Liga Super, Pengkhianatan Agnelli untuk Sang ”Godfather”
Liga Super Eropa telah menjungkirbalikkan segalanya. Sahabat kini menjadi musuh, sementara lawan pun menjadi kawan. Pandemi mengakselerasi ide kompetisi tandingan Liga Champions yang digagas Real Madrid sejak lama itu.
Dalam politik, tiada hubungan yang abadi. Sahabat bisa menjadi musuh, begitupun sebaliknya. Dalam kancah olahraga, polemik Liga Super Eropa (ESL) menjadi cerminan adagium itu. Presiden UEFA Aleksander Ceferin merasakan ”pengkhianatan” itu dari sahabatnya sendiri, Andrea Agnelli, yang adalah Presiden Juventus.
”Dia (Agnelli) seperti ular. Saya belum pernah melihat orang berbohong sebanyak dan sekonsisten dirinya,” ujar Ceferin, bos sepak bola Eropa yang merasa ditusuk dari belakang oleh Agnelli, dalam pernyataannya, Senin (19/4/2021).
Bagi Ceferin, pengacara sukses yang lantas memimpin UEFA, Agnelli bukan sekadar mitra atau rekan kerjanya. Agnelli, yang sempat memimpin Asosiasi Klub Eropa (ECA), dianggap sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Begitupun sebaliknya bagi Agnelli, pewaris dinasti industri mobil dan sepak bola di Turin, Italia. Selain klub sepak bola Juventus, keluarga Agnelli menguasai saham produsen mobil terkemuka dunia, Fiat (di dalamnya termasuk Ferrari).
Koran terkemuka Amerika Serikat, The New York Times, memberitakan,Ceferin pernah ditawari Agnelli untuk mengurusi perkara legal pemisahan perusahaan (spin off) Ferrari dari induknya, Fiat. Tak hanya itu, Ceferin juga diminta Agnelli menjadi godfather alias ayah baptis dari putrinya yang berusia enam bulan, 2011. ”Dia (Agnelli) adalah penyesalan terbesar saya,” ujar Ceferin kesal.
Baca juga: Isu Liga Super Memanas, Chelsea dan Real Terancam Dicoret
Wajar Ceferin kesal. Agnelli adalah salah satu pendukung Ceferin alias tim sukses saat ia terpilih sebagai Presiden UEFA, September 2016. Sebagai dua tokoh pemimpin dalam sepak bola di Eropa, keduanya dahulu kerap sejalan seirama dalam upaya mereformasi sepak bola Eropa agar lebih modern dan berkesinambungan.
Misi reformasi
Salah satu upaya mereka adalah mereformasi kompetisi antarklub Eropa, khususnya Liga Champions yang selama ini menjadi kebanggaan UEFA. Pada 8 Maret lalu, Agnelli—yang mewakili ECA—sempat menyetujui ide UEFA untuk mengubah format Liga Champions. Awalnya, disepakati bahwa mulai 2024, kompetisi antarklub paling bergengsi sejagat itu akan diperluas, yaitu diikuti 36 tim (bukan lagi 32 tim seperti saat ini).
Format Liga Champions pun bakal diubah drastis, khususnya di penyisihan grup. Alih-alih dibagi ke dalam delapan grup seperti saat ini (dipakai sejak 1992), tidak ada pembagian grup dalam format baru 2024 itu. Hal itu memungkinkan setiap tim berlaga lebih banyak, yaitu minimal 10 laga selama penyisihan awal. Pemasukan yang diperoleh pun semakin meningkat. Delapan klub teratas lantas berhak ke perempat final.
Pada 2018, Der Spiegel dan jaringan investigasinya—European Investigative Collaborations—sempat mengendus ide pembentukan Liga Super pada 2021 atau tepat berakhirnya format dan pembagian keuntungan Liga Champions.
Penentuan tim-tim yang lolos ke liga itu pun dilakukan terbuka, menggunakan posisi finis di liga domestik plus dua wild card. Jalur khusus atau wild card itu diberikan bagi tim-tim yang jeblok di liga domestik tetapi memiliki koefisien (kiprah penampilan) tinggi di kompetisi Eropa. Maka, jika aturan itu diterapkan saat ini, Liverpool tetap bisa lolos ke Liga Champions musim depan meskipun mereka gagal finis di posisi empat besar Liga Inggris.
”Jika kita semua berkomitmen ke rancangan kompetisi masa depan ini, otomatis itu membuat (wacana ESL) hilang sendirinya,” ujar Agnelli saat masih menjabat Presiden ECA, 8 Maret lalu.
Celakanya, sebelum format baru Liga Champions itu disahkan UEFA, Senin (19/4/2021), 12 klub elite, seperti Juventus, Real Madrid, Barcelona, dan Real Madrid, lebih dulu mendeklarasikan rencana pembentukan ESL. Secara serentak, pada Minggu (18/4/2021) malam, seluruh laman resmi ke-12 klub itu menyampaikan siaran pers tentang ESL itu. Juventus menjadi klub pertama di Italia yang mengumumkan hal itu.
Pengumuman itu diikuti mundurnya Agnelli sebagai Presiden ECA. Ia memilih mengisi jabatan sebagai Wakil Presiden ESL bersama Ed Woodward, bos Manchester United. Adapun posisi Presiden ESL dipegang Florentino Perez yang juga Presiden Real Madrid. Padahal, hingga 8 Maret lalu, Agnelli menolak membahas soal ESL.
Baca juga: Liga Super Eropa, Ide 12 Klub yang Menuai Kontroversi
Investigasi ”Der Spiegel”
Pada 2018, ketika gagasan ESL sempat pertama kali muncul ke publik, Agnelli pun menyatakan tegas, Juventus tidak akan ambil bagian dari kompetisi ”pemberontakan” itu. Padahal, saat itu, Der Spiegel dan jaringan investigasinya—European Investigative Collaborations—sempat mengendus ide pembentukan Liga Super pada 2021 atau tepat berakhirnya format dan pembagian keuntungan Liga Champions.
Kala itu, Der Spiegel mengungkap, baru 11 klub yang akan ikut serta dalam Liga Super itu. Juventus disebut-sebut sebagai salah satu dari 11 klub itu walaupun Agnelli sempat membantahnya keras. ”Kami sepenuhnya terikat dan tunduk dengan UEFA dalam upaya membentuk kompetisi ke depan,” ujar Agnelli ketika itu.
Ceferin pun pada 2018 itu sangat percaya diri. Ia yakin, ESL yang berupa kompetisi tertutup (tanpa promosi degradasi) tidak akan terbentuk. ”Liga Super hanya ada dalam kisah fiksi atau mimpi,” tegasnya saat itu.
Maka dari itu, merunut kronologi itu, lahirnya ESL bukanlah kebetulan. Munculnya kompetisi tandingan Liga Champions itu telah didesain sejak lama. Real Madrid, menurut laporan investigasi Der Spiegel, adalah think thank dari ide lahirnya kompetisi yang konsepnya menyerupai NBA dan Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat itu. Sejak 2018, Real dilaporkan telah menyusun konsep ESL bersama konsultan investasi asal Spanyol, Key Capital Partners.
Industri sepak bola ini telah mengalami kerugian total 6,5 miliar hingga 8 miliar euro selama dua tahun terakhir akibat pandemi. Sebanyak 360 klub membutuhkan suntikan dana segar. Tanpa itu, industri ini akan mati. (Andrea Agnelli)
Awalnya, sejumlah pihak menilai, konsep Liga Super yang telah dimunculkan sejak lama itu hanyalah sekadar upaya klub-klub elite di Eropa menaikkan posisi tawarnya kepada UEFA jelang pembahasan konsep dan distribusi keuntungan Liga Champions pada tahun ini. Mereka menuntut bagian keuntungan, seperti hak siar, yang lebih tinggi dari klub-klub peserta lainnya.
Misi ”survival”
Namun, pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Mereka menjadikan pandemi alibi untuk bertahan hidup atas nama kompetisi yang lebih menguntungkan secara finansial. Kebetulan pula, perusahaan investasi global, JP Morgan, bersedia menjadi pemodal di balik ide kompetisi baru itu. JP Morgan telah berjanji mengucurkan dana awal, total senilai 3,5 miliar euro atau Rp 61 triliun, yang dibagikan ke 15 klub pendiri (kini baru ada 12 klub pendiri) saat bergabung ke ESL.
Dengan demikian, setiap klub peserta, termasuk Real Madrid dan Juventus yang kini tengah kesulitan keuangan akibat pandemi Covid-19, bisa mendapatkan uang cuma-cuma senilai Rp 4 triliun hanya dengan bergabung ke ESL. Selain itu, JP Morgan juga menjanjikan kucuran dana tambahan senilai 10 miliar euro atau Rp 175 triliun yang dinamai "pembayaran solidaritas" seiring begulirnya liga itu nantinya.
Nilai itu jauh lebih besar yang diterima mereka dari tampil di Liga Champions. Kucuran dana segar itu pun bisa membantu menolong sejumlah klub raksasa, seperti Barcelona yang tengah terbelit utang hingga 1 miliar euro akibat krisis selama pandemi. Dikutip Football Espana, Januari lalu, Barca terancam bangkrut jika tidak mendapatkan suntikan dana segar guna melunasi utang tersebut.
Dalam situasi sulit itu, klub sepeerti Barca dan Real berpotensi kehilangan para pemain bintangnya yang kini gajinya telah dipangkas. Mereka pun bakal sulit merekrut pemain-pemain bintang baru. Kemungkinan terburuknya, mereka bisa terdegradasi akibat dinyatakan bangkrut dan kehilangan seluruh kekuatannya yang selama ini membuat nama mereka begitu besar.
Maka, pandemi menjadi justifikasi para klub elite Eropa, seperti Real yang merugi Rp 15 triliun selama pandemi, untuk mendapatkan kucuran dana besar dalam waktu sulit saat ini.
Dalam situasi sulit, teori survival alias siapa yang kuat dia yang bertahan hidup pun berlaku. Atas nama survival, ke-12 klub elite Eropa—yang menegaskan akan ikut ESL—rela memisahkan diri dari komunitasnya sebagai keluarga besar sepak bola Eropa. Itu pilihan sulit mereka demi menyelamatkan dirinya sendiri.
Baca juga: Liga Super Membelah Eropa
”Industri sepak bola ini telah mengalami kerugian total 6,5 miliar hingga 8 miliar euro selama dua tahun terakhir akibat pandemi. Sebanyak 360 klub membutuhkan suntikan dana segar. Tanpa itu, industri ini akan mati,” ujar Agnelli kemudian.
Maka, suka tidak suka, sepak bola (khususnya klub) adalah entitas bisnis, bahkan politis. Tak heran, klub-klub yang selama ini saling berseberangan secara filosofis dan persaingan—seperti Liverpool dengan MU dan Real Madrid dengan Barcelona—kompak bersatu mendirikan ESL. Atas nama survival, mereka kompak merapikan barisan untuk melawan pihak yang berseberangan, tidak terkecuali para fans setianya. (AP/AFP/REUTERS)