Tim Indonesia dilanda suhu dingin saat berlaga di Series Piala Dunia IFSC di Villars, Swiss. Meski begitu, Indonesia berhasil membawa pulang gelar juara nomor kecepatan putra melalui Veddriq Leonardo
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Atlet panjat tebing Indonesia Veddriq Leonardo menjuarai Series Piala Dunia Federasi Panjat Tebing Internasional atau IFSC nomor kecepatan di Villars, Swiss, Jumat (2/7/2021). Dalam hambatan suhu dingin, Veddriq kembali mengulangi prestasi yang diraih di Salt Lake City, Amerika Serikat, awal Juni lalu.
Series Piala Dunia IFSC diikuti 225 atlet panjat tebing dari 28 negara. Kejuaraan ini mempertandingkan nomor kecepatan dan lead. Di nomor kecepatan putra, Indonesia meloloskan Kiromal Katibin, Veddriq Leonardo, Alfian Muhammad Fajri, dan Aspar Jaelolo ke putaran final.
Pada nomor kecepatan putri, Indonesia meloloskan Ajiah Sallsabillah, Desak Made Rita Kusuma Dewi, dan Nurul Iqamah. Indonesia total mengirim 10 atlet ke Swiss.
Di Swiss, mereka harus menaklukkan arena setinggi 15 meter, dengan kemiringan 95 derajat. Selain itu, mereka terkendala suhu dingin 15 derajat celsius karena Villars terletak di ketinggian 1.500 meter di atas laut.
Meski terkendala suhu dingin, Veddriq menjadi yang terbaik di nomor kecepatan putra seusai mengungguli Dmitrii Timofeev dari Rusia dengan waktu 5,32 detik. Sejak babak 16 besar, waktu Vreddiq konsisten di kisaran 5 detik. Adapun Kiromal meraih peringkat ketiga di kejuaraan ini setelah mengalahkan Vladislav Deulin dari Rusia dengan waktu 5,30 detik.
“Secara umum penampilan kami di Swiss dipengaruhi suhu yang mencapai 15 derajat celsius. Jari-jari terasa membeku dan kaku. Itu mempengaruhi performa atlet,” ujar Hendra Basyir, pelatih tim Indonesia, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (3/7/2021).
Secara umum penampilan kami di Swiss dipengaruhi suhu yang mencapai 15 derajat celsius. Jari-jari terasa membeku dan kaku.
Hendra puas dengan pencapaian atlet panjat tebing Indonesia. Meski pencapaian itu bisa lebih baik bila mereka mampu mengatasi suhu dingin. Akibat suhu dingin itu pula Indonesia beberapa kali terpeleset di tengah lomba.
Kiromal sempat terpeleset saat menghadapi Timofeev di semi final. Kaki Kiromal menumpu tidak tepat sasaran sehingga membuat Timofeev mampu menyusulnya. Pada akhirnya, Timofeev menang dengan waktu 5,48 detik dan Kiromal 6,07 detik.
“Karena dingin, di kaki dan jari saya itu jadi mati rasa. Kaki sudah menginjak, tetapi tidak terasa menginjak arena begitu,” kata Kiromal.
Atlet putri Desak Made Rita yang baru pertama kali tampil di kejuaraan internasional juga terpeleset saat memperebutkan posisi ketiga melawan Patrycja Chudziak dari Polandia. Catatan waktu Desak melebar hingga 10,38 detik, kalah dari Chudziak yang mencatat 7,73 detik.
Persaingan ketat
Bagi Veddriq, berlaga di Villars jauh lebih sulit dibandingkan saat mengikuti Series Piala Dunia IFSC di Salt Lake City, AS, awal Juni 2021. Saat itu, Vreddiq memecahkan rekor dunia nomor kecepatan putra dengan waktu 5,20 detik.
“Lebih mengerikan bertanding di Swiss. Cuaca agak dingin, jadi (tubuh) kami memang harus panas. Kalau tidak panas, tidak bisa mengeluarkan kemampuan maksimal,” kata Veddriq.
Manajer tim Indonesia Pontas Sitanggang mengatakan, atlet Indonesia punya pengalaman berlaga di Villars tahun lalu. Oleh karena itu, para atlet mempersiapkan diri dengan mengenakan jaket tebal, sarung tangan, dan pemanas tangan.
Namun, atlet Indonesia terlampau terbiasa bertanding di iklim tropis. Begitu memasuki wilayah dingin, tubuh mereka langsung kaku. Melihat itu, tim Indonesia mulai ragu Vreddiq dan kawan-kawan bisa mengulangi capaian memecahkan rekor dunia seperti di AS.
“Beberapa faktor termasuk stres dan cuaca dingin membuat atlet-atlet kita melakukan foul termasuk terpeleset. Kami berharap di Series Piala Dunia IFSC di Jakarta akhir tahun nanti bisa meraih prestasi yang lebih baik lagi,” ucap Pontas.
Sementara itu menurut Hendra Basyir, untuk mengatasi kendala suhu dingin saat bertanding, atlet panjat tebing Indonesia seharusnya tiba jauh-jauh hari untuk aklimatisasi. Namun, karena kondisi pandemi dan lain hal, mereka baru datang ke Swiss ketika mendekati hari pertandingan sehingga waktunya dirasa belum cukup untuk aklimatisasi.
Hendra menjelaskan, setelah tiba di Tanah Air, atlet panjat tebing Indonesia menjalani karantina selama satu pekan terlebih dulu. Setelah itu mereka langsung melanjutkan pemusatan latihan (pelatnas) di Jakarta.
Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) membuka kemungkinan bagi para pemanjat tebing pelatnas dipanggil pengurus daerahnya masing-masing untuk bersiap berlaga di Pekan Olahraga Nasional di Papua akhir tahun nanti. Namun, pengurus FPTI berharap mereka tetap berada di pelatnas. Sebab, dikhawatirkan kondisi atlet panjat tebing akan makin menurun karena tidak terpantau secara rutin oleh tim pelatih pelatnas saat mereka berlatih di daerah masing-masing.