Jalan Klasik Italia Menembus ”Decimo”
”Catenaccio” hadir kembali di era Roberto Mancini. Seni permainan bertahan nan klasik dari Italia ampuh mengandaskan Spanyol untuk menembus final kesepuluh di turnamen mayor.
LONDON, RABU — Dalam buku Brilliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Football (2000), David Winner menilai gaya permainan Italia yang dikenal ”catenaccio”bukan sekadar permainan ultradefensif. Ada seni di balik gaya permainan itu yang bertujuan menyakiti lawan tanpa disadari.
”’Catenaccio’ seperti lukisan karya Titian (Tiziano Vecelli), lembut, menggoda, dan lesu. Para pemain Italia menyambut, membuai, dan merayu setiap lawan yang terus menyerang ke dalam pelukan mereka, kemudian Italia mencetak gol seperti sebuah tusukan pisau belati,” tulis Winner.
Baca juga : Hari yang Kejam untuk Morata
Seperti itulah yang dialami oleh Spanyol ketika berjumpa Italia di semifinal Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley, Inggris, Rabu (7/7/2021) dini hari WIB. Spanyol sangat menikmati permainan menyerang dengan mengoleksi 65 persen penguasaan bola dan menciptakan 16 peluang. Meskipun menampilkan permainan yang lebih baik, ”La Roja” harus pulang dengan luka dan merelakan tiket ke final untuk Italia. Pelatih Luis Enrique pun masih tidak percaya timnya bisa kalah dari ”Gli Azzurri”.
”Dalam laga di semifinal, kami adalah tim yang lebih berambisi untuk menang dan unggul secara fisik dibandingkan mereka (Italia). Kami telah berusaha sampai akhir, tetapi mereka tidak melakukan cela,” ujar Enrique dilansir Marca.
Pola permainan menyerang Spanyol seakan sebuah perangkap yang telah diciptakan oleh Italia. Pelatih Italia Roberto Mancini paham timnya tidak akan bisa mengimbangi permainan Spanyol yang selalu berambisi menguasai bola lebih sering dibandingkan lawan. Apalagi Enrique tidak menurunkan satu pun penyerang murni di awal laga kontra Italia.
Demi meredam trio lini tengah Italia, yang terdiri dari Marco Verratti, Jorginho, dan Nicolo Barella, mantan Pelatih Barcelona itu menurunkan empat gelandang, yakni Pedri, Sergio Busquets, Koke, dan Dani Olmo. Alhasil, Italia hanya mencatatkan 35 persen penguasaan bola. Catatan itu amat jauh dibandingkan dengan rata-rata 53 persen penguasaan bola Italia dalam lima laga dari babak penyisihan hingga perempat final.
Baca juga: Foto Cerita Kegembiraan Italia dan Kesedihan Spanyol di Semifinal Piala Eropa 2020
Meski begitu, Italia tidak panik untuk meredam satu per satu serangan ”La Roja”. Duet bek Italia, Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci, memimpin komando orkestra ”catenaccio” Italia. Keduanya bermain tenang dan tanpa kompromi untuk membuang setiap bola yang masuk ke kotak penalti Italia.
Ketika skuad Spanyol seperti sekumpulan anak kecil yang tengah menikmati waktu di taman bermain, Italia menghadirkan tangisan lewat sebuah skema serangan balik cepat. Gol yang dicetak oleh Federico Chiesa melalui sepakan melengkung di menit ke-60 merupakan proses gol klasik ”catenaccio” ala Italia. Empat pemain Italia hanya butuh melakukan akumulasi delapan sentuhan sebelum menyarangkan bola ke gawang Spanyol yang dikawal Unai Simon.
Spanyol memang menjadi tim ketiga yang mampu membobol gawang Gianluigi Donnarumma lewat sepakan Alvaro Morata di menit ke-80. Akan tetapi, Spanyol gagal memberikan ancaman berarti bagi Donnarumma di sisa waktu normal dan masa perpanjangan waktu.
Keputusan Enrique memasukkan Morata di menit ke-62 terbukti tepat. Sebab, Morata adalah satu-satunya penyerang ”La Roja” yang mengenal cara membongkar seni bertahan Italia. Hal itu tidak lepas dari pengalaman Morata berlatih secara rutin bersama Chiellini dan Bonucci di pusat latihan Juventus di Vinovo, Italia.
Baca juga : Palagan di Gelandang Italia dan Spanyol
Setelah mampu menahan Spanyol yang mengejar gol tambahan di masa perpanjangan waktu, ”Gli Azzurri” kembali menunjukkan kematangan. Pemain Italia tetap menjaga fokus meskipun eksekutor penalti pertama, Manuel Locatelli, gagal menaklukkan Simon. Pada akhirnya Italia mampu unggul 4-2 dalam drama adu penalti itu.
Kemenangan ini terasa sangat indah karena hadir berkat kerja keras dan penderitaan yang kami alami selama pertandingan. Kami hanya berjarak satu kemenangan lagi untuk membawa pulang trofi yang telah diidamkan publik Italia selama lebih dari 50 tahun.
”Kemenangan ini terasa sangat indah karena hadir berkat kerja keras dan penderitaan yang kami alami selama pertandingan. Kami hanya berjarak satu kemenangan lagi untuk membawa pulang trofi yang telah diidamkan publik Italia selama lebih dari 50 tahun,” kata Bonucci dilansir La Stampa.
Baca juga: Mussolini, Franco, dan Sepak Bola
Melaju ke final Piala Eropa 2020 menjadi partisipasi partai puncak keempat ”Gli Azzurri” di turnamen antarnegara Eropa itu. Dalam tiga kesempatan sebelumnya, yakni pada 1968, 2000, dan 2012, Italia hanya mampu menjadi juara pada Piala Eropa 1968 ketika menjadi tuan rumah.
Secara total, Italia telah menembus sepuluh final atau ”decimo” di ajang Piala Eropa dan Piala Dunia. Capaian itu hanya kalah dari Jerman yang telah menjalani 14 laga final di dua turnamen tim nasional paling bergengsi di muka bumi ini. Italia akan kembali tampil di Wembley, Senin (12/7) dini hari WIB mendatang.
Baca juga : Kembalinya Jiwa ”Torero”
”Spanyol membuktikan sebagai sebuah tim yang mengagumkan, tetapi Italia menantang mereka dengan senjata (penguasaan bola) mereka dan berhasil menang,” tulis Claudio Ranieri dalam kolom di La Gazzetta dello Sport edisi Rabu (7/7/2021).
Pelajaran kehidupan
Di luar taktik bertahan Italia yang kembali lagi menunjukkan magisnya, penampilan kedua Italia di Wembley pada Piala Eropa 2020 itu sejatinya menunjukkan pula sebuah pelajaran kehidupan. Seluruh skuad Italia berambisi mempersembahkan trofi ”Henri Delaunay” untuk Leonardo Spinazzola yang mengalami cedera parah di laga perempat final. Akibat cedera tendon achilles, bek sayap kiri AS Roma itu harus absen dari lapangan hijau minimal selama enam bulan.
Seusai memastikan kemenangan atas Spanyol, Lorenzo Insigne mengenakan kostum Spinazzola bernomor empat. Seluruh pemain dan staf pelatih Italia berfoto bersama dengan ”kehadiran” Spinazzola. Spinazzola menyaksikan perjuangan rekan setimnya dari apartemennya di Roma, Italia. Ia akan terbang ke London untuk menyaksikan langsung laga final.
Tak hanya soal Spinazzola, sorotan juga pantas diberikan kepada Chiellini. Sang kapten sekaligus pemain paling senior ”Gli Azzurri” itu langsung memeluk Locatelli setelah menyaksikan Jorginho sukses menentukan kemenangan Italia dalam drama adu penalti.
Baca juga: Tangis Spinazzola, Spirit Renaisans Italia
Keduanya merupakan pemain yang bertahan di garis tengah lapangan ketika pemain Italia lainnya berlari untuk memeluk Jorginho dan Donnarumma. Itu adalah sikap berkelas dari Chiellini yang memberikan dukungan kepada Locatelli karena gagal mengeksekusi penalti pertama ”Gli Azzurri”.
”Saya menjadi pemain dan manusia yang lebih baik selama bermain di Italia. Saya belajar bahwa sepak bola bukan sekadar permainan, melainkan juga mengandung nilai kehidupan,” kata legenda Liverpool, Ian Rush, yang pernah berkarier bersama Juventus pada 1986 hingga 1988.
Setelah menembus final dengan menciptakan sejarah baru dengan tidak terkalahkan dalam 33 laga terakhir, Pelatih Italia Roberto Mancini bertekad menyempurnakan capaian itu dengan akhir yang manis melalui raihan trofi kedua Piala Eropa untuk Italia. Selain itu, Italia hanya butuh satu gol untuk menciptakan rekor gol baru dalam satu turnamen besar. Hingga semifinal, Italia telah mencetak 12 gol yang sejajar dengan torehan gol ketika meraih tiga trofi Piala Dunia pada edisi 1934, 1982, dan 2006.
Baca juga: Momen Kebangkitan Italia dan Spanyol
”Kami telah menghadirkan sejumlah keceriaan bagi warga dan pendukung Italia di Piala Eropa ini. Namun, kami masih butuh satu kemenangan lagi untuk menciptakan sejarah baru,” kata Mancini. (AFP)