Kasus dipaksa mundurnya tim bulu tangkis Indonesia dari All England patut menjadi pelajaran berharga panitia maupun otoritas di Tanah Air. Langkah korektif diperlukan guna mencegah terulangnya kejadian serupa ke depan.
Oleh
KELVIN HIANUSA DAN ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Berbagai pihak, baik itu panitia penyelenggara, Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), dan otoritas di Tanah Air, diminta mengoreksi diri terkait kasus dipaksa mundurnya tim Indonesia dari All England 2021. Tanpa upaya perbaikan, kasus itu bisa menjadi preseden buruk penyelenggaraan kegiatan olahraga di masa pandemi.
”Seharusnya, mereka (panitia All England) menekankan ke para peserta agar datang 10 hari sebelum kejuaraan. Tujuannya, meminimalisir risiko gagal tampilnya peserta akibat berada di satu pesawat dengan orang positif Covid-19. Kebetulan, ini hanya terjadi pada (wakil) Indonesia. Bagaimana jika itu terjadi ke semua negara kuat? Bisa bubar All England,” tutur Presiden Bulu Tangkis Asia (BAC) Anton Aditya Subowo saat dihubungi Jumat (19/3/2021).
Diberitakan sebelumnya, para pebulu-tangkis Indonesia harus mundur dari All England 2021 akibat berada satu pesawat dengan orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dalam penerbangan dari Istanbul, Turki, ke Birmingham, Inggris. Sesuai ketentuan Badan Layanan Kesehatan (NHS) Inggris, tim Indonesia lantas diwajibkan menjalani isolasi mandiri 10 hari.
Kewajiban serupa, seperti dikonfirmasi BWF, Kamis malam, juga telah dijalani Neslihan Yigit, atlet Turki yang satu pesawat dengan tim Indonesia dalam penerbangan transit itu.
”Seluruh pemain Indonesia dan Yigit diwajibkan menjalani isolasi mandiri. (Asosiasi) Badminton Inggris (panitia All England) telah berupaya keras agar mereka dikecualikan. Namun, itu tidak bisa karena ada aturan Pemerintah Inggris,” bunyi keterangan resmi BWF.
Meskipun demikian, ungkap Anton, panitia All England maupun BWF semestinya memperkecil risiko gagal tampilnya peserta untuk menyesuaikan protokol Covid-19 yang berlaku. Langkah itu, misalnya, telah dilakukan BAC dan panitia lokal saat menggelar tiga turnamen beruntun di Thailand. Peserta diwajibkan tiba paling lambat sepekan jelang turnamen itu.
Maka, para peserta masih bisa mengikuti turnamen walaupun diwajibkan mengikuti isolasi mandiri atau karantina saat tiba di negara terkait. ”Aturan BWF harus diperbaiki, dimodifikasi. Regulasi negara tuan rumah hal terpenting. Namun, risiko tidak bisa bermain karena regulasi itu harus diminimalisir, bahkan dihilangkan,” ujarnya.
Selain panitia, peserta turnamen, dalam hal ini Indonesia, juga perlu mengoreksi diri guna mencegah terulangnya kejadian serupa. Evaluasi itu antara lain mempelajari saksama protokol kesehatan di negara tujuan dan memakai pesawat carter untuk meminimalisir risiko terjangkit Covid-19 di perjalanan.
Pesawat sewa
Pemakaian pesawat sewa itu pernah dilakukan tim Indonesia saat tampil di Thailand, awal 2021 lalu. ”Pesawat sewa adalah cara terbaik. Opsi lainnya, tim harus tahu betul regulasi negara yang dituju sehingga bisa antisipasi jadwal kedatangan. Jadi, agar punya waktu jika terpaksa harus isolasi seperti kasus kemarin,” kata pengamat olahraga nasional, Prof Djoko Pekik Irianto.
Menyikapi peristiwa itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) Agung Firman Sampurna berjanji akan melakukan upaya mitigasi agar kejadian serupa tak terulang kembali. Mitigasi itu salah satunya menyewa pesawat untuk membawa tim.
Aturan BWF harus diperbaiki, dimodifikasi. Regulasi negara tuan rumah hal terpenting. Namun, risiko tidak bisa bermain karena regulasi itu harus diminimalisir, bahkan dihilangkan. (Anton Aditya Subowo)
Namun, opsi itu tidak mudah karena berimplikasi pada biaya. Sebagai contoh, saat terbang ke Thailand, PBSI menghabiskan biaya sekitar Rp 460 juta untuk sewa pesawat. Jumlah itu lebih mahal Rp 60 juta dibandingkan pesawat komersial.
”Ya, maka dipilih penerbangan komersial biasa (ke All England). Kami tidak ingin jor-joran (boros). Apabila situasi masih seperti di Thailand, saat belum divaksin, kami mungkin akan pilih opsi sewa pesawat juga,” ujar Kepala Bidang Humas dan Media PP PBSI Broto Happy.
Sementara itu, dari Birmingham dikabarkan, tim Indonesia ingin segera kembali ke Tanah Air tanpa perlu menjalani isolasi 10 hari. Mereka telah ikhlas tidak bisa melanjutkan penampilan di All England 2021.
”Atlet minta pulang secepat mungkin guna persiapan ke ajang-ajang sebelum Olimpiade (Tokyo). Hanya itu permintaannya. Saat kembali (ke Indonesia), kami pun harus menjalani karantina lagi. Itu tentu akan kian memberatkan atlet,” ujar Manajer Tim Bulu Tangkis Indonesia Ricky Soebagdja dalam konferensi pers virtual bersama Duta Besar RI untuk Indonesia, Desra Percaya.
Ricky pun berharap BWF tidak menyertakan poin dari All England dalam perhitungan kualifikasi Olimpiade Tokyo. ”Seharusnya, poin (dari All England) nanti tidak berlaku,” ujar mantan pebulu-tangkis nasional itu.
Terkait hal ini, dalam Regulasi Sistem Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 yang direvisi BWF pada 25 Februari, All England 2021 memang tidak termasuk turnamen kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Hanya tersisa 20 turnamen dan tiga kejuaraan kontinental (Asia, Eropa, dan Amerika), jika bisa diselenggarakan pada periode 4 Januari-13 Juni 2021, yang termasuk turnamen kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.
Sementara Desra berupaya agar tim Indonesia bisa pulang tanpa perlu menanti hingga 23 Maret. Upaya itu sudah disetujui secara verbal oleh Direktur Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Inggris Sarah Cook dan NHS. ”Saya sedang mengejar jaminan tertulis. Jangan sampai nanti tertahan ketika keluar hotel karena tidak ada pernyataan tertulis,” ucapnya.
Adapun Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda berkata, kasus All England menjadi preseden buruk bagi olahraga. ”Kami akan segera (menggelar) rapat agar tahu duduk perkaranya. Apakah keteledoran panitia lokal atau ada kontribusi kelalaian PBSI,” ucapnya.