Kisah Muamar Qadafi, Pelatih Indonesia di Balik Kejutan Kevin Cordon
Lolosnya pebulu tangkis Guatemala, Kevin Cordon, ke semifinal tunggal putra Olimpiade Tokyo 2020 tak bisa dipisahkan dari peran pelatih asal Indonesia, Muamar Qadafi. Seperti apa kisah Qadafi melatih Cordon?
Muamar Qadafi tak pernah membayangkan bakal mampu mengantar Kevin Cordon, pebulu tangkis asal Guatemala, hingga semifinal tunggal putra Olimpiade Tokyo 2020. Pelatih kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 30 Oktober 1981 itu mengawali karier kepelatihannya di Peru pada April 2005 semata demi memperoleh pengalaman internasional.
Bagaimana liku-liku suami dari Runi Marleta dan ayah dua anak, Mohammad Leon dan Abdan Rafif Elano ini, dalam karier kepelatihan di Peru dan Guatemala, berikut petikan wawancara dengan Qadafi yang berlangsung pertengahan pekan ini.
Bagaimana awal mula melatih di Benua Amerika?
Waktu itu, sekitar April 2005, teman saya yang sesama dari PB Djarum, Roy Purnomo dan Agustinus Sartono, menjadi lawan latih tanding di tim nasional Peru. Tiga bulan kemudian, ada tawaran kepada saya untuk melatih tim nasional Peru seiring kontrak pelatih terdahulu yang asal China yang sudah habis dan tidak diperpanjang.
Saya berpikir keras, diambil atau tidak tawaran melatih di Peru itu. Kalau diambil, kok jauh banget dan belum punya gambaran seperti apa bulu tangkis di sana. Namun, di satu sisi, karier itu membuka jalan saya di karier internasional.
Saya akhirnya bertolak ke Peru. Seperti diduga, di Peru bulu tangkis bukan olahraga favorit sehingga mau apa-apa terhadang kendala. Untuk mencari peralatan latihan, seperti raket, kok dan senar raket, susah minta ampun. Kalaupun ada, biasanya setelah saya memesan dari pelatih-pelatih di Amerika Serikat, harganya juga terhitung mahal.
Jadwal latihan juga sangat ditentukan waktu atlet. Maklum, di Peru banyak atlet yang punya pekerjaan lain atau sedang kuliah. Jangan dibayangkan mereka biasa berlatih tiap hari karena bulu tangkis masih menjadi olahraga pengisi waktu. Di Peru, pelatih bulu tangkis seperti saya yang harus mengalah, menyesuaikan jadwal latihan dengan ketersediaan waktu para atlet.
Mengapa waktu itu akhirnya memilih berangkat ke Peru, sementara bayangan tentang negara itu juga masih samar-samar?
Waktu itu lebih kuat keinginan untuk mencari pengalaman internasional. Kalau tetap di Indonesia, ya pengalaman hanya lokal-lokal saja. Sementara bulu tangkis di Indonesia menjadi salah satu olahraga dengan banyak peminat. Jadi, misalnya saya tetap bertahan di sini, pesaing sesama pelatih juga lebih banyak.
Ada unsur spekulasi juga di situ karena sejak awal belum tahu akan seperti apa prosesnya juga bagaimana akhirnya. Apalagi waktu itu usia saya baru 24 tahun, mau jalan ke 25 tahun. Pengalaman menjadi pelatih juga belum terlalu banyak di sini. Namun, harus diakui, hasrat untuk mencari pengalaman internasional itu sangat besar.
Baca juga: Kejutan Guatemala di Bulu Tangkis
Ada prestasi yang bisa dicatat sebagai pencapaian penting di satu-dua tahun perdana?
Salah satunya ketika saya membawa tim Peru ke kejuaraan yunior Pan America 2006 dan mengantar mereka sebagai juara nomor beregu, mengalahkan dua tim kuat Benua Amerika, Kanada di semifinal, dan AS di final. Di tunggal putra U-19, Peru juga juara melalui Antonio de Vinatea. Bukan hanya itu, di tunggal putra U-17 juga juaranya dari Peru, Bruno Monteverde.
Dari situ lalu banyak yang bertanya-tanya, ini Peru kok tiba-tiba merebut banyak gelar juara di Pan America. Oh, ternyata ada pelatih dari Indonesia. Dari situ mungkin saya mulai dikenal. Setelah itu, Federasi Bulu Tangkis Pan America juga meminta saya menggelar coaching clinic selama sepuluh hari. Dari situ juga atlet dan pelatih setempat semakin mengenal saya dan semakin banyak tawaran untuk melatih di negara mereka.
Kalau perjumpaan pertama dengan Kevin Cordon, bagaimana ceritanya dan kesan Anda terhadapnya?
Kevin Cordon pernah magang di Peru ketika saya melatih di Peru, 2006-2007. Mungkin ada semacam program magang dari Federasi Bulu Tangkis Guatemala setelah mereka mendengar ada pelatih dari Indonesia di Peru dan salah satu yang dikirim adalah Kevin Cordon.
Waktu itu usia Cordon masih 19 tahun. Saya terkesan dengan potensi dia. Smesnya kencang dan bisa bermain cepat. Kalau dipoles dengan benar, saya yakin dia bisa menjadi pemain besar. Saya sampaikan ke dia, kalau tetap di Guatemala akan sulit berkembang karena fasilitas terbatas dan lawan latih tanding juga itu-itu saja.
Saya merekomendasikan agar dia banyak-banyak mencari pengalaman di luar Guatemala. Kalau perlu di luar Benua Amerika. Nah, waktu itu, kebetulan ada program BWF di Saarbrüecken, Jerman, untuk pemain-pemain dari negara dunia ketiga di bulu tangkis supaya bisa lolos di Olimpiade Beijing 2008.
Saya sarankan Cordon untuk bergabung di program itu. Pada awalnya, Cordon agak ragu karena jika jadi ikut, itu artinya selama dua tahun sama sekali tidak bisa pulang ke Guatemala. Syarat itu sulit baginya karena waktu itu dia masih ingin tinggal dekat dengan keluarga.
Akhirnya dia ikut program di Saarbruecken itu. Hidupnya total berubah menjadi cuma berlatih bulu tangkis, istirahat, dan kompetisi. Di Saarbruecken itu, dia bergabung dengan 12 pebulu tangkis dengan level sama dari sejumlah negara. Dia juga lolos di Olimpiade Beijing 2008 dan tampil impresif ketika bertemu Bao Chunlai.
Yang jadi masalah, setelah dari Jerman itu, program Saarbruecken selesai. Dia kemudian bertanya ke saya, posisi sedang melatih di mana? Saya jawab, saya sudah tidak melatih Peru. Dari situ saya lalu diminta melatih Guatemala untuk periode pertama, 2009-2010, khususnya banyak memoles Kevin Cordon, yang waktu itu masih main di tunggal dan ganda. Ketika itu Kevin juara tunggal putra Central American Games dan juara Pan Amerika.
Dari situ Anda sempat beberapa tahun pulang ke Indonesia, sebelum kemudian melatih ke Benua Amerika lagi. Bagaimana ceritanya?
Saya mendengar, Kevin Cordon merasa tidak puas dengan penampilan di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Dia merasa ketika itu terlalu gemuk dan tersisih di babak awal. Sampai muncul pertanyaan, mau pensiun atau lanjut lagi? Kalau lanjut lagi, salah satu yang diperlukan untuk melanjutkan karier adalah pelatih. Nama pelatih yang terpikir di benaknya, katanya, ya hanya nama saya.
Dia mengontak saya, yang waktu itu berada di Indonesia. Dia bertanya, bisa bantu saya untuk satu siklus lagi? Main di Central American Games 2018, Pan Amerika 2019, dan lolos Olimpiade Tokyo 2020. Waktu itu ada tawaran dari negara-negara lain, tetapi saya merasa lebih mengenal Cordon.
Dia pemain yang bertanggung jawab dan profesional. Artinya, kalau sudah fokus, ya pasti menjalankan instruksi pelatih 100 persen. Jadi, tanpa pikir panjang saya jawab, ”Oke, saya bantu.” Ketika itu Maret 2017.
Baca juga: Anthony Ginting Wujudkan Mimpi
Sebelum Olimpiade Tokyo 2020, apakah terbayang Kevin Cordon bakal mengejutkan?
Sebenarnya, di luar faktor yakin atau tidak yakin, di bulu tangkis Olimpiade pemain Amerika itu biasanya gugur di grup atau paling jauh 16 besar. Sampai-sampai, tiket pulang pun sudah dibeli untuk tanggal setelah tuntas fase grup, yaitu 28 Juli, karena biasanya hanya sampai di situ. Seperti itu situasinya.
Di Grup C, ada dua lawan, yaitu Lino Munoz dari Meksiko dan Ng Ka Long Angus, pemain Hongkong. Kalau Lino Munoz, sudah tergambar kekuatannya dan Kevin Cordon sudah sering bertemu. Namun, Ng Ka Long Angus ketika itu peringkat kedelapan dunia dan di Thailand awal 2021 mencapai final sebelum kalah dari Viktor Axelsen, ini jelas lebih berat. Namun, ya sudah, kita siapkan sebaik-baiknya saja, siapa pun lawan yang akan dihadapi.
Setelah menang atas Munoz, apa yang dilakukan sebelum bertemu Ng Ka Long Angus?
Kami berdiskusi, ngobrol, apa yang harus dia lakukan. Kita lihat, Ng Ka Long sering main reli sembari menunggu saat tepat untuk menyerang. Saya katakan, ya kita adu saja karena dalam latihan juga sudah sering mempraktikkan itu.
Namun, saya juga sampaikan beberapa pesan, seperti jangan lupa dengan permainan depan karena andalan Cordon itu di depan. Selain itu, dia juga punya smes kencang, tetapi juga harus tahu kapan saat-saat tepat melepaskan smes itu. Saya juga katakan, kalau di tengah pertandingan ada yang diyakini bisa efektif untuk mengimbangi lawan, lakukan saja.
Ternyata, situasi seperti yang kami bayangkan. Mungkin dipengaruhi faktor Ng Ka Long belum memahami permainan Kevin Cordon karena jarang bertemu. Seperti kita ketahui, Kevin Cordon menang 22-20, 21-13 dan menjadi juara Grup C.
Bagi saya, keberhasilan lolos dari grup ini antara lain karena permainan lawan seperti yang kita bicarakan. Apalagi, pebulu tangkis Benua Amerika seperti Cordon juga dalam posisi tidak ada beban. Kita ke Tokyo untuk menikmati permainan dan memberikan yang terbaik yang kita bisa. Beda dengan pemain China, Indonesia, Jepang yang tuntutannya jauh lebih besar.
Di 16 besar, Cordon menyisihkan Mark Caljouw dari Belanda dan lolos ke perempat final. Di babak ini dia bertemu Heo Kwang-hee dari Korea Selatan, yang sebelumnya mengalahkan unggulan pertama Kento Momota. Persiapannya seperti apa?
Melawan Heo Kwang-hee dari Korea Selatan, yang sebelumnya mengalahkan Kento Momota, ide bermainnya adalah bagaimana membuat Heo tidak banyak-banyak melepaskan smesnya. Mungkin bisa melakukan smes, tetapi harus dibuat tidak sesering biasanya.
Nah, tinggal dibuktikan, apakah jika dia diredam smesnya, Heo bisa bermain dengan pola lain? Ternyata, permainan dia tidak bisa berkembang kalau smes banyak diredam. Permainan Heo jadi monoton, apalagi terbebani dia harus menang, sehingga Kevin Cordon lebih bisa mengendalikan permainan lawan.
Lolos ke semifinal Olimpiade, banyak ucapan selamat ya kepada Cordon dan juga Anda.
Menurut orang-orang Federasi Bulu Tangkis Guatemala, kita mendapat banyak ucapan selamat dari sesama insan bulu tangkis Benua Amerika dan pejabat BWF yang ikut menonton perempat final itu. Belum banyak pemain Amerika yang mencapai semifinal Olimpiade.
Situasi di Guatemala waktu perempat final, semifinal, dan laga perebutan medali perunggu mengingatkan saya pada era 1980-an dan 1990-an di Indonesia. Ketika itu kota-kota menjadi sepi karena orang menonton pertandingan bulu tangkis.
Selepas kalah dari Viktor Axelsen di semifinal, bagaimana strategi Cordon menghadapi Anthony Ginting dari Indonesia untuk memperebutkan medali perunggu?
Saat melawan Ginting, sudah disiapkan juga apa yang perlu dilakukan. Namun, di lapangan ada juga banyak kesalahan sendiri oleh Cordon. Menciptakan konsistensi permainan juga tidak mudah. Kadang di satu hari main bagus, di hari lain banyak kesalahan sendiri.
Di sisi lain, permainan Ginting menyusahkan Cordon. Ada beberapa pukulan yang tidak pernah ditemui Cordon saat berlatih. Meski itu juga sudah berusaha diantisipasi, tetapi di lapangan, dia belum pernah menghadapi situasi seperti itu.
Bagi Anda sendiri, keberhasilan memandu Cordon hingga semifinal Olimpiade Tokyo ini lebih dominan haru atau bangga?
Bisa dibilang keduanya. Bangga karena dia telah membuat sejarah untuk Guatemala dan Benua Amerika. Terharu karena dengan kondisi Guatemala yang tidak memiliki kondisi dan fasilitas seperti negara-negara besar bulu tangkis. Tetapi dengan hati dan kegigihan perjuangan Cordon, dia bisa mencapai prestasi luar biasa.
Posisi sekarang, apakah sedang beristirahat setelah kontrak dengan Cordon tidak berlanjut?
Betul. Cordon sedang memikirkan akan gantung raket setelah Olimpiade. Saya sendiri untuk sementara beristrahat dulu sambil menunggu jika ada tawaran melatih. Melihat upacara penyerahan medali di Olimpiade Tokyo 2020, saya masih punya obsesi untuk suatu saat nanti ingin membawa pemain, siapa pun dia, merebut medali di Olimpiade. Apakah itu emas, perak, atau perunggu.