Dilema Penggunaan Pesawat Carter dalam Kasus All England
PBSI memilih menggunakan pesawat komersial dalam All England karena menilai kondisi pandemi sudah lebih aman. Selain itu, pesawat komersial jauh lebih efisien dari sisi biaya. Namun, keputusan itu berujung masalah.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terlepas dari sorotan atas panitia All England dan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), Indonesia sebenarnya bisa menghindari masalah terdepaknya tim dari turnamen bergengsi itu. Tim kemungkinan akan lebih aman jika memakai pesawat carter seperti ketika menuju Thailand Terbuka. Namun, pertimbangan kondisi dan efisiensi biaya membuat PBSI memilih penggunaan pesawat komersial.
Hal yang membuat kontingen Indonesia dipaksa mundur adalah berada dalam pesawat komersial yang sama dengan salah satu penumpang positif Covid-19. Pesawat komersial Turkish Airlines digunakan dalam perjalanan tim dari Jakarta menuju London, Inggris, yang sempat transit di Istanbul, Turki.
Akibat itu, Badan Layanan Kesehatan Inggris (NHS) mengharuskan anggota tim menjalani isolasi mandiri selama 10 hari yang berujung pada keputusan BWF untuk memaksa mundur kontingen Indonesia. Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika tim Merah Putih berangkat menggunakan pesawat carter (sewa) seperti ketika berangkat menuju Thailand, Januari 2021.
Kepala Bidang Humas dan Media Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) Broto Happy mengatakan, kondisi tim Indonesia berbeda sebelum keberangkatan ke Thailand dan Inggris.
”Thailand, kan, dekat. Ketika itu, pandemi juga masih tinggi. Belum ada pemain yang divaksin. Jadi, tingkat kewaspadaan dan kekhawatiran tinggi. Selain itu, tidak ada juga jadwal yang cocok untuk terbang langsung. Semua mesti transit. Akhirnya, kita pertimbangkan menggunakan pesawat sewaan (ke Thailand),” kata Broto, Jumat (19/3/2021).
Tim Indonesia berjumlah 40 orang berangkat dari Jakarta menuju Bangkok dengan pesawaat sewaan Garuda Indonesia. Biaya keberangkatan itu sekitar Rp 460 juta, lebih mahal sekitar Rp 60 juta dibandingkan pesawat komersial.
Lebih efisien
Situasi pandemi, menurut Broto, lebih kondusif sebelum tim berangkat ke All England. Ditambah lagi, para atlet juga sudah divaksin dua kali sebagai bekal pencegahan. Karena itu, PBSI memilih penerbangan yang lebih efisien dalam hal biaya.
”Ya, dipilihlah penerbangan komersial biasa. Kalau masih di kondisi beberapa bulan lalu, seperti Thailand, mungkin opsi kami akan sewa pesawat juga. Kita enggak mau jor-joran (boros biaya),” katanya.
Pilihan lain, tim harus tahu betul regulasi negara yang dituju sehingga bisa antisipasi jadwal kedatangan. Itu agar punya waktu jika terpaksa harus isolasi seperti kasus kemarin.
Ke depannya, kasus ini akan juga menjadi bahan evaluasi di dalam PBSI. Mereka membuka kemungkinan menggunakan pesawaat carter di ajang-ajang selanjutnya. ”Nanti bisa jadi opsi tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Tentu akan menyesuaikan profil negara yang dituju,” pungkas Broto.
Pengamat olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta, Djoko Pekik Irianto, menilai, pesawat sewa merupakan cara terbaik menghindari kasus seperti di All England. Hanya saja, PBSI perlu menyiasati biaya yang tinggi, apalagi jika tim harus bertanding di Eropa.
”Pilihan lain, tim harus tahu betul regulasi negara yang dituju sehingga bisa antisipasi jadwal kedatangan. Itu agar punya waktu jika terpaksa harus isolasi seperti kasus kemarin,” kata Djoko.
Adapun panitia penyelenggara All England dan BWF sudah menyampaikan protokol kesehatan kepada pemain dan tim. Protokol itu salah satunya adalah pemain akan dikeluarkan dari kompetisi jika diharuskan menjalani isolasi mandiri selama 10 hari akibat kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19.
Aturan serupa diterapkan untuk pebulu tangkis putri asal Turki, Neslihan Yigit, yang juga kedapatan berada dalam satu pesawat dengan tim Indonesia dari Istanbul menuju Birmingham. Dalam siaran pers BWF, Kamis malam, ia dinyatakan mundur (walkover) dan telah diminta NHS untuk menjalani isolasi mandiri.
Kasus terdepaknya kontingen Indonesia di All England menyita perhatian Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda. Menurut dia, DPR akan segera menggelar rapat internal untuk membahas hal tersebut dalam waktu dekat. Setelah itu, mereka akan segera meminta klarifikasi dari PBSI.
”Kalau kita temukan kelalaian dari PBSI, kita akan meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban. Kita akan segera (menggelar) rapat untuk menyikapi preseden buruk ini supaya tahu duduk perkaranya, selain ketelodoran panitia lokal di Inggris, apakah ada kontribusi kelalaian PBSI,” ucapnya.