Kasus mundurnya para wakil Indonesia di All England 2021 bukanlah persoalan diskriminasi panitia ataupun BWF. Esensi dari kasus itu adalah lahirnya peraturan-peraturan baru, akibat pandemi, yang perlu dicermati peserta.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Adaptasi menjadi kata kunci menyelenggarakan dan mengikuti ajang olahraga, terutama berkategori internasional, di masa pandemi Covid-19. Daftar pekerjaan penyelenggara bertambah panjang, begitu pun dengan persiapan peserta kompetisi.
Itulah gambaran dari masalah diharuskan mundurnya tim Indonesia dari All England 2021 saat persaingan tengah berlangsung di Arena Utilita, Birmingham, 17-21 Maret. Skuad ”Merah Putih” dikejutkan surat elektronik dari Badan Layanan Kesehatan (NHS) Inggris, Rabu (17/3/2021), yang mengharuskan mereka segera melakukan isolasi mandiri selama 10 hari di hotel masing-masing.
NHS menyebutkan, skuad Indonesia dikategorikan memiliki kontak dekat dengan penumpang pesawat yang terkonfirmasi Covid-19. Itu terjadi dalam pesawat yang mereka gunakan dari Istanbul, Turki, ke Birmingham. Adapun tim Indonesia tiba di Birmingham, Sabtu (13/3).
Saat ini, sebanyak 24 anggota tim Indonesia, 12 di antaranya pemain, menjalani isolasi mandiri di hotel resmi peserta hingga 23 Maret. Biaya isolasi ditanggung peserta, termasuk Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan yang mengeluarkan biaya sendiri karena berstatus pemain profesional.
”Saya belum menghitung, tetapi biaya yang harus saya keluarkan selama di sini sekitar Rp 50 juta karena karantina atas biaya sendiri,” kata Hendra, Jumat.
Selain hotel, dia harus mengeluarkan biaya untuk makan siang dan malam dengan membelinya di hotel. ”Tapi, kalau kemarin, makan dibantu oleh KBRI (Kedutaan Besar RI di Inggris),” ujarnya.
Rasa kecewa pun tidak terelakkan. Diwajibkan mundurnya tim ”Merah Putih” dari turnamen itu memunculkan anggapan mereka mendapat perlakuan diskriminatif.
"Kompas" lantas bertanya ke Manajer Tim Indonesia di All England, Ricky Soebagdja, tentang pengetahuan tim soal informasi protokol tersebut. Namun, ia tidak menjawab.
Patuhi aturan
Namun, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain mematuhi peraturan NHS. Pada masa pandemi, pedoman penyelenggaraan ajang olahraga didasarkan pada peraturan dan protokol kesehatan masing-masing negara. Hal itu pula yang diberlakukan Asosiasi Bulu Tangkis Inggris (Badminton England/BE) sebagai penyelenggara All England dan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), pemilik turnamen BWF World Tour.
Informasi yang disampaikan NHS pada kontingen Indonesia sebenarnya terdapat dalam ”Protokol Keamanan dan Prosedur Operasional All England 2021” yang ditandatangani Direktur Kejuaraan All England Chris Miller.
Pada salah satu daftar informasi kunci disebutkan, bepergian dengan pesawat dianggap sebagai kontak dekat bagi semua penumpangnya. Ini berlaku untuk penerbangan jarak pendek dan jauh.
Selanjutnya, mengenai kasus hasil tes positif yang tercantum dalam poin 2.6 protokol itu dijelaskan, salah satu yang dikategorikan sebagai kontak dekat adalah mereka yang melakukan perjalanan dalam satu kendaraan atau pesawat. Protokol ini mewajibkan isolasi mandiri selama 10 hari saat kasus itu terjadi. Konsekuensinya, peserta harus mundur karena tidak bisa melanjutkan turnamen.
Kompas lantas bertanya ke Manajer Tim Indonesia di All England, Ricky Soebagdja, tentang pengetahuan tim soal informasi protokol tersebut. Namun, ia tidak menjawab.
Kontak dekat
Pemerintah Inggris sebenarnya memberlakukan peraturan isolasi 10 hari bagi para pendatang internasional. Tetapi, seperti disebutkan dalam prospektus All England 2021, yang dirilis dalam situs BWF, status atlet elite internasional dikecualikan dari aturan itu, dengan syarat hanya beraktivitas di hotel, arena laga, serta tidak dinilai sebagai kontak dekat dengan terinfeksi virus korona baru. Panitia pun hanya mewajibkan peserta tiba paling lambat pada tiga hari sebelum turnamen digelar.
Pandemi membuat panggung olahraga menjadi lebih rumit dengan lahirnya berbagai peraturan baru. Semua pihak pun dituntut beradaptasi.
Inilah yang kemudian menjadi celah munculnya kasus yang menimpa tim Indonesia. Jeda jadwal kedatangan tim dengan dimulainya turnamen terlalu pendek, sehingga tim tak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan isolasi saat ada kejadian di luar dugaan. Setelah dinyatakan sebagai kontak dekat, kontingen Indonesia pun belum mendapatkan tes usap kedua Covid-19.
Situasi itu berbeda dengan kewajiban datang sepekan sebelum turnamen serupa di Thailand, Januari lalu. Peserta turnamen tenis Grand Slam Australia Terbuka, Februari lalu, bahkan diwajibkan tiba tiga pekan sebelumnya. Tanpa adanya kewajiban dari panitia All England untuk tiba jauh lebih awal sebelum turnamen, maka tidak semua tim akan melakukan hal itu.
Peraturan tersebut memang tak memungkinkan atlet mengikuti turnamen dalam beberapa pekan beruntun, kecuali jika panitia menyelenggarakannya dalam ”gelembung” terkontrol.
Hal itu dilakukan Asosiasi Bulu Tangkis Thailand (BAT) untuk tiga turnamen di ”gelembung” Bangkok. Asosiasi Tenis Australia (TA) melakukannya dengan menyelenggarakan enam turnamen pemanasan di Melbourne Park, tempat yang sama untuk gelaran Australia Terbuka.
Beberapa turnamen jelang Grand Slam pada awal musim itu biasanya digelar di kota lain, seperti Sydney, Perth, dan Brisbane. Namun, tahun ini berubah karena pemerintah menutup perbatasan antarnegara bagian.
Memilih tempat dan membentuknya menjadi habitat terkontrol menjadi tugas baru penyelenggara kompetisi olahraga di tengah pandemi, selain mengatur jadwal kedatangan, arus pergerakan partisipan, menggelar tes Covid-19, dan membuat daftar antisipasi kejadian-kejadian tak terduga. Semua itu mengacu pada pedoman NHS dan pemerintah setempat.
Di sisi peserta, lebih selektif dalam memilih kompetisi dengan alasan personal atau untuk kepentingan negara bisa menjadi opsi. Petenis top, seperti Rafael Nadal, Ashleigh Barty, dan Simona Halep, misalnya, absen dalam Grand Slam Amerika Serikat Terbuka 2020 lalu karena merasa tak aman untuk datang ke New York.
Pahami informasi
Maka, persiapan peserta kejuaraan juga bertambah dengan kegiatan-kegiatan nonteknis, di antaranya tes usap dan mempelajari peraturan terkait Covid-19 yang berlaku di setiap negara. Bagi atlet yang berkompetisi di bawah tanggung jawab induk organisasi olahraga, seperti tim nasional bulu tangkis Indonesia, mencari dan memahami informasi seyogyanya menjadi tugas pengurus.
Tak dimungkiri, pandemi membuat panggung olahraga menjadi lebih rumit dengan lahirnya berbagai peraturan baru. Semua pihak pun dituntut beradaptasi. Semoga kasus yang menimpa tim Indonesia di All England tidak terulang.