Matthijs de Ligt, Si Pemalu Pemimpin Generasi Baru
Matthijs de Ligt dianggap ahli waris para legenda lini pertahanan Belanda. Bahkan, tak hanya sebagai jenderal lini belakang, bek berusia 21 tahun ini calon pemimpin generasi baru yang siap mengembalikan kejayaan Belanda.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Setelah Ronald Koeman di tahun 1980-an, Frank de Boer di 1990-an, dan Jaap Stam di 2000-an, era baru pertahanan Belanda telah tiba. Bocah pemalu asal Leiderdorp, Belanda, Matthijs de Ligt, muncul sebagai ahli waris para pendahulunya. Bahkan, tak hanya sebagai jenderal lini belakang, bek berusia 21 tahun itu calon pemimpin generasi baru yang siap mengembalikan kejayaan ”Pasukan Oranye” di blantika sepak bola.
De Ligt lahir di Leiderdorp, kota damai berpenduduk sekitar 27.000 jiwa yang berjarak sekitar 50 kilometer ke barat daya dari Amsterdam. Pemain kelahiran 12 Agustus 1999 itu tumbuh di lingkungan keluarga yang menggemari olahraga.
Berawal dari ajakan teman, de Ligt banting stir dari berlatih tenis ke sepak bola. Dia menghabiskan masa kecilnya di tim kecil Abcoude selama 2005-2009 sebelum terpantau pencari bakat Ajax Amsterdam.
De Ligt tiba di pusat pelatihan Ajax, De Toekomst pada 2009 sebagai anak pemalu yang kurang percaya diri. Dia sering diejek karena gemuk dan lambat. Karena itu, pencari bakat klub Ibu Kota Belanda itu sempat ragu merekrutnya.
Namun, di balik sifat pemalunya, De Ligt punya sifat pantang menyerah. Dia menjawab kritikan dengan berlatih keras di tempat kebugaran dengan pemantauan mantan juara lari 800 meter Eropa, Bram Som.
Lambat laun, De Ligt menjadi pemuda atletis dengan kemampuan menjanjikan sebagai pemain belakang. Dia membuktikan pepatah bahwa proses tak pernah membohongi hasil. Sekitar sebulan usai merayakan ulang tahun ke-17, tepatnya 21 September 2016, dirinya mendapatkan kesempatan menjalani debut bersama tim senior Ajax saat menghadapi Willem II dalam laga KNVB.
Di laga perdananya itu, De Ligt langsung mencetak satu gol dari lima gol kemenangan timnya. Gol itu menjadikannya sebagai pemain termuda yang mencetak gol untuk Ajax setelah Clarence Seedorf (16 tahun 361 hari).
Pasca momen bersejarah itu, rekor demi rekor baru dibuat De Ligt. Itu mulai dari tercatat sebagai pemain termuda yang menjalani debut di timnas senior Belanda sejak 1931 pada laga melawan Bulgaria dalam kualifikasi Piala Dunia 2018 Rusia, 25 Maret 2017. Ketika itu, usianya 17 tahun 225 hari.
Pada Maret 2018, de Ligt tercatat sebagai kapten termuda Ajax dalam usia 18 tahun usai menggantikan kapten tim Joel Veltman yang cedera. De Ligt pun menjadi bek pertama yang memenangi perhargaan pemain muda terbaik Eropa atau Golden Boy pada 17 Desember 2018.
Saya cuma anak normal, bukan jenius seperti Lionel Messi.
Dengan segenap prestasi di usia belia, De Ligt tidak ingin cepat besar kepala. ”Saya cuma anak normal, bukan jenius seperti Lionel Messi,” ujar pemain bertinggi 189 sentimeter itu merendah seperti dikutip Firstpost.com, Jumat (6/9/2019).
Wajar de Ligt malu-malu ketika mulai banyak yang menyanjungnya. Dia sadar diri masih butuh banyak pembuktian, terutama lewat prestasi tertinggi di tingkat klub dan timnas. Sejauh ini, prestasi terbaik De Ligt sebatas juara kompetisi lokal bersama Ajax dan Juventus.
Bahkan, setiba di Juventus dengan mahar fantastis 75 juta Euro (Rp 1,3 triliun) pada musim panas 2019, De Ligt belum menunjukkan penampilan mengesankan. Di Serie A Liga Italia, dia baru mendapatkan kepercayaan pasca bek senior Giorgio Chiellini mengalami cedera lutut. Pada laga debut menghadapi Napoli dalam pekan kedua, 31 Agustus 2019, dirinya tiga kali membuat blunder yang menyebabkan lawan bisa membukukan tiga gol sehingga laga berakhir 4-3.
Sepanjang musim pertama bersama Juventus, De Ligt mendapatkan kesempatan 29 kali bermain di liga. Akan tetapi, penampilannya dianggap kurang mengesankan. Di musim kedua, jumlah penampilannya berkurang menjadi 27 kali akibat performa yang belum meyakinkan dan cedera.
Asisten pelatih Juventus ketika itu, Giovanni Martusciello, dilansir Football-Italia menilai, De Ligt sering tertinggal dalam membaca pergerakan lawan yang menjadi aspek utama dalam sistem pertahanan. Selain itu, dia juga belum beradaptasi dengan Seria A yang terkenal memiliki pakem bertahan unik dibanding liga lain.
Hal ini senada dengan penilaian mantan Kepala Pengembangan Bakat Ajax Ruben Jongkind dikutip BBC Sport, Rabu (2/6/2021). Dia mengatakan, sejak di kelompok usia 15 tahun, De Ligt tumbuh sebagai bek tengah modern yang kuat dan tangguh. Tetapi, dia tidak memiliki kecepatan dalam tindakan, seperti pengambilan keputusan dan kelincahan 360 derajat dengan bola.
Di tengah banyak kritik, orang-orang yang memahami bakat De Ligt yakin dia bakal terus tumbuh dan menjadi lebih baik. ”Jangan lupa, dia masih sangat muda dan perlu belajar beradaptasi dengan lingkungan baru,” terang mantan pelatih Belanda Ronald Koeman.
De Ligt menyadari tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan berbeda. Apalagi, di Italia, atmosfer sepak bola amat kental sehingga tekanan jauh lebih besar. Namun, dia berjanji tidak akan pernah berhenti memperbaiki diri.
”Di Juventus, saya belajar banyak dari Cristiano Ronaldo, terutama dalam keseriusan pada pekerjaan. Dia melakukan segalanya untuk menjadi pemenang. Apa yang kita lakukan (latihan), dia melakukannya berkali-kali lipat,” ujar De Ligt kepada harian Belanda, De Telegraaf.
Kesempatan de Ligt membuktikan kapasitasnya terbuka lebar dalam Piala Eropa 2020. Dengan absennya bek sekaligus kapten Belanda Virgil van Dijk, satu tempat di lini bertahan kemungkinan jadi miliknya. Tinggal dirinya jangan malu-malu memaksimalkan kesempatan yang ada. (AFP)