Babak kualfikasi menembak di Olimpiade bagaikan menjalani 60 tendangan penalti. Tak banyak tuang untuk kesalahan, dan Vidya Rafika memetik pengalaman berharga pada debutnya di Olimpiade.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
TOKYO, KOMPAS — Petembak Vidya Rafika Rahmatan Toyyiba terlibat diskusi serius dengan pelatihnya, Ali Reza, seusai melepaskan 60 tembakan pada kualifikasi nomor 10 meter senapan angin putri Olimpiade Tokyo 2020. Vidya beberapa kali menunjuk ke arena sambil menjelaskan sesuatu yang menjadi kendala. Reza, pelatoh asal Iran, mendengarkan Vidya dengan sabar, tidak memotong perkataan, dan wajah teduh.
Di dekat mereka, Manajer Tim Menembak Indonesia Candy Riantory juga memilih diam. Perwira Angkatan Darat berpangkat Kolonel itu tidak mengajak bicara Vidya yang terlihat berapi-api. Petembak putri berusia 19 tahun itu baru saja kehilangan peluang lolos ke final. Dia mengalami tekanan yang sangat besar dalam lomba melawan atlet elite dunia di Asaka Shooting Range, Sabtu (24/7/2021). Vidya membuat kesalahan yang membuat poinnya anjlok menjadi 102,5 pada seri keempat. Padahal pada seri ketiga, dia mencetak poin 104,6.
Vidya menyelesaikan kualifikasi di urutan ke-35 dari 50 peserta dengan poin 622. Ini bukan pencapaian yang buruk, karena banyak petembak yang jauh lebih senior, bahkan meraih medali di Olimpiade, poinnya di bawah Vidya. Petembak Kuba, Eglis Yahima de la Cruz, peraih perunggu 50m senapan api tiga posisi Olimpiade 2008, serta empat emas kejuaraan Pan America, berada di posisi ke-37 dengan 620,5 poin. Medali emas nomor ini akhirnya dimenangi oleh petembak China Yang Qian.
”Peringkat ke-35 dari 50 penembak itu sangat bagus. Kadang hanya perlu sekali kesalahan untuk merusak peluang. Itu terjadi pada peluru 30 hingga 40, dia membuat kesalahan. Padahal, dalam 60 tembakan, anda tidak boleh melakukan kesalahan apapun. Inilah yang sangat sulit, dan olahraga kami mungkin 80 persen psikologis dan itu memerlukan pengalaman, dia perlu pengalaman,” ungkap Ali Reza kepada wartawan Kompas,Agung Setyahadi, di Tokyo, Jepang.
Namun, Vidya tak bisa menutupi kekecewaanya gagal masuk delapan besar dan lolos ke final. Mimik wajahnya menegaskan suasana hatinya yang sedang tidak bagus. Dalam kondisi masih panas seperti itu, Ali Reza dan Candy Riantory memilih membiarkan Vidya tidak terusik dan menunggu hingga dia tenang untuk menganalisis penampilan.
”Semua sudah dikerahkan meskipun ada banyak kendala, terutama ini pertama kali di Olimpiade. Jadi ini pelajaran baru, seperti dimulai dari awal lagi. Ini kan 10 meter pertama aku di Olimpiade, juga di 50 meter. Semua harus berjalan dari nol tidak bisa langsung targetnya 10 per 10, jadi sesuai realitas saja,” ujar Vidya seusai lomba.
Ini seperti penalti dalam sepak bola, tetapi bagi kami ini seperti 60 kali penalti sehingga sangat sulit.
Vidya lebih banyak diam, dan enggan berkomentar tentang performanya. Tetapi dia tetap atlet yang ramah, dan membalas senyum jika disapa. Vidya sangat serius merintis jalan sebagai Olimpian di usia yang masih muda. Olimpiade Tokyo ini menjadi pengalaman berharga bagi Vidya, yang berpotensi berkembang jauh lebih baik. Apalagi, jika dia benar mendapat beasiswa dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk kuliah dan berlatih di luar negeri.
”Ini laga pertama bagi Indonesia di Tokyo, dan ini Olimpiade pertama bagi Vika (sapaan Vidya Rafika). Usianya masih muda, Tetapi saya senang, dia lolos melalui kualifikasi bukan wild card. Ini pengalaman besar pertama bagi Vika dan saya harap dalam kompetisi-kompetisi berikutnya, juga Olimpiade berikutnya, dia lebih siap,” ujar Reza.
Menurut Reza, berkompetisi di Olimpiade sama seperti Piala Dunia atau Asian Games, tetapi tekanan jauh lebih besar. Tekanan itu bisa memengaruhi petembak berpengalaman Tekanan yang besar membuat otot kaku, kata Reza sambil sambil menunjuk leher, bahu, dan lengan, padahal pelatuk senapan sangat sensitif.
”Diperlukan koordinasi antara bidikan, pelatuk, semua otot yang bekerja. Itu sangat sulit karena sangat sensitif. Ini seperti penalti dalam sepak bola, tetapi bagi kami ini seperti 60 kali penalti sehingga sangat sulit. Oleh karena itu, petembak harus benar-benar kuat pikirannya karena mereka harus mengendalikan semuanya dalam 60 penalti,” ujar Reza.
Pada nomor ini, setiap atlet menembakan 60 peluru dalam rentang waktu 75 menit pda babak kualifikasi.
Candy menilai, Vidya punya potensi besar untuk berkembang lebih baik. Dia akan diarahkan menjalani lebih banyak kejuaraan sehingga bisa semakin matang dalam persaingan kelas dunia. ”Kemarin dapat arahan dari Menpora, atlet berprestasi seperti Vika akan mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Ketua Umum menyarankan Vika kuliah di Jerman yang punya fasilitas lengkap untuk latihan menembak, karena di sana bisa surganya petembak. Kami harap, jika dia bisa berlatih sambil meneruskan jenjang pendidikannya, prestasinya akan meningkat lagi,” ujar Candy.
Vidya masih akan tampil di nomor 50 m senapan api tiga posisi pada 31 Juli. Dia ditargetkan masuk final meskipun persaingan ketat. ”Untuk nomor 50 meter kami juga butuh pengalaman. Pengalaman kami belum cukup, kami baru mulai berlatih serius satu atau dua tahun lalu, jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama yang memiliki juara Olimpiade atau sejarah dalam 30 atau 40 tahun. Kami baru mulai serius setelah SEA Games 2019, tetapi saya harap ke depan lebih baik,” ungkap Reza.