Maraknya gol bunuh diri pada Piala Eropa 2020 tak lepas dengan sistem permainan menyerang yang diterapkan sebagian besar tim. Tekanan terus-menerus membuat sektor pertahanan berpeluang lebih besar membuat kesalahan.
Oleh
Anton Sanjoyo, Penikmat Sepak Bola
·4 menit baca
Sampai dengan semifinal kedua antara Inggris dan Denmark, gelaran Euro 2020 telah mencatat 11 gol bunuh diri. Hal ini adalah sebuah catatan sangat fantastis mengingat sepanjang sejarahnya sejak 1960, pesta sepak bola Eropa tersebut hanya total merekam 20 gol ke gawang sendiri. Dengan lebih dari 50 persen gol bunuh diri terjadi di Euro 2020, sejumlah fenomena sepak bola modern bisa ditelusuri sejalan dengan perkembangan teknologi dan sports science.
Terlepas dari rekor gol yang bunuh diri, Euro 2020 boleh dikatakan sebagai turnamen terbaik dalam dua dekade terakhir atau yang paling memukau pada semua indikator sejak gelaran di Belanda dan Belgia pada 2000. Bukan saja kualitas laga yang memukau atau jumlah gol yang tercipta, melainkan juga sulitnya menebak hasil akhir meski dengan data statistik paling anyar sekalipun.
Gambaran apa yang terjadi di Grup F paling tidak menjadi contoh parsial betapa gelaran kali ini menyuguhkan banyak kejutan dan jungkir baliknya sejumlah ramalan. Berisi tim-tim terbaik dunia, juara dunia Perancis, juara Eropa Portugal, dan tim spesialis turnamen Jerman, serta kuda hitam Hongaria, grup ini memang mengirimkan tiga favorit ke babak gugur. Namun justru para favorit itu langsung rontok di fase gugur. Perancis bahkan disingkirkan Swiss, tim yang praktis tanpa bintang kelas dunia.
Ekstremnya jumlah gol ke gawang sendiri pada Euro 2020—terakhir dilakukan kapten Denmark, Simon Kjaer, pada laga semifinal—di satu sisi menggambarkan sepak bola modern saat ini berorientasi pada gaya menyerang dengan berbagai metode dan formasinya. Italia, finalis yang akan menghadapi Inggris di babak final, tidak lagi populer dengan gaya bertahannya yang sangat berseni, tetapi telah menjelma menjadi tim ofensif di bawah kendali Roberto Mancini.
Tekanan berat yang konsisten mengalir sepanjang laga mengakibatkan barisan bek dan juga kiper menanggung beban ekstra sehingga mereka membuat kesalahan-kesalahan yang sebenarnya sangat normal.
Sejumlah analisis mengatakan, jumlah tendangan on target (mengarah tepat ke gawang) selain secara kuantitatif meningkat, jaraknya pun terus memendek (makin dekat ke gawang) dari musim ke musim. Data ini dihimpun dari sejumlah liga utama Eropa dan menjadi acuan dalam menganalisis perkembangan permainan sepak bola di seluruh dunia.
Empat gol bunuh diri di Euro 2020 terjadi di high assist zones dan umpan dilakukan dengan sangat kencang sehingga sulit bagi pemain bertahan untuk menghadangnya.
Mengutip data Liga Inggris, fenomena di atas terjadi secara radikal pada 10 musim terakhir, kecuali pada musim 2020/2021, saat tendangan on target dari luar kotak penalti lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan dari dalam kotak penalti. Meski demikian, secara rata-rata sejak 10 tahun lalu, jumlah tendangan on target dari dalam kotak penalti tetap menunjukkan peningkatan signifikan.
Dengan meningkatnya jumlah tendangan ke gawang, juga umpan yang cenderung kencang, jumlah gol bunuh diri tak terhindarkan pula untuk melejit jumlahnya. Tyler Heaps, direktur teknologi olahraga klub AS Monaco, mengatakan, gol-gol bunuh diri di Piala Eropa 2020 banyak tercipta akibat tekanan umpan atau tendangan lawan di ”daerah berbahaya” pada sepertiga akhir lapangan, terutama di sekitar kotak penalti. ”Empat gol bunuh diri di Euro 2020 terjadi di high assist zones dan umpan dilakukan dengan sangat kencang sehingga sulit bagi pemain bertahan untuk mengadangnya,” ujar Heaps seperti dikutip BBC.
High assist zones yang dimaksud Heaps adalah daerah pertahanan lawan di sekitar kotak penalti, yang memang menjadi wilayah terjadinya sejumlah gol bunuh diri di Piala Eropa 2020. Contoh terbaik analisis ini adalah gol bunuh diri Merih Demiral (Turki), Mats Hummels (Jerman), Raphael Guerreiro dan Ruben Dias (Portugal). Gol blunder Hummels yang mengakibatkan Jerman bertekuk lutut terhadap Perancis di laga Grup F bahkan ”dinobatkan” sebagai gol terbaik sepanjang turnamen berkat ”keindahannya”.
Umpan tarik dengan kencang dan mengakibatkan gol bunuh diri terjadi juga pada laga semifinal. Kapten Denmark, Kjaer yang ditekan secara intens oleh Raheem Sterling tidak punya pilihan untuk melakukan hadangan sliding terhadap umpan keras pemain sayap Inggris Buyako Saka dari high assist zones. Tak seorang pun menyalahkan Kjaer.
Terlepas dari ”festival bunuh diri” di Piala Eropa 2020, turnamen ini juga sangat menghibur, menyajikan banyak sekali laga berkelas dan juga mencatat rekor jumlah gol. Sampai dengan semifinal telah tercipta 140 gol, jauh di atas Piala Eropa 2016 yang hanya 108 gol pada format 51 pertandingan total.
Jika dibandingan dengan masa sebelum 2016 yang berformat diikuti 16 tim dengan total 31 pertandingan, Piala Eropa 2020 bersaing dengan Piala Eropa 2000 yang mencatat 85 gol dan didapuk sebagai Piala Eropa terbaik sebelumnya. Pada 2020, tercipta rata-rata 2,8 gol per laga, sedangkan pada 2000 tercipta 2,74 gol per laga. Piala Eropa terburuk terjadi pada Portugal 2004 saat tim oportunis Yunani menjadi juara dan hanya tercipta 2,48 gol per laga.