Rumitnya Tantangan di Lapangan Rumput Wimbledon
Meskipun disukai banyak petenis, lapangan rumput di turnamen Wimbledon menyimpan banyak kerumitan. Lapangan yang licin menyebabkan banyak petenis terjatuh dan terluka.
Baru memainkan babak pertama, Wimbledon telah kehilangan dua petenis yang tak bisa menyelesaikan pertandingan karena cedera akibat licinnya lapangan rumput. Meski berpermukaan lembut dan dengan suhu permukaan yang lebih rendah dari lapangan keras, lapangan rumput memiliki beragam tantangan rumit.
Dua pemain yang mundur dalam dua laga beruntun terjadi pada babak pertama yang berlangsung di Lapangan Utama All England Club, Selasa (29/6/2021). Keduanya adalah Adrian Mannarino yang berhadapan dengan Roger Federer dan Serena Williams saat melawan Aliaksandra Sasnovich.
Mannarino mundur pada awal set kelima karena cedera lutut. Dia mengatakan, mendengar suara dari lututnya saat terjatuh di baseline pada gim ketujuh set keempat. Setelah kejadian itu, Mannarino pun kesulitan bergerak.
”Lapangan terasa licin bagi saya. Saat harus mengubah arah gerakan, saya merasa tak nyaman. Saya merasakan itu sejak awal pertandingan,” kata Mannarino.
Sementara Serena mundur ketika baru bermain 34 menit, dalam skor 3-3, pada set pertama. Memasuki lapangan dengan paha kanan dibebat, dia merasakan sakit setelah dua kali terpeleset.
Serena, yang sesungguhnya memiliki kesempatan juara pada tahun ini, meninggalkan turnamen favoritnya sambil menangis. Pelatihnya, Patrick Mouratoglou, mengatakan, Serena mengalami cedera di bagian atas hamstring.
Baca juga : Tangis Serena Williams di All England Club
Sehari sebelumnya, tunggal putra nomor satu dunia, Novak Djokovic, dua kali terpeleset hingga jatuh pada set pertama ketika berhadapan dengan Jack Draper. ”Saya masih mencari cara untuk menjejakkan kaki dengan nyaman karena lapangan rumput memang licin. Bertambah licin mungkin karena lembab karena atap ditutup,” komentar Djokovic.
Federer juga menilai lapangan lebih licin ketika atap ditutup. ”Anda harus bergerak dengan sangat hati-hati. Jika bergerak pada momen yang salah, Anda bisa jatuh. Kejadian pada hari ini sangat mengerikan karena terjadi pada dua pertandingan beruntun yang juga menimpa Serena. Ya Tuhan, saya tak percaya ini terjadi,” ujar Federer.
Ketiga momen itu terjadi ketika atap Lapangan Utama ditutup karena hujan. Panitia mengatakan, cuaca pada dua hari pertama Wimbledon tahun ini adalah yang paling basah dalam satu dekade terakhir sehingga atap Lapangan Utama dan Lapangan 1 harus ditutup.
Lapangan rumput dalam kondisi natural sebenarnya telah memunculkan tantangan tersendiri karena licin serta memantulkan bola dengan cepat dan sangat rendah. Tak jarang, petenis sampai harus berlutut untuk mengembalikan bola.
Baca juga : Peluang Juara Terbuka untuk Serena
Kombinasi hujan dan kelembaban yang diciptakan oleh atap yang ditutup selama hampir dua hari tampaknya telah berkontribusi pada permukaan yang lebih berbahaya dari biasanya. Rumput menjadi basah sehingga lebih licin dari biasanya, apalagi lapangan ditutup terlebih dulu dengan terpal sekitar 10-15 menit saat atap dibuka atau ditutup.
Licinnya lapangan rumput berbeda dengan lapangan tanah liat. Di tanah liat, petenis bisa meluncur dengan aman dan terkendali untuk mengejar bola karena ada traksi antara sepatu dan permukaan lapangan. Sebaliknya, itu tak bisa dilakukan di lapangan rumput karena tidak ada traksi sepatu dan lapangan. Efeknya, petenis bisa terpeleset jika memaksakan diri.
”Untuk bermain di lapangan rumput, kaki Anda harus menapak di lapangan dengan tegas, bukan meluncur seperti yang dilakukan di lapangan tanah liat,” komentar mantan petenis Australia, Lleyton Hewitt.
Berdasarkan pengalamannya delapan kali menjuarai Wimbledon, Federer mengatakan, masa tersulit bermain di lapangan rumput All England Club adalah pada satu hingga dua babak awal. ”Setelah itu, lapangan semakin keras dan bergerak menjadi semakin mudah,” katanya.
Baca juga : Antusiasme di Lapangan Rumput
Pat Cash, juara Wimbledon 1987, menggambarkan beragamnya tantangan bermain di All England Club selama dua pekan penyelenggaraan. ”Ada tiga fase tantangan bermain di Wimbledon, yaitu saat lapangan sangat licin, licin di bagian belakang baseline, dan sangat berdebu mendekati akhir turnamen karena rumput semakin tipis. Tantangannya memang sangat rumit,” kata mantan petenis Australia itu dalam BBC.
Faktor lain sebagai penambah kesulitan bertanding di Wimbledon adalah jarak yang dekat musim turnamen lapangan tanah liat. Perancis Terbuka, sebagai puncak persaingan lapangan tanah liat, dan Wimbledon pernah digelar dengan jeda dua pekan, lalu diubah menjadi tiga pekan. Tahun ini, jeda di antara keduanya hanya dua pekan karena dimundurkannya Perancis Terbuka selama sepekan.
Pada 2015, panitia Wimbledon menempatkan turnamen pada dua pekan pertama Juli untuk mendapatkan cuaca lebih hangat dan kering di Inggris. Namun, dua tahun kemudian, beberapa petenis, termasuk Federer dan Andy Murray, mengkritiknya karena lapangan juga terlalu licin dalam kondisi terlalu kering hingga petenis tergelincir.
”Tim kami memiliki banyak pengalaman dalam menjaga lapangan di berbagai kondisi cuaca. Mereka terus mengikuti dan memanfaatkan teknologi lapangan rumput terbaru. Kami akan terus memantau situasinya dan menyesuaikan rencana perawatan untuk rumput dengan tepat,” komentar panitia penyelenggara.
Menjaga rumput
Setiap turnamen Grand Slam sebenarnya diselenggarakan pada musim panas di setiap negara penyelenggara. Akan tetapi, kondisi cuaca tak sepenuhnya bisa diprediksi. Wimbledon, yang biasanya terganggu hujan, pada 2019 justru berlangsung dalam cuaca panas.
Dikatakan Neil Stubley, Ketua All England Club Bidang Lapangan dan Hortikultura, saat cuaca panas, rumput seolah stres dan tumbuh lebih bagus saat dingin.
Stubley, yang bekerja di All England Club sejak 1995, adalah orang yang harus menjaga lapangan agar layak digunakan selama dua pekan turnamen. Dia dibantu 16 tenaga staf.
Persiapan tidak hanya dilakukan menjelang kejuaraan, tetapi sepanjang tahun, dimulai dengan menebar benih, sebanyak 1 juta ton. Benih-benih rumput ini didatangkan dari Belanda.
Tugas utama saya adalah memastikan kondisi lapangan pada hari ke-13 sama seperti hari pertama. Ini mungkin mimpi yang mustahil terwujud, tetapi kami berusaha keras untuk itu.
Dalam masa persiapan, rumput berjenis gandum hitam itu harus bisa menghadapi musuh terkejam, yaitu salju di musim dingin dan matahari yang menyengat pada musim panas.
Dalam buku Wimbledon: 101 Reasons to Love the Greatest Tournament in Tennis disebutkan, empat pekan menjelang turnamen, tugas rutin yang dilakukan adalah memotong rumput hingga setinggi delapan milimeter, menyiram, dan menandai garis. Pekerjaan ini tetap dilakukan selama pertandingan, pada malam hari, agar rumput tetap hidup.
”Tugas utama saya adalah memastikan kondisi lapangan pada hari ke-13 sama seperti hari pertama. Ini mungkin mimpi yang mustahil terwujud, tetapi kami berusaha keras untuk itu,” kata Stubley. (AFP/REUTERS)