Ketenangan Anthony Sinisuka Ginting yang Menghanyutkan
Tampil dalam Olimpiade sekaligus mendapat medali menjadi mimpi yang menjadi nyata bagi Anthony Sinisuka Ginting.
Berdiri di podium Olimpiade Tokyo 2020, meski bukan pada posisi tertinggi, menjadi mimpi yang menjadi nyata bagi Anthony Sinisuka Ginting. Medali perunggu yang diraihnya diharapkan menjadi pembuka jalan untuk hasil yang lebih baik di Paris 2024.
Anthony, yang terkesan kalem dan pendiam, adalah persona yang menarik untuk diwawancara. Canda menjadi warna pembicaraannya ketika wartawan Kompas, Agung Setyahadi, bertemu dengannya di mixed zone Musashino Forest Sport Plaza, setiap selesai pertandingan, termasuk setelah dikalahkan Chen Long (China) pada semifinal, Minggu (1/8/2021).
Pemain berusia 24 tahun itu tetap bisa tersenyum. Dia tak menyangkal bahwa kekalahan itu mengecewakan, tetapi menjadikan yang telah terjadi sebagai masa lalu untuk bisa lebih baik di depan.
Kemampuan mengalihkan fokus setelah mengalami kekalahan di semifinal, lalu bertanding lagi pada perebutan medali perunggu bukanlah perkara mudah. Anthony memang masih bisa tersenyum dan tenang tutur katanya, tetapi dalam dirinya perasaan sedang berkecamuk. Dia mengakui itu setelah meraih medali perunggu, di mana dia sulit tidur pada malam menjelang perebutan medali melawan Kevin Cordon dari Guatemala.
Ada keresahan yang membuat pikirannya melayang-layang, gundah, dan khawatir, jika dirinya gagal seperti saat semifinal. Pada momen-momen galau seperti inilah dia kembali ke orang-orang terdekatnya, keluarga dan teman-teman karibnya, dan yang pasti berserah diri ke Tuhan.
Malam menjelang pertandingan itu, dia banyak berdoa untuk mendapatkan ketenangan batin. Dia juga curhat dengan orang-orang lingkaran terdekatnya untuk mendapatkan tempat bersandar dan secercah jalan untuk beranjak dari momen sulit setelah kekalahan.
Satu yang membuat dia bisa selalu bangkit adalah pesan kedua orangtuanya untuk selalu melihat hal positif di setiap kesulitan. Malam itu mama dan papanya menguatkan Anthony supaya menerima kekalahan dan beranjak menjemput medali dalam debutnya di Olimpiade.
"Orangtua paling penting, mereka mengatakan gak apa-apa kalah, kan masih ada kesempatan lagi meraih medali (perunggu). Bersyukur saja sudah diberi kesempatan bertanding di sini. Karena ini Olimpiade pertama dan semua bisa terjadi di sini, apalagi gak menyangka juga bisa sampai sejauh ini," ungkap Anthony.
Kemampuan Anthony mengelola emosinya itulah yang membuat dia bisa bangkit, meskipun tidak mudah. Dia sering menengok ke belakang, ke masa dia mengawali karier bulu tangkis. Jalan yang sudah dia tempuh dengan segala rintangan, telah mengantar dia menjadi pemain elite dunia.
Pemain asal PB Sangkuriang Graha Sarana (SGS) PLN Bandung itu, bahkan, dinilai beberapa pemain elite lainnya sebagai lawan yang paling sulit ditaklukkan, termasuk oleh tunggal putra nomor satu dunia, Kento Momota. Meski kalah dari Chen Long, Anthony memiliki keunggulan dalam statistik pertemuan dengan peraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 itu, yaitu 8-5. Dengan Viktor Axelsen (Denmark), si peraih emas di Tokyo 2020, mereka berbagi empat kemenangan.
Ade Rukman, pelatih semasa Anthony menimba ilmu di SGS, menilai, Anthony memang memiliki keistimewaan yang dilihatnya sejak kecil. Salah satu yang menonjol, dikatakan Ade, adalah kekuatan pergelangan tangan Anthony yang merupakan modal penting untuk bermain bulu tangkis.
“Dengan kelebihan itu, permainan dia tidak standar. Permainannya sangat variatif, bisa membuat susah lawan. Makanya, dia sering dibandingkan dengan Taufik Hidayat yang memiliki keistimewaan itu,” ujar Ade.
Ade mengenal Anthony sejak dia pertama kali berlatih di SGS pada usia sekitar 6-7 tahun. Oleh karena SGS memiliki arena latihan di berbagai lokasi di Bandung, Anthony pun dilatih orang berbeda, termasuk Ade.
Selain kelebihan dalam sisi teknik, Ade juga melihat sisi lain yang menjadi keistimewaan peraih perunggu Kejuaraan Dunia Yunior 2014 itu. “Orangnya pendiam, jadi di lapangan, dia punya ketenangan saat bertanding. Dia juga sangat fokus dan selalu berpikir. Latihan juga rajin,” kata Ade, yang sejak 2014 mendirikan Ade Badminton Club (ABC).
Tak pernah lupa pada orang-orang yang berpengaruh dalam kariernya, Anthony selalu berusaha menemui pelatih-pelatihnya saat datang ke Bandung. “Dia pernah memberi karpet untuk latihan anak-anak di klub saya,” kata Ade.
Membidik Paris 2024
Tampil dalam Olimpiade menjadi mimpi yang menjadi nyata bagi Anthony. Emas memang belum dia dapat, tetapi medali perunggu bukan pencapaian yang bisa diremehkan.
Untuk meraih medali, apapun warnanya, perjuangan di Olimpiade terasa berat. Menjalani Olimpiade pada masa pandemi Covid-19, bahkan terasa luar biasa berat sejak masa persiapan.
Anthony pertama kali memahami makna Olimpiade saat menonton London 2012, ketika berusia 15 tahun. Dia tidak terlalu memperhatikan Olimpiade sebelumnya, meskipun Taufik yang menjadi idolanya meraih emas tunggal putra Athena 2004.
Tujuh belas tahun berlalu dari momen itu, dan Anthony mengakhiri penantian panjang tunggal putra untuk kembali meraih medali Olimpiade. Setelah Taufik meraih emas, ditambah perunggu dari Sony Dwi Kuncoro pada tahun yang sama, baru Anthony yang meraih kembali medali tunggal putra pada ajang persaingan olahraga terbesar di dunia itu.
Pencapaian di Tokyo 2020 bisa saja menjadi awal dari jalan menuju medali emas, seperti yang dialami oleh Chen Long. Tunggal putra peringkat keenam dunia itu meraih medali perunggu di London 2012, emas di Rio 2016, dan perak di Tokyo 2020. "Itu sesuatu yang juga saya pikirkan saat ini, saya harap bisa," ujar Anthony bercanda.
“Tetapi, tentu saja saya perlu memperbaiki seluruh aspek, mentalitas juga fisik, karena Olimpiade berikutnya akan lebih sulit dan lebih ketat, karena semua pemain akan sangat menginginkan medali emas, dan Tokyo 2020 adalah pengalaman terbesar bagi saya," ungkap Anthony.
Tokyo 2020 memang menjadi pengalaman yang unik sekaligus sulit karena berlangsung dalam situasi pandemi. Atlet tidak bisa bersiap secara maksimal karena kendala pembatasan jarak serta aktivitas yang membatalkan banyak kejuaraan.
Baca juga : Anthony Buktikan Tunggal Putra Bisa Bersaing
Anthony memiliki pendekatan sendiri terkait hal itu, yaitu berdamai dengan keadaan. Dia memandang kesulitan ini bukan hanya dia alami sendiri, tetapi seluruh penghuni bumi sedang kesulitan. "Saya tidak bisa menjadikan pandemi sebagai alasan, karena para pemain lain juga merasakan. Jalani saja, nikmati saja," ungkap Anthony.
Dia pun memetik pelajaran dari setiap momen yang dijalani saat pandemi. Ketika bertanding dalam tiga turnamen di Thailand, Januari 2021, dia menjadikan pengalaman berada dalam “gelembung” yang ketat untuk melatih kesiapan mental untuk Olimpiade.
Dia pun sudah siap ketika harus berada di wisma atlet Tokyo 2020 ketika protokol kesehatan diterapkan dengan ketat. Hidup dalam gelembung dia jalani tanpa banyak keluhan, dan mentalitas itulah yang mengantar Anthony meraih medali Olimpiade pertamanya. Medali yang menegaskan bahwa tunggal putra Indonesia punya potensi kembali berjaya di ajang Olimpiade.
Anthony Sinisuka Ginting
Lahir : 20 Oktober 1996
Peringkat dunia : 5
Prestasi :
Juara Korea Terbuka 2017
Juara China Terbuka 2018
Perunggu Asian Games Jakarta Palembang 2018
Juara Indonesia Masters 2018
Finalis Final BWF World Tour 2019
Juara Indonesia Masters 2020
Perunggu Olimpiade Tokyo 2020