret 2014.
Pesaing mereka, yang lebih difavoritkan juara, adalah pasangan China, Korea Selatan, dan Jepang yang menjadi kekuatan ganda putri dunia. Greysia/Nitya menembus kekuatan itu dengan merebut medali emas.
Greysia kembali kehilangan kepercayaan diri hingga memutuskan pensiun ketika Nitya tak bisa lagi bermain karena cedera lutut hingga harus menjalani operasi. Apalagi, harapan mereka untuk melangkah jauh di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 tak tercapai karena terhenti pada perempat final. Saat itu, Greysia pun menuturkan kemungkinan bahwa Rio de Janeiro 2016 menjadi Olimpiade terakhirnya.
Dia akhirnya memutuskan tetap di pelatnas, seperti permintaan Eng Hian, bermisikan mematangkan permainan adik-adiknya, dengan cara dipasangkan dengan Greysia. Greysia pun dipasangkan dengan Rosyita Eka Putri Sari, lalu Rizki Amelia Pradipta pada awal 2017, hingga dijodohkan dengan Apriyani yang baru setahun lepas dari kategori yunior.
Pertama kali diturunkan dalam kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman pada Mei 2017 di Selandia Baru, mereka menjalani debut dalam turnamen individu di Thailand Terbuka dan menjadi juara. ”Waktu saya mikir, wah saya harus ada empat tahun lagi nih, ha-ha-ha,” kata Greysia.
Mental tangguh
Bagi Apriyani, yang saat itu berusia 19 tahun, momen juara di Thailand, empat tahun lalu itu melambungkan namanya. Pada satu kesempatan, Eng Hian bercerita, dia memiliki tanggung jawab menjaga Apriyani sebagai bintang muda yang baru melejit.
”Banyak teman yang mungkin tadinya sudah menjauhi dia, mendekat lagi. Banyak yang mengajak bertemu, bahkan dalam waktu latihan. Saya pun harus berusaha menjaga Apriyani. Jika tidak, banyak gangguan yang membuat dia tidak disiplin,” tutur Eng Hian, yang tak ingin potensi Apriyani tersia-siakan karena tidak bersikap profesional sebagai atlet.
Diceritakan Imelda Wigoeno, Ketua Harian PB Jaya Raya, klub asal Greysia/Apriyani, Eng Hian membuka komunikasi dengannya untuk menjaga potensi Apriyani. ”Greysia juga selalu membantu mengingatkan karena dia lebih senior. Apalagi, potensi besar Apriyani terlihat sejak yunior,” kata Imelda.
Saat bersaing dalam kategori untuk pemain berusia di bawah 19 tahun itu, Apriyani menjadi finalis ganda putri Kejuaraan Dunia Yunior 2014 bersama Rosyita. Dia juga meraih beberapa gelar juara ganda putri dan campuran, di antaranya bersama Jauza Fadhila Sugiarto dan Rinov Rivaldy. Jauza, salah satu anak Icuk Sugiarto, adalah pasangan Apriyani sejak mereka bergabung di PB Pelita yang dibina Icuk.
Di mata Greysia dan Eng Hian, Apriyani adalah sosok dengan mental tangguh yang tak takut dengan tantangan apa pun. Dia pun tak mundur ketika tawaran berpasangan dengan Greysia akan membuatnya menjalani latihan dan tekanan yang teramat berat, lebih berat dibandingkan saat bersaing di yunior.
Karakter tersebut tumbuh pada diri bungsu dari tiga bersaudara itu dalam kehidupan sehari-harinya. Lahir di Lawulo, Konawe, Sulawesi Tenggara, Apriyani berasal dari keluarga sederhana.
Seperti pernah diceritakan Apriyani saat baru bergabung ke pelatnas, ayahnya, Amiruddin, sering kali meminjam uang agar bisa membiayai putrinya untuk mengikuti berbagai pertandingan. Tekad Apriyani untuk menjadi pemain bulu tangkis memang begitu besar.
Kegemarannya bermain bulu tangkis berawal dari kesukaannya menonton pertandingan di TV. Diawali dengan bermain di halaman rumah menggunakan raket dari papan, kemampuannya diasah pelatih bernama Sapiuddin. Berbagai prestasi di tingkat daerah membawanya ke Jakarta untuk berlatih di PB Pelita pada 2011, lalu pindah ke Jaya Raya, dan bergabung di pelatnas.
Apriyani pun mendedikasikan medali emasnya untuk orangtua, semua anggota keluarga, dan pelatih yang mendukungnya sedari kecil. Dia juga bercerita tentang semua pelajaran yang didapat selama berpartner dengan Greysia.
”Saya belajar mendewasakan diri. Harus mencoba keluar dari zona nyaman. Dulu, saya adalah orang yang tidak mau diatur. Namun, adanya Kak Greys menjadikan saya lebih dewasa dalam cara berpikir, juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alhamdulillah, kami bisa mendapatkan ini semua,” tutur Apriyani.