Kontroversi Liga Super Eropa menunjukkan bahwa sepak bola adalah olahraga milik semua kalangan. Upaya membuatnya eksklusif hanya akan menemui perlawanan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Deklarasi Liga Super Eropa pada 18 Aril 2021 oleh 12 klub top dari Inggris, Italia, dan Spanyol langsung memicu kontroversi. Liga yang diklaim akan menghidupkan kembali industri sepak bola yang terpuruk karena pandemi Covid-19 ini dikecam banyak pihak, mulai dari otoritas sepak bola, pemerintah negara, pelatih dan pemain, hingga kelompok penggemar. Terutama karena format yang tertutup dan dinilai hanya menguntungkan klub pendiri.
Sebanyak 15 klub—12 klub pendiri dan 3 klub lain—akan selalu tampil setiap musim, tanpa memedulikan hasil kompetisi, ditambah lima klub lain bergantian berdasarkan penampilan di musim sebelumnya. Sedikitnya 200 juta euro langsung diterima setiap klub begitu kompetisi berjalan. Bagi klub seperti Barcelona dan Real Madrid yang menderita kerugian sekitar 1 miliar euro musim lalu, dukungan dana dari perusahaan investasi global JP Morgan sebagai sponsor itu sangat berguna membayar gaji pemain bintang yang selangit.
Format tertutup, tanpa promosi-degradasi ini, bukan hal baru di dunia olahraga. Liga bola basket terpopuler, NBA, sejak lama menggunakan format ini. Jumlah tim terus bertambah seiring ekspansi liga dan saat ini berjumlah 30 tim. Format serupa digunakan tiga liga utama Amerika Serikat-Kanada, yakni sepak bola (MLS), bisbol (MLB), dan hoki (NHL).
Tanpa promosi-degradasi, klub baru bisa bergabung dengan membayar semacam uang waralaba. Langkah itu membuat kekuatan tim setara dilakukan dengan memberi kesempatan tim terbawah pada kompetisi sebelumnya untuk memilih pemain baru (rookie) terbaik lewat sistem draf.
Bukan olahraga namanya jika tidak ada relasi antara usaha dan keberhasilan. Bukan olahraga jika kesuksesan itu sudah dijamin atau kekalahan tidak lagi menjadi masalah.
Adapun sepak bola sebagai olahraga terpopuler di dunia telah sekian lama menerapkan kompetisi dengan sistem promosi-degradasi. Prestasi akan menaikkan citra dan keuntungan tim dan hasil buruk berarti sebaliknya. Pemain dari tim kecil bisa bermimpi, suatu saat bertanding melawan bintang seperti Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi. Hal ini sulit terjadi jika Liga Super Eropa yang eksklusif terbentuk.
Meskipun sejumlah klub pendiri belakangan mulai menarik diri, sesungguhnya prakarsa pembentukan Liga Super Eropa cukup menarik sebagai wacana tanding bagi UEFA. Hal ini bisa menjadi kritik bagi sistem kompetisi di bawah UEFA dan pada upaya menghidupkan kembali industri sepak bola.
Namun, popularitas sepak bola yang tumbuh sebagai olahraga dengan penggemar terbanyak di dunia justru terjadi karena menghidupi sportivitas olahraga. Hal yang dengan tepat disampaikan oleh Pep Guardiola, Manajer Manchester City, salah satu klub pendiri, yang justru tak sependapat dengan pembentukan liga ini.
”Bukan olahraga namanya jika tidak ada relasi antara usaha dan keberhasilan. Bukan olahraga jika kesuksesan itu sudah dijamin atau kekalahan tidak lagi menjadi masalah,” ujar salah satu manajer sepak bola tersukses dalam sejarah itu.