Mulai dari isolasi, tes Covid-19 rutin, hingga tak bisa bertemu sahabat dan keluarga menjadi tantangan ekstra atlet di Olimpiade Tokyo. Tantangan itu menimbulkan gangguan kecemasan dan menambah beban mental para atlet.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
TOKYO, KAMIS — Mundurnya ”Ratu Senam” asal Amerika Serikat, Simone Biles, dari final tim dan individu, membuka kotak pandora tentang masalah kesehatan mental atlet di Olimpiade. Ternyata, banyak atlet lebih tertekan saat mengikuti Olimpiade Tokyo 2020 yang digelar dengan protokol kesehatan sangat ketat di tengah pandemi Covid-19.
Pemandangan tidak lazim terpampang di Ariake Gymnastics Center, arena final senam all-around individu putri, Kamis (29/7/2021). Di antara pesenam dunia yang berlomba mencuri perhatian juri, tidak ada Biles, sang juara bertahan peraih total 31 medali Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Biles mengudurkan diri sehari sebelum final karena merasa tidak sehat mental. Sang ”ratu” merasa terbebani ekspektasi sebagai pesenam terhebat sepanjang masa yang akan tampil di panggung terbesar. ”Saya tidak percaya kepada diri sendiri,” katanya ketika mundur dari final.
Biles, atlet yang selalu tampil kokoh di matras senam, kini menjadi begitu rapuh. Namun, kerapuhan itu terlihat wajar jika dilihat lebih luas. Selama setahun lebih, dia sulit untuk berlatih dan berlomba akibat pandemi.
Biles pun harus bertanding di Olimpiade dengan segala protokol kesehatan yang mengekang. Aktivitasnya di perkampungan atlet dibatasi. Ia bahkan tidak bisa didampingi keluarga dan sahabatnya. ”Biasanya, kami berjalan-jalan di perkampungan (atlet),” ungkap Biles tentang kebiasaannya menenangkan pikiran.
Bagi Biles, hal terberat adalah absennya sosok keluarga. Di Olimpiade Rio De Janiero 2016, dia meraih empat emas dengan didampingi keluarganya: Ron, Nellie, dan Adria. Karena pembatasan, ayah dan ibu angkat serta adiknya itu tidak bisa hadir di Tokyo.
Kehadiran keluarga, terutama sosok ibu, sangat penting. Nellie selalu menjadi penyemangat dan penenang Biles. Ia sangat dibutuhkan karena Biles sering mengalami gangguan kecemasan, sesuatu yang sudah terjadi sejak kecil.
Saya merasa kekuatan fisik ini melemah. Dan, setiap kali memikirkan hal itu, kepercayaan diri saya merosot.
Biles datang dari masa kecil yang terbilang ”spesial”. Dia ditinggal ibu kandungnya yang kecanduan alkohol dan narkoba. Pada usia 6 tahun, dia diadopsi kakek kandungnya, Ron, yang memiliki istri, Nellie. Dia sangat bergantung pada Nellie dalam membangun rasa percaya dirinya.
Alhasil, Biles seperti anak ayam yang kehilangan induknya di Tokyo. Dia punya beban segunung di pundak untuk tampil sempurna, tetapi tidak ada tempat untuk melepas beban tersebut. Tak pelak, Biles tidak bisa fokus berlomba sejak kualifikasi hari pertama.
Cemas selalu dites
Tekanan besar di Olimpiade Tokyo juga dirasakan banyak atlet cabang lainnya, salah satunya peraih emas angkat besi 55 kilogram putri asal Filipina, Hidilyn Diaz (30). Dia tidak bisa menikmati Olimpiade itu karena terus menerus dibuat cemas oleh tes Covid-19.
”Setiap hari, kami harus menjalani tes saliva. Saya selalu cemas apakah hasilnya positif atau negatif. Kami tidak pernah tahu ada virus atau tidak di tubuh ini. Jadi, saya tak pernah bisa bahagia sampai benar-benar akan bertanding,” kata peraih emas Olimpiade pertama dalam sejarah Filipina tersebut.
Beruntung, kecemasan itu tidak terbawa saat Diaz tampil. Meskipun demikian, perempuan bertubuh kekar ini merasa protokol kesehatan membuatnya bukan seperti manusia lagi. ”Kami sudah seperti robot karena harus menjalani hal-hal yang sama setiap hari dan menghindari orang-orang di sekitar,” pungkasnya.
Tak hanya protokol kesehatan, penyakit Covid-19 sendiri juga memengaruhi performa atlet. Atlet anggar Korea Selatan, Oh Sanguk (24), misalnya, sempat dirawat sebulan karena positif Covid-19 pada masa persiapan Olimpiade Tokyo. Sejak itu, ia merasa tubuhnya tidak lagi seperti dulu.
”Saya merasa kekuatan fisik ini melemah. Dan, setiap kali memikirkan hal itu, kepercayaan diri saya merosot,” ucap Sanguk, yang kalah di perempat final dari atlet Georgia, Sandro Bazadze.
Kehilangan penonton
Ben Miller, psikolog sekaligus Presiden Well Being Healt Trust—yayasan yang bergerak di bidang kesehatan mental—berkata, pandemi sangat berdampak pada atlet. Mereka kehilangan sosok penonton yang merupakan pemberi energi di setiap pertandingan.
”Jadi, ada hubungan sosial yang terputus di tengah pandemi ini. Tidak ada lagi penonton yang menyemangati Anda. Banyak sekali hal yang berubah akibat Covid-19. Saya rasa, ini menjadi alasan di belakang semua kejadian ini (masalah mental),” ucap Miller.
Kesulitan para atlet membuat pelatih dari pelari 1.500 meter asal Kenya, Bernard Ouma, mengapresiasi setiap perjuangan atlet di Olimpiade. Dia memuji setinggi langit semua atlet yang telah berjuang, meskipun pada akhirnya tidak berujung juara.
”Di podium, banyak orang melihat sosok atlet. Beberapa melihat mereka sebagai sosok mesin yang berlari untuk menjadi nomor satu. Di pikiran saya, mereka adalah seorang manusia yang datang untuk melawan tantangan sosial ini,” kata Ouma yang merupakan pelatih juara dunia nomor lari 1.500 meter, Timothy Cheruiyot. (REUTERS)