Diusik Wabah Penyakit hingga Virus Politik
Olahraga, kesehatan, dan politik adalah tiga hal yang terpisah. Sekarang ketiganya saling bersilang di Piala Eropa 2020. Tantangan nyata itu dihadapi para pemain.
Bermain sepak bola di tengah pandemi sangatlah rumit. Sebuah tim tidak hanya berhadapan dengan kesebelasan lawan. Mereka juga dihadang musuh tak terlihat yaitu virus Covid-19. Situasi tak mengenakkan ini mulai dirasakan oleh beberapa tim jelang Piala Eropa 2020.
Tim raksasa Spanyol salah satu yang bernasib apes. Peraih gelar terbanyak Piala Eropa ini (3 kali) diguncang kasus positif Covid-19 yang menimpa dua pemain andalan gelandang Sergio Busquets dan bek Diego Llorente. Meski kabar terbaru menyebut hasil tes terakhir Llorente negatif dan dia berpeluang bergabung dengan tim.
Nasib skuad asuhan pelatih Enrique menjadi tidak menentu jelang laga pembuka Grup E melawan Swedia di Stadion La Cartuja, Selasa (15/6/2021) dini hari WIB. Bukan hanya Busquets dan Llorente yang diragukan tampil, seluruh skuad ”La Roja” juga terus dipantau kondisinya. Mereka menjalani isolasi hingga akhir pekan ini di kompleks pusat latihan Asosiasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) di La Rozas, Madrid.
Kondisi tak ideal ini jelas mengganggu persiapan. Enrique terpaksa menurunkan pemain timnas Spanyol U-21 pada laga uji coba terakhir mereka lawan Lithuania (4-0), Rabu. Total ada 11 pemain yang dipanggil ke timnas senior, antara lain Brahim Diaz (AC Milan) dan Bryan Gil (Eibar).
Baca juga: Ancaman Covid-19 Bayangi Piala Eropa
Sebelas pemain ini akan bergabung dengan enam pemain lain, antara lain Raul Albiol (Villarreal) dan Kepa Arrizabalaga (Chelsea), yang tidak terpilih masuk ke dalam 26 nama skuad final. RFEF memutuskan 17 pemain tersebut akan menjadi tim darurat. Mereka berlatih dalam ”gelembung” terpisah dengan skuad utama.
Enrique begitu khawatir problem ini mengganggu persiapan tim. Mereka mungkin masih bisa mengatasi kondisi fisik, karena tetap berlatih dalam isolasi. Tetapi, dampak psikologis terhadap pemain menjadi perhatian utamanya.
”Pikiran sangatlah penting untuk semuanya. Tanpa itu semua percuma. Fisik memang dibutuhkan, tetapi pikiran adalah kuncinya. Kami terus berkomunikasi dengan pemain untuk memenuhi keinginan mereka. Tim ini juga punya psikolog untuk mengurus pemain,” katanya, dikutip laman harian Marca.
Salah satu kebiasaan yang tidak bisa dilakukan tim saat ini adalah menonton video analisis pertandingan. ”La Roja” menunda sesi tersebut agar pemain tidak berkumpul bersama dalam satu ruangan tertutup.
”Kami sudah berlatih beberapa kali. Kemarin kami berlatih dua sesi dengan dibagi menjadi 10 pemain dalam satu grup. Saya memberi instruksi mereka dari luar lapangan untuk menjaga jarak. Kondisi ini tidak ideal untuk kami, tetapi ini bukan alasan,” ucapnya.
Baca juga: Peluang Terbaik Calon Juara Baru
Pemerintah Spanyol bergerak cepat. Menteri Kesehatan Spanyol Carolina Darias telah mengumumkan seluruh skuad ”La Roja” akan menjalani vaksinasi pada Kamis ini.
Swedia juga terpincang-pincang jelang melawan Spanyol. Mereka kehilangan dua pemain utama akibat positif Covid-19, yakni penyerang sayap Dejan Kulusevski dan gelandang Mattias Svanberg. Mereka dipastikan tidak bisa tampil pada Selasa depan.
Pikiran sangatlah penting untuk semuanya. Tanpa itu semua percuma. Fisik memang dibutuhkan, tetapi pikiran adalah kuncinya. Kami terus berkomunikasi dengan pemain untuk memenuhi keinginan mereka.
Bagi Swedia, mereka bagai sudah jatuh tertimpa tangga. Kulsevski adalah pemain yang paling diandalkan tim saat ini. Striker Juventus tersebut menjadi tulang punggung karena pemain veteran Zlatan Ibrahimovich cedera sebulan sebelum Piala Eropa dimulai.
Virus politik
Di tengah hiruk pikuk menyambut pesta olahraga empat tahun ini, gangguan juga datang dari memanasnya situasi politik. Rusia dan Ukraina, dua negara yang sudah lama berkonflik akibat perebutan wilayah, kembali bersitegang karena persoalan jersei.
Rusia meradang karena jersei terbaru Ukraina. Jersei itu gambar peta negara yang mencakup Semenanjung Krimea. Wilayah itu diklaim oleh Rusia pada 2014, meskipun belum diakui internasional.
Kostum berwarna kuning tersebut juga bertuliskan kalimat, ”Kemuliaan bagi Ukraina, kemuliaan bagi para pahlawan.” Kalimat itu adalah bagian dari nyanyian patriotik ketika pemberontakan rakyat Ukraina terjadi tahun 2014.
Karena itu, Rusia mengirim surat protes kepada Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA). Surat dikirim tiga hari sebelum Piala Eropa dimulai. ”Ukraina menyematkan motif politik dalam jerseinya. Hal itu melanggar prinsip dasar dari peraturan jersei UEFA,” tulisnya.
Peraturan UEFA berbunyi, jersei pemain tidak boleh menyinggung norma umum, serta mengirimkan politik, agama, ataupun ras. Tuduhan ini dibalas dengan sikap cuek oleh Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba.
”Saya menyukai seragam baru kami. Kami tidak akan membiarkan siapa pun menghina simbol negara kami. Kemuliaan untuk Ukraina!” ucapnya. Namun, UEFA yang semula menyetujui jersei itu kemudian meminta Ukraina menghapus slogan politik dari kostum tersebut.
Rusia dan Ukraina berada dalam grup yang berbeda. Rusia di Grub B bersama Belgia, Denmark, dan Finlandia, sedangkan Ukraina bersama Austria, Belanda, dan Makedonia Utara. Meski tidak akan berseteru di grup, keduanya bisa bertemu di perempat final.
Inggris berlutut
Drama politik lain terjadi di Inggris. Euforia bermain di kandang ternyata tidak semulus pikiran skuad ”Tiga Singa”. Mereka dicemooh publik sendiri ketika berlutut sebelum laga persahabatan melawan Austria dimulai.
Skuad Inggris berlutut untuk menunjukkan sikap politik mereka, meniru trend gerakan ”Black Lives Matter” yang terjadi di industri olahraga Amerika Serikat, yang kemudian diikuti oleh liga-liga sepak bola Eropa, termasuk Liga Inggris.
Baca juga: Meramu Format Kompetitif Piala Eropa
Sikap tersebut merupakan gerakan bersama melawan rasisme. Gerakan ini terinspirasi karena kebrutalan polisi AS yang membunuh seorang pria kulih hitam di jalan.
Namun, ternyata publik Inggris tidak menyukai gestur tersebut. Ketidaksukaan itu tercermin dalam laga persahabatan, juga survei yang dikeluarkan YouGov. Dalam survei itu, 39 persen dari 547 fans sepak bola di Inggris tidak setuju dengan sikap berlutut para pemain.
Baca juga: Jadwal Lengkap Piala Eropa 2020
Pelatih Inggris Gareth Southgate menilai pilihan politik skuad asuhannya sudah tepat. Bahkan, sikap ini didukung langsung oleh Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). ”Kami semua kecewa hal itu terjadi (perlakuan fans),” katanya seperti dikutip Sky Sports.
Meski menyesalkan sikap pendukung, Southgate justru melihat ada hal positif dalam skuadnya. Harry Kane dan rekan-rekan tampak lebih kompak. Mereka semua satu sikap untuk melanjutkan aksi tesebut di Piala Eropa. Persatuan ini bisa menjadi momentum baik bagi ”Tiga Singa”.
”Hal terpenting pemain kami sekarang bersatu tentang hal ini. Kami benar-benar saling mendukung satu sama lain, mendukung tim ini. Kami merasakan kini benar-benar ada dalam determinasi yang tepat untuk masuk ke turnamen,” jelas Southgate.
Piala Eropa kali ini sangat menantang untuk para pemain. Isu kesehatan dan politik saling bersilang memberi gangguan terhadap fokus mereka di lapangan. Namun, seperti kata pepatah, tidak akan ada berlian tanpa tekanan. (AFP)