Gol Bunuh Diri, Noda yang Tumbuh Subur di Piala Eropa 2020
Gol bunuh diri adalah cela bagi penciptanya. Gol yang tidak diharapkan ini tumbuh subur di gelaran Piala Eropa 2020.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Di genggaman mereka, gol tidak lagi membawa bahagia. Ketika tim lawan berpesta, mereka malah tertunduk lemas. Tim dan pendukung mereka justru kecewa. Itulah kisah mereka, para pencetak gol bunuh diri.
Pencetak gol bunuh diri pernah disamakan seperti pengkhianat negara. Setidaknya, tuduhan itu pernah melekat pada mantan pemain tim nasional Kolombia, Andres Escobar, yang mencetak gol ke gawang sendiri pada Piala Dunia 1994. Akibat gol Escobar ke gawang sendiri, Kolombia yang difavoritkan akhirnya takluk di tangan Amerika Serikat, 1-2. Publik Kolombia begitu kecewa.
”Hidup tidak berakhir di sini. Kita harus beralih. Tidak penting berapa sulitnya, kita harus tetap berdiri. Hanya ada dua pilihan, membiarkan kemarahan lalu kekerasan berlanjut atau mencoba hal lebih baik. Itu pilihan kita,” kata Andres pada harian El Tiempo, berusaha menenangkan situasi.
Hidup pun berjalan terus bagi Kolombia, tetapi hidup Escobar harus berakhir setelah Piala Dunia. Dia dibunuh orang tidak dikenal di salah satu bar di kota asalnya, Medellin. Enam peluru bersarang di tubuhnya seusai berdebat dengan sekelompok pria tentang gol bunuh diri tersebut.
Memori kelam itu muncul kembali seiring fenomena gol bunuh diri yang terjadi di Piala Eropa 2020. Sudah delapan gol ke gawang sendiri tercipta hanya dalam 36 laga fase grup. Jumlah itu cukup mencengangkan mengingat dalam 40 tahun terakhir, 1976-2016, hanya ada 9 gol bunuh diri.
Pengalaman paling pahit dirasakan kiper Slowakia, Martin Dubravka. Dia berubah dari pahlawan tim menjadi pecundang hanya dalam hitungan menit. Saat melawan Spanyol dalam laga terakhir Grup E, kiper Newcastle United ini dipuji karena menggagalkan penalti Alvaro Morata. Namun, 18 menit berselang, dia menepis bola liar ke gawang sendiri.
Dubravka menutup wajahnya setelah memberikan gol pembuka untuk Spanyol, 1-0. Mental Dubravka dan rekan setimnya ambruk, sebaliknya Spanyol semakin bersemangat. Spanyol akhirnya melumat Slowakia, 5-0, dan Slowakia gagal lolos ke 16 besar. ”Gol pertama salah saya. Saya akan menyesalinya untuk waktu yang lama. Lalu datang gol kedua. Setelah itu, Spanyol mengontrol laga,” sesal Dubravka.
Risiko kelalaian Dubravka tentu tidak sefatal Escobar. Sang kiper tinggal di Eropa, bukan Kolombia, yang kala itu sangat biasa dengan berita pembunuhan. Apalagi, Slowakia datang sebagai tim non-unggulan. Ikut serta ke Piala Eropa sudah prestasi bagi publiknya. Tidak seperti Kolombia yang datang dengan segunung harapan. Mereka ke Piala Dunia seusai membekuk Argentina 5-0 di kualifikasi.
Fenomena unik
Jammie Carragher, pemain senior Liverpool, dikenal sebagai salah satu pencetak gol bunuh diri terbanyak, tujuh kali. Menurut dia, angka itu wajar jika seorang pemain tampil dalam jangka waktu sangat lama sepertinya. Apalagi, gol dibuat mayoritas oleh pemain bertahan dan kiper, yang memang lebih dekat ke gawang sendiri.
Lalu, mengapa banyak sekali gol bunuh diri bisa terjadi dalam waktu berdekatan? Bahkan, para pelakunya adalah pesepak bola papan atas, seperti Ruben Dias (Portugal) dan Mats Hummels (Jerman).
Lebih unik lagi, terjadi dua gol bunuh diri sekaligus dalam satu laga di Piala Eropa. Anomali itu bahkan terjadi dua kali dalam laga Jerman lawan Portugal dan Spanyol versus Slowakia. Dua dari delapan gol bunuh diri juga dibuat oleh kiper. Selain Dubravka, kiper Polandia, Wojciech Szczesny, juga melakukannya saat melawan Slowakia. Hal ini tak pernah terjadi dalam gelaran Piala Eropa sebelumnya.
Jens Jeremies, mantan gelandang Bayern Muenchen, punya teori dengan gol bunuh diri setelah pengalaman pahitnya. Dia melakukannya pada semifinal Liga Champions 2000 sehingga Bayern ditekuk Real Madrid. Kata Jeremies, alasan utama kesalahannya ialah karena grogi. Perasaan itu membuatnya tidak bisa mengontrol tubuh. Akibat terdistraksi rasa tegang, otaknya tidak bisa memerintahkan bagian tubuh lain.
Rasa grogi itu bisa jadi muncul karena Piala Eropa 2020 adalah gelaran pertama yang mengizinkan penonton kembali dengan jumlah besar ke stadion. Bukan tidak mungkin, atmosfer penonton malah memberi tekanan lebih kepada pemain. Tekanan yang tidak terasa sebelumnya karena liga domestik musim ini sangat membatasi jumlah penonton di era pandemi Covid-19.
Meski begitu, pemain bertahan Belanda Stefan de Vrij meyakini penonton bukan jadi masalah utamanya. ”Kami melihat banyak gol bunuh diri. Saya tidak bisa mejelaskan alasannya. Tetapi, saya tidak berpikir karena kehadiran penggemar. Pemain (profesional) sudah terbiasa mengisolasi dirinya sendiri selama pertandingan,” katanya.
Gareth Southgate, pelatih Inggris, punya pendapat lain. Menurut dia, semua berawal dari keletihan pemain akibat jadwal padat di klub masing-masing. Alhasil, pemain tidak tampil dalam konsentrasi penuh. ”Seperti tim kami, sangat kurang dalam hal kebugaran pemain,” katanya.
Di tengah tanda tanya ini, gol bunuh diri telah menjadi ”sosok” tersubur, menyamai jumlah gol tendangan penalti (8 gol) dan mengungguli pencetak gol terbanyak Cristiano Ronaldo (5 gol). Mungkin saja, gol pembawa cela ini justru menjadi penentu pemenang turnamen kali ini. (AP/AFP)