Tinju amatir nasional menyambut masa depan baru dengan pergantian kepengurusan PP Pertina. Pergantian ini diharapkan mengembalikan kembali kejayaan tinju era 1970-an.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tinju amatir nasional, yang sempat bersinar terang pada akhir abad lalu, sedang meratap dalam fase terbenam. Jangankan level Asia, meraih prestasi di tingkat Asia Tenggara saja sudah amat sulit. Di tengah penurunan prestasi, bersama segala pekerjaan rumahnya, sedikit harapan datang dengan dilantiknya kepengurusan baru induk cabang tinju amatir.
Indonesia pernah punya tangan-tangan besi di panggung tinju amatir Asia. Pada era 1970-1990, petinju kelas menengah seperti Wiem Gommies dan Pino Bahari begitu dominan lewat pukulan mematikannya. Hingga puncaknya, mereka meraih medali emas di Asian Games.
Sekarang, era keemasan tersebut sudah memudar. Petinju nasional saja sering kali pulang tanpa medali emas dari ajang SEA Games. Seperti halnya pil pahit yang ditelan dalam gelaran terakhir ajang multicabang Asia Tenggara pada 2019, di Manila, Filipina.
Penurunan prestasi dari abad sebelumnya, bermuara ke banyak persoalan. Mulai dari problem dalam pembinaan usia dini, pencarian bibit berbakat, hingga minimnya kompetisi. Program kurang efektif ini ditambah dengan kompetisi yang semakin ketat karena hadirnya negara pecahan Uni Soviet, seperti Kazakshtan dan Uzbekistan.
Di tengah kekhawatiran semakin menghilangnya prestise petinju nasional, sedikit harapan datang dari pelantikan Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina) periode 2020-2024. Ketua Umum baru, Mayjen TNI (Purn) Komaruddin Simanjuntak, berkomitmen menghadirkan perubahan total.
Tinju amatir sekarang marwahnya agak sedikit melempem. Kita jago 1970-an sampai 1980-an, seperti Syamsul Anwar yang bisa mengalahkan petinju Amerika Thomas Hearns. Saya ingin mengembalikan lagi marwah itu.
“Tinju amatir sekarang marwahnya agak sedikit melempem. Kita jago 1970-an sampai 1980-an, seperti Syamsul Anwar yang bisa mengalahkan petinju Amerika Thomas Hearns. Saya ingin mengembalikan lagi marwah itu,” kata Komaruddin seusai pelantikan Kamis (18/2/2021), di gedung KONI Pusat, Jakarta.
Setidaknya ada lima hal yang jadi fokus pengganti Brigjen (Pol) Johni Asadoma tersebut. Dia akan membenahi organisasi, sarana dan prasarana, program pembinaan usia dini, peningkatan prestasi, serta penerapan sport science.
Demi menghadirkan prestasi, kepengurusan baru akan menjalankan proses pembinaan dan seleksi ketat untuk atlet nasional. Mereka akan membagi pembinaan dalam tiga koordinator yaitu wilayah barat, tengah, dan timur. Total 34 provinsi akan dibagi sesuai dengan letaknya.
Nantinya para atlet akan menjalankan kompetisi rutin di setiap wilayah. Kompetisi ini akan memantau atlet terbaik dari wilayah tersebut. Setelah kompetisi, akan dibentuk satu tim khusus untuk mewakili wilayah.
Dengan adanya perwakilan tim di setiap wilayah, seleksi nasional untuk petinju akan jauh lebih mudah dan berkualitas. Pengurus tinggal menandingkan tim dari masing-masing wilayah. Yang terbaik langsung lolos ke pemusatan latihan nasional.
“Sistem harus diubah. Pemilihan atlet pelatnas harus dengan pembagian wilayah. Sebelumnya, kadang kita tidak tahu indikator petinju bisa masuk pelatnas. Tiba-tiba dia masuk padahal tidak juara. Selama ini, anak pelatnas juga besar kepala karena nyaman tidak ada kompetisi. Kita akan rotasi terus nanti,” kata Kepala Bidang Teknik Kepelatihan Pertina, Erzon.
Dengan sistem baru, tidak hanya petinju terbaik yang akan masuk ke pelatnas. Namun, pelatih-pelatih mereka juga akan bisa mengikuti jejak anak asuhnya. Hal ini akan meminimalisasi ketidakcocokan antara pelatih dan atlet di pelatnas. Pelatih daerah asal pasti lebih memahami psikologis petinju yang dibesarkannya.
Tantangan besar
Salah satu tantangan klasik Pertina adalah minim dana untuk uji coba atau pemusatan latihan di luar negeri. Padahal, petinju hanya akan bisa berkembang jika mendapatkan jam terbang bertanding. Kualitas mereka akan semakin bagus, menyesuaikan dengan kapabilitas lawannya.
Karena itu, idealnya atlet nasional mendapat kesempatan berlaga dengan petinju kelas dunia. “Kalender tinju banyak sekali di luar. Itu harus kita ikuti. Ini kan olahraga pertarungan, tidak bisa semakin baik dengan latihan saja. Karena ini bukan olahraga terukur. Dana pasti akan sangat penting berkaca dari India dan Thailand,” kata Erzon yang berprofesi sebagai pelatih tinju.
Wiem, menjadi contoh nyata keberhasilan program latihan di luar negeri. Ketika itu, dia dan tiga petinju nasional lain, dikirim mengikuti Kejuaraan Dunia di Beogard, Yugoslavia, pada Mei 1978. Setelah kejuaraan, mereka menetap dan berlatih di klub lokal Crvena Zverda.
Selama sekitar lima bulan, Gommies dan rekan-rekan menghabiskan waktu dengan berlaga nyaris setiap pekan di liga tinju lokal Yugoslavia. Hasilnya, mereka semakin matang. Wiem pun meraih emas di gelaran Asian Games Bangkok, pada Desember 1978.
Pengamat tinju Donny Winardi menilai, uji coba ke luar negeri bukanlah segalanya. Hal itu memang dibutuhkan bagi petinju, jelang berlaga di ajang besar. Namun, tidak perlu sampai menghabiskan setengah atau setahun penuh di negeri orang. Selain akan menguras biaya, juga sulit mengontrolnya.
Menurut mantan wartawan tinju ini, yang terpenting adalah Pertina mampu kembali menghidupkan kompetisi, dari daerah hingga nasional. Kompetisi berkesinambungan ini yang sudah tidak terlihat dalam satu dekade terakhir.
“Turnamen ini yang kadang ada, kadang tidak. Tidak berkesinambungan. Misalnya Piala Presiden yang harusnya rutin setiap tahun, sempat vakum beberapa tahun. Kalau bicara prestasi, ya utamanya kompetisi. Idealnya kompetisi berjenjang dari daerah,” kata Donny.
Donny menilai, petinju amatir setidaknya butuh tanding setiap tiga bulan sekali. Jumlah tersebut dinilai sudah cukup untuk mematangkan fisik dan mental mereka. Mirisnya, jumlah kompetisi yang ada belum memenuhi kebutuhan para petinju.
“Kalau biasanya kan alasan tidak ada duit. Ini yang harus dicari solusinya. Ini tugas pengurus, bagaimana mengatur sehingga ada kompetisi. Pertina harus bisa memanfaatkan ini, karena kita punya basis masyarakat banyak yang mencintai tinju, ditambah dengan talenta petinju kita,” tambahnya.
Ketua Umum KONI Marciano Norman meminta pengurus fokus pada pembinaan petinju muda. KONI berharap ada petinju nasional yang bisa berlaga di Olimpiade 2032 nanti, jika Indonesia berhasil jadi tuan rumah. “Pertina harus menyiapkan dari sekarang, petinju yang bisa tampil pada 11 tahun mendatang,” ucapnya.
Hampir bisa dipastikan, tidak ada petinju nasional yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo 2020. Dua hari lalu, Komite Olimpiade Internasional (IOC) baru membatalkan ajang kualifikasi dunia. Dengan begitu, total 53 kuota petinju yang tersisa akan diberikan melalui ranking.
Petinju nasional tidak memiliki cukup peringkat untuk bisa lolos ke Olimpiade. Selama ini, mereka hanya punya kans lolos lewat ajang kualifikasi. Sekarang, mereka hanya bisa berharap diberikan undangan oleh tuan rumah Jepang.