Menanti Ledakan Keajaiban Lainnya dari Tim "Der Panzer"
Jerman, yang tidak diunggulkan, pernah membuat kejutan dengan menjadi juara dunia 1954 silam. "Ledakan" kejutan serupa ingin mereka perlihatkan di Piala Eropa 2020, terutama saat bertemu musuh lamanya, Hongaria.
Oleh
CORNELIUS HELMY
·6 menit baca
Momen ”Das Wunder von Bern” (Keajaiban di Bern) membuka kisah manis Jerman di pentas sepak bola dunia. Kisah epik 1954 silam itu ingin diulangi di Piala Eropa 2020. ”Der Panzer” kini berevolusi, yaitu dari urung bermain cantik menjadi senjata gesit yang mematikan, seperti terlihat saat menggilas Portugal, Sabtu (19/6/2021).
Pada 1954 lalu, laga final Piala Dunia Swiss antara Jerman Barat versus Hongaria di Stadion Wankdorf, Bern, diprediksi sebagian pihak bakal ”berat sebelah”. Hongaria, tim terkuat saat itu yang memiliki sejumlah megabintang macam Ferenc Puskas dan Zoltan Czibor, diyakini bakal mudah melibas Jerman untuk jadi juara.
Gelagatnya sudah terlihat di fase penyisihan grup. Kala itu, Jerman dihancurkan Hongaria, 3-8. Dalam perjalanan ke final, Hongaria juga menyingkirkan dua finalis edisi sebelumnya, Brasil dan Uruguay.
Lebih jauh, Hongaria tidak pernah kalah selama empat tahun sebelum berlaga di Piala Dunia itu. Sebaliknya, Jerman tampil dengan wajah buruk rupa. Mereka tidak punya pemain bintang. Negara itu juga baru bangkit setelah porak poranda akibat perang.
Pesta Hongaria di final mendekati kenyataan saat berhasil melesakan dua gol ketika laga belum menyentuh 10 menit. Puskas dan Czibor mencetak masing-masing gol itu. Akan tetapi, seperti mesin diesel panser yang lambat panas, Jerman membalikkan keadaan.
"Rahn harus menembak dari jarak jauh. Rahn menembak... Gol! Gol! Gol! Jerman adalah juara dunia!" teriak reporter radio Jerman, Herbert Zimmermann, histeris saat Rahn mencetak gol penentu di tengah guyuran hujan pada laga final 1954 silam itu.
Asal muasal "Der Panzer"
Mereka berbalik unggul lewat dua gol pemain sayap, Helmut Rahn, dan gol penyerang Max Morlock. Jerman menang 3-2. Sejak saat itu, julukan Der Panzer disematkan ke timnas Jerman. Julukan itu juga menemani warga Jerman bangkit dari keterpurukannya seusai Perang Dunia.
Prestasi Jerman kian kencang setelah itu. Total empat Piala Dunia dikoleksinya, yaitu 1954, 1974, 1990, dan 2014. Tiga trofi Piala Eropa juga direngkuhnya, yaitu 1972, 1980, dan terakhir pada 1996 silam.
Bakat baru pun bermunculan dan menjadi legenda. Selain Morlock dan Rahn, muncul Gerd Mueller dan Karl-Heinz Rummenigge. Lalu, generasi baru lahirl, seperti Berti Vogts dan Lothar Matheus. Kejayaan mereka pun dilanjutkan Oliver Kahn hingga pencetak gol terbanyak sepanjang masa Jerman, Miroslav Klose.
Jerman tidak main-main dalam mencari dan memupuk bakat baru. Lebih dari 1 miliar dollar AS (Rp 13 triliun) dikucurkan untuk mengasah talenta muda sepak bola mereka (Kompas, 3 Juni 2017).
Akan tetapi, selepas jadi juara dunia 2014, Jerman seperti kehilangan bahan bakar. Puncaknya, mereka tersingkir dini di penyisihan grup Piala Dunia Rusia 2018.
Salah satu fokus program itu adalah mendirikan pusat-pusat latihan regional yang disebut stützpunkte. Ada ratusan unit tersebar di Jerman. Setiap stützpunkte punya pelatih khusus berlisensi khusus. Mereka ditugasi Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) melatih sekaligus menjadi pemandu bakat.
Pusat-pusat latihan itu dilengkapi fasilitas tercanggih. Di luar itu, masih ada puluhan akademi milik klub-klub Bundesliga yang getol melahirkan pesepak bola muda berbakat.
Akan tetapi, selepas jadi juara dunia 2014, Jerman seperti kehilangan bahan bakar. Puncaknya, mereka tersingkir dini di penyisihan grup Piala Dunia Rusia 2018. Itu adalah capaian terburuk mereka di Piala Dunia dalam kurun 80 tahun.
Revolusi
Maka, revolusi pun dilakukan jelang Piala Eropa 2020. Desakan membentuk tim yang bermain cepat, atraktf, namun tetap ganas, pun mengemuka. Di akhir masa jabatannya sebelum diganti Hans-Dieter Flick, Pelatih Timnas Jerman Joachim Loew sepertinya ingin mewujudkan keinginan itu.
Namun, itu tidak mudah diwujudkan Di Piala Eropa 2020, Jerman berada di Grup F, bersama juara bertahan, Portugal; juara dunia Perancis; dan tim yang tengah naik daun setelah lama menghilang, Hongaria.
Guna mewujudkan ambisnya, Loew masih menjadikan barisan senior, seperti Manuel Neuer, Toni Kroos, dan Mats Hummels, sebagai fondasi tim. Namun, tiada lagi striker besar seperti Klose atau pemimpin hebat macam Philipp Lahm.
Sebagai gantinya, amunisi serangan bertumpu pada kecepatan Kai Havertz, yang baru saja menjuarai Liga Champions Eropa bersama Chelsea. Ada juga bek sayap, Robin Gosens, pemain yang menjadi bagian kisah bak dongeng dengan Atalanta, klub Liga Italia.
"Memang ada beban tertentu (tampil di Piala Eropa 2020). Akan tetapi, suasana tim sangat bagus. Pemain sangat ambisius dan ingin sukses," kata Loew.
Perubahan itu memang belum berbuah positif saat Jerman melawan Perancis di laga pertama. Jerman kalah 0-1 akibat gol bunuh diri Hummels. Akan tetapi, melawan Portugal, buahnya mulai terlihat.
Kali ini, tim Panser sudah panas sejak sejak peluit babak pertama ditiupkan. Penguasaan bola tinggi mereka perlihatkan, seperti halnya saat melawan Perancis. Operan pendek dan sesekali umpan silang mengurung kreativitas lawan.
Hanya saja, karena terlalu asyik menyerang, Jerman kebobolan lebih dahulu lewat serangan balik dan gol Cristiano Ronaldo. Skema ini harus jadi pelajaran berharga bagi Loew bila ingin bertahan lebih lama di Piala Eropa 2020.
Ketinggalan satu gol tidak membuat Jerman mengendurkan permainan. Operan pendek dengan satu atau dua sentuhan antarpemain bermunculan, menambah daya pikat Jerman. Permainan Jerman tidak lagi monoton seperti dulu. Der Panzer kini kerap menusuk dengan lincah guna meledakkan pertahanan lawan.
Hasilnya, empat gol dibuat Jerman. Dua gol muncul lewat bunuh diri lawan, Ruben Diaz dan Raphael Guerreiro. Dua gol lainnya dibuat Havertz dan Gosens (60). Dalam laga itu, Gosens dinobatkan sebagai pemain terbaik. Pria yang awalnya ingin jadi polisi itu mengalahkan Ronaldo dengan mencetak satu gol dan satu asis.
Ada kisah menarik antara Gosens dan Ronaldo. Dalam bukunya, Traeumen Lohnt Sich (2021), Gosens pernah kecewa saat Ronaldo menolaknya bertukar jersei dalam laga di Liga Italia. Hal itu lantas menjadi motivasinya. ”Kemenangan ini sangat berarti bagi tim dan perjalanan karier saya. Ini adalah keajaiban yang akan selalu dikenang,” kata Gosens.
Akan tetapi, satu kemenangan jelas tidak cukup. Sebiji kemenangan di Piala Dunia 2018 tetap membuat Jerman pulang lebih awal. Oleh karena itu, Jerman wajib merebut kemenangan lainnya di Grup F.
Ambisi itu tidak akan mudah. Semua tim di ”grup neraka” itu masih bisa lolos, termasuk Hongaria yang menjadi lawan Jerman di laga terakhir penyisihan grup di Arena Alianz, Munchen, Kamis (24/6).
Hongaria saat ini jelas berbeda dengan era keemasannya, enam dekade lalu. Namun, mereka tidak boleh diremehkan. ”Mighty Magyars” adalah kuda hitam serius. ”Saya tidak mau arogan dan berkata akan menang di Muenchen. Namun, kami akan melakukan yang terbaik untuk membuatnya menjadi kenyataan,” kata Pelatih Hongaria Marco Rossi.
Kontras dengan 1954 silam, Jerman kini lebih diunggulkan ketimbang Hongaria. Kemenangan atas Portugal mengubahnya. Seperti di Bern, kemenangan itu bisa menjadi kenangan indah. Namun, bila kalah, Der Panzer butuh sekadar keajaiban guna menepis malu. (AFP)