Sang pelatih terbebani masa lalu, sementara pemain terbelenggu kelakuan dan ekspektasi pendukung. Inggris sudah menghadapi ”lawan” dalam pikirannya sebelum laga sesungguhnya di Stadion Wembley.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
LONDON, SENIN – Suasana tenteram menyelimuti markas skuad Inggris jelang laga 16 besar versus Jerman. Mereka menikmati barbeku malam hari dengan sajian penampilan dari penyanyi pop ternama, Ed Sheeran. Lewat lantunan suara merdu dan petikan gitar akustik, tim “Tiga Singa” mencoba berlari dari hantu di pikiran.
Jordan Henderson, gelandang veteran Inggris, sangat terhibur dengan kehadiran Sheeran. “Kami sedang makan di acara barbeku. Tiba-tiba dia mengambil gitar dan memainkan beberapa lagu. Itu terasa sangat spesial, seperti tidak nyata,” katanya.
Pelantun tembang “Thinking Out Loud” ini diundang untuk menghibur skuad Inggris di markasnya, St George Town. Pada malam yang sama dengan konser privat tersebut, Inggris diketahui akan berhadapan dengan musuh lamanya Jerman di Stadion Wembley, pada Selasa (29/6/2021) pukul 23.00 WIB.
Duel nanti lebih dari laga biasa. Seperti kata legenda Jerman Franz Beckenbauer, itu adalah sebuah pertarungan klasik. Di dalamnya, terdapat banyak bumbu kisah masa lalu. Skuad Inggris butuh “obat penenang” karena mengalami lebih banyak kisah pahit dalam sejarah.
Semua mata sekarang menyorot tajam kepada pelatih Inggris, Gareth Southgate. Dia adalah potret nyata kegagalan Inggris di Wembley pada Piala Eropa 1996. Southgate gagal menendang penalti yang berujung kekalahan dari Jerman pada semifinal.
Pikiran dari “otak” skuad Inggris ini terbebani penyesalan masa lalu sekaligus misi balas dendam. Beban tersebut semakin nyata karena Southgate akan bertemu lagi dengan penghancur mimpinya, mantan kiper Jerman Andreas Koepke. Kiper yang menepis sepakannya akan hadir sebagai staf pelatih lawan.
Kata Southgate, kisah itu adalah masa lalu buruknya. Dia mungkin tidak akan melupakannya seumur hidup. Tetapi, pemain yang akan bermain nanti adalah anak asuhnya.
“Mereka tidak relevan dengan masa lalu itu. Bahkan di antaranya ada yang lahir setelah tahun 2000. Tim ini punya cerita dan sejarah sendiri. Mereka telah membuktikan itu (sejarah baik) dalam beberapa tahun terakhir,” ucapnya.
Masa lalu Southgate bisa menjadi penentu dalam laga nanti. Inggris sejauh ini bermain pragmatis dengan hanya mencetak dua gol dalam tiga laga. Namun, sang pelatih mungkin memainkan gaya lebih menyerang untuk menghindari adu penalti. Mengingat, Inggris selalu takluk dalam dua kali adu penalti dari Jerman. Tim lawan juga punya kiper tangguh dalam tos-tosan, Manuel Neuer.
Kami harus waspada karena mereka akan lebih menyerang di depan publik sendiri.
“Tiga Singa” dipimpin ujung tombak Harry Kane belum menunjukkan taringnya. Tetapi, pertahanan sang lawan dengan formasi 3-4-3 sangat rapuh. Jerman sudah kecolongan 5 kali selama babak grup. Hal ini pula yang ditakutkan pelatih Jerman, Joachim Loew. “Kami harus waspada karena mereka akan lebih menyerang di depan publik sendiri,” ucap Loew.
Stadion Wembley dengan kehadiran 40.000 penonton akan kembali menjadi saksi rivalitas terpanas ini. Sepanjang sejarah, Inggris dan Jerman sudah bertemu tiga kali di Wembley dalam ajang besar, yaitu Piala Eropa 1972 dan 1996, serta Piala Dunia 1966.
Dari tiga percobaan, hanya sekali pendukung Inggris pulang dari stadion dengan senyum di wajah, pada 1966. Ketika itu, Inggris menang di final atas Jerman lewat gol kontroversial Geoff Hurst. Itu merupakan kejayaan terakhir di turnamen besar bagi “Tiga Singa”.
Bagi pemain Inggris, dukungan penonton justru bisa menjadi bumerang. Sama halnya seperti peristiwa 1996, ketika sekitar 80.000 pendukung di Wembley tidak bertuah terhadap kemenangan. Tahun ini, mereka menghadapi tantangan lebih berat.
Setelah puasa gelar selama 55 tahun, rasa lapar pendukung semakin menumpuk. Mereka bisa berbalik menyerang tim ketika kurang puas. Gejolak itu terlihat ketika para penonton mencemooh pemain seusai hasil imbang lawan Skotlandia pada babak grup.
“Sangat penting mereka (pendukung) memberi dukungan dengan cara yang tepat di Wembley. Kami sangat membutuhkan energi positif dari mereka,” kata Kane yang dikritik karena belum mencetak gol di Piala Eropa.
Kane dan rekan-rekan juga berharap pendukung tidak berulah dengan menyanyikan “Ten German Bomber”. Hal itu bukan menyemangati, justru bisa menjatuhkan moral mereka. Kata Kane, permainan sepak bola tetap harus mengutamakan rasa hormat kepada lawan.
Nyanyian tersebut adalah bentuk ledekan terhadap Jerman yang berhubungan dengan memori kelam Perang Dunia. Lagu itu sempat terdengar dalam laga pembuka Inggris versus Kroasia. Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) akan memberikan hukuman jika ada pendukung yang menyanyikan lagu itu lagi.
Di sisi lain, pemain andalan Jerman Kai Havertz punya modal pengalaman bertarung di Wembley. Gelandang serang Chelsea ini sudah dua kali bermain dalam stadion sakral tersebut. “Tentu ini akan menjadi laga spesial untuk saya. Saya senang bermain di Wembley juga berada di (Kota) London,” ucap pencetak gol terbanyak (2 gol) untuk Jerman itu.
Jerman datang bukan sebagai unggulan. Tim “Panser” masuk ke turnamen seusai tumbang di babak grup Piala Dunia. Mereka juga nyaris tersingkir oleh Hongaria di Grup F Piala Eropa. Beruntung, skuad asuhan Loew diselamatkan oleh gol Leon Goretzka pada menit-menit akhir.
Namun, performa terpincang-pincang ini justru menjadi tanda bahaya lebih untuk Inggris. Ketika datang dengan masalah, biasanya Jerman semakin mengejutkan. Hal ini sudah terbukti pada dua pertemuan sebelumnya.
Pada 1972, Jerman, ketika itu Jerman Barat, datang dengan kondisi beberapa pemain cedera dan penurunan prestasi pemain di liga domestik. Sementara itu, di 1996 mereka berduel melawan Inggris tanpa penyerang andalan Juergen Klinsmann. Tetapi, semua keraguan itu berujung manis.
Thomas Mueller, penyerang utama Jerman, berkata kuncinya adalah kebersamaan. “Kami bisa berhasil ketika menjadi satu unit. Kami tidak punya individu untuk bisa mengungguli tim lain. Laga nanti akan jadi sangat menarik,” kata Mueller yang sempat tidak tampil di laga sebelumnya akibat cedera.
Mantan punggawa Inggris pada 1996, Gary Neville, berharap skuad “Tiga Singa” tidak takut dengan tantangan besar ini. “Momen seperti ini tidak akan kembali lagi. Ini adalah kesempatan nyata untuk mengalahkan Jerman di rumah sendiri,” tuturnya.
Keberanian Southgate dalam perubahan taktik diuji. Dia butuh elemen kejutan untuk menaklukkan musuh masa lalunya. Seperti hal yang dilakukan pelatih Alf Ramsey ketika membawa Inggris juara dunia.
Saat itu, Ramsey menggantikan striker utama Jimmy Greaves dengan George Hurst. Ternyata, Hurst yang membuahkan gol kemenangan ke gawang Jerman di partai puncak. (AP/AFP)