Nesthy Petecio, dari Pemungut Kotoran Ayam Menuju Emas di Ring Tinju
Nesthy Petecio sudah terbiasa menerima pukulan, baik itu di ring tinju maupun dalam perjalanan hidupnya. Mantan pemungut kotoran ayam ini menjadi harapan Filipina untuk meraih emas kedua di Olimpiade Tokyo.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Butuh waktu 125 tahun bagi Filipina untuk mendapatkan emas Olimpiade pertama yang dipersembahkan atlet angkat besi, Hidilyn Diaz. Namun, kini mereka berpeluang mendapatkan emas kedua hanya dalam jangka waktu delapan hari. Filipina hanya berjarak satu pertandingan untuk meraih mimpi itu di Olimpiade Tokyo 2020. Petinju putri mereka, Nesthy Petecio, satu-satunya orang yang paling mungkin untuk mewujudkan momen tersebut.
Petecio bakal menghadapi petinju tuan rumah Jepang, Sena Irie, di partai puncak nomor tinju putri kelas bulu 54-57 kilogram, Selasa (3/8/2021) siang. Sejauh ini, Petecio belum terhentikan di Olimpiade Tokyo. Petinju berusia 29 tahun tersebut membuka kiprahnya di Tokyo dengan kemenangan telak, 5-0 atas petinju Kongo, Marcelat Sakobi Matshu. Di pertandingan kedua, Petecio mengalahkan petinju Taiwan, Lin Yu-Ting, dengan skor 3-2.
Di perempat final, Petecio mampu mengatasi perlawanan peraih medali perunggu Pan American Games asal Kolombia, Yeni Arias, dengan skor 5-0 untuk mengamankan tempat di semifinal. Petecio mengunci tiket partai final setelah menundukkan wakil Italia, Irma Testa, dengan skor 4-1.
Gaya bermain Petecio yang ulet dan serba bisa sukses meyakinkan para juri sejauh ini. Kini, ujian terakhir Petecio adalah Irie, petinju tuan rumah dengan postur 164 sentimeter atau lebih tinggi 5,4 sentimeter dari dirinya. Di lain pihak, Irie juga berhasrat menjadi petinju putri pertama Jepang yang merebut medali emas di Olimpiade.
”Di final, saya ingin bertanding dengan keinginan untuk menjatuhkan lawan saya dan memukulnya dengan tangan kanan,” kata Irie dikutip dari Kyodo News, Senin (2/8/2021). Tangan kanan memang menjadi kekuatan utama dari Irie.
Keluarga miskin
Tiada yang menyangka orang yang berkesempatan menggandakan emas Olimpiade Filipina lahir dari keluarga petani miskin di kota Santa Cruz. Sebelum mengatasi rintangan demi rintangan untuk menjejak partai final Olimpiade, Petecio telah lebih dulu melewati kerasnya cobaan untuk bertahan hidup.
Ayah Petecio, Teodoro, dan ibunya, Prescilia, hidup dari hasil bertani dan bekerja serabutan. Keluarganya tinggal di sebidang tanah kecil di Davao, Filipina. Apa pun akan dilakukan keluarga Petecio demi bertahan hidup.
Kala itu, keluarga Petecio sangat miskin dan menderita. Petecio bersama dua adiknya, Norlan dan Nicezza, kerap meringankan beban ekonomi keluarga dengan mengumpulkan kotoran ayam untuk dijual sebagai bahan pupuk.
”Selama itu, kami benar-benar tidak punya apa-apa. Kami beberapa kali meminjam uang untuk bisa membeli makanan,” kata Petecio.
Jika sedang tak ada rezeki sama sekali, Petecio kerap mengikuti pertandingan tinju. Bertinju sejak dulu menjadi salah satu cara Petecio untuk memberi makan keluarganya. Dengan mengikuti pertandingan tinju, artinya ada makanan yang dia dapatkan dari panitia.
Makanan itu kemudian dia bagi bersama keluarganya. Tidak peduli kalah atau menang, motivasi utama Petecio mengikuti pertandingan tinju hanyalah agar ia dan keluarganya bisa makan dan bertahan hidup pada hari itu.
Petecio menyadari, tinju bisa menjadi jalan bagi dirinya dan keluarganya keluar dari perangkap kemiskinan.
Pertandingan tinju di Filipina sering mengambil tempat di lapangan basket, pantai, atau jalanan. Kemampuan Petecio dalam bertinju diperoleh dari ayahnya. Teodoro kerap mengajarkan teknik-teknik tinju seadanya kepada Petecio.
Menginjak usia 11 tahun, Petecio menghadapi lawan pria yang lebih besar dan kuat darinya. Tanpa gentar, Petecio tetap menghadapi pria tersebut. Petecio babak belur sehingga orang-orang menyarankan kepada dia untuk menyerah.
Terbiasa hidup keras sedari kecil membentuk mental pantang menyerah Petecio. Tawaran untuk menyerah ia tolak. Berbekal tekad baja, Petecio mampu mengalahkan pria itu. Kabar kemenangan bocah perempuan 11 tahun menghadapi pria besar itu menarik perhatian federasi tinju Filipina. Mereka akhirnya melirik Petecio untuk masuk timnas tinju.
Di titik inilah Petecio semakin serius menekuni olahraga tinju. Petecio menyadari, tinju bisa menjadi jalan bagi dirinya dan keluarganya keluar dari perangkap kemiskinan.
Dengan bergabung di timnas tinju Filipina, kesempatan mengikuti kejuaraan internasional datang silih berganti kepada Petecio. Pencapaian level internasional Petecio antara lain meraih peringkat kedua SEA Games 2011 dan 2013, peringkat ketiga Kejuaraan Asia 2012, peringkat kedua Kejuaraan Dunia Putri AIBA 2014, dan juara Piala Presiden Indonesia 2015.
Adapun di Olimpiade, Petecio gagal lolos ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Ia sempat ingin berhenti dari tinju setelah gagal di Asian Games 2018. Perpisahan dengan kekasihnya saat itu turut memberikan pukulan telak kepada Petecio. Tahun 2018 boleh dibilang merupakan momen terendah dalam hidupnya. Masalah demi masalah membuatnya kehilangan gairah untuk mengenakan sarung tinju lagi.
”Ketika saya kalah di laga pembuka Asian Games 2018, saya benar-benar ingin berhenti. Saat itu, saya benar-benar merasa jatuh,” ujarnya dikutip dari laman resmi Olimpiade.
Petecio menemukan kembali gairahnya setelah beristirahat beberapa lama dan menyembuhkan luka di hatinya. Pada 2019, ia kembali naik ring tinju dan memenangi Thailand Terbuka sebelum mengklaim gelar dunia pertamanya.
”Memenangi Kejuaraan Dunia 2019 banyak membantu saya. Ini tentu menambah kepercayaan diri saya,” katanya.
Tinju memang tempat bagi orang-orang tangguh yang terbiasa menerima pukulan. Sejak dulu, Petecio menerima pukulan demi pukulan hidup. Namun, keadaan itu tidak sampai menumbangkannya. Kini, ia siap berdiri tegak di ring memperebutkan emas untuk memberikan kebahagiaan kedua bagi warga Filipina.