Leicester City tampil sangat cerdik ketika jauh dari rumah. Kecerdikan itu akan menjadi modal mereka saat bertandang ke Stadion Anfield untuk menantang juara bertahan, Liverpool.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LIVERPOOL, SABTU — Musim ini, Leicester City membuktikan, tidak perlu peluang banyak dan penguasaan bola dominan untuk menang. Mereka sempat memuncaki klasemen Liga Inggris dengan peluang terbuka yang bahkan lebih sedikit daripada tim-tim papan bawah. Kecerdikan, terutama ketika jauh dari rumah, menjadi rahasia kesuksesan ”Si Rubah” sejauh ini.
Kecerdikan itu akan menjadi modal Leicester saat bertamu ke markas angker milik Liverpool, Stadion Anfield, pada laga Liga Inggris, Senin (23/11/2020) dini hari WIB. Sejauh ini, dari empat laga tandang, ”Si Rubah” selalu membawa pulang tiga poin, termasuk atas dua raksasa, Manchester City dan Arsenal.
Tak pelak, mereka pun sempat memuncaki klasemen sementara Liga Inggris dengan koleksi 18 poin dari delapan laga. Menariknya, Leicester rata-rata hanya membuat 5,1 kali peluang gol lewat permainan terbuka. Angka itu lebih sedikit dibandingkan dengan tim-tim di zona degradasi, seperti Burnley dan West Bromwich Albion.
Namun, anehnya, Leicester menjadi salah satu tim tersubur dengan rata-rata 2,25 gol per laga. ”Membingungkan, bukan? Mereka melakukan berbagai cara, seperti mencoba dapat penalti. Keterampilan itu dimanfaatkan dengan baik di tengah penggunaan VAR (asisten wasit peninjau video),” ujar Lewis Jones, pengamat Liga Inggris di Sky Sports.
Hadiah penalti terbanyak
”Si Rubah” memang sangat cerdik di kotak penalti. Mereka adalah klub dengan hadiah penalti terbanyak di liga itu, yaitu sembilan kali. Delapan penalti di antaranya berbuah gol. Jumlah penalti itu sangat timpang ketimbang klub-klub lainnya. Liverpool, misalnya, hanya lima kali mendapat hadiah penalti. Padahal, mereka menempati peringkat kedua tim dengan hadiah penalti terbanyak, yaitu di bawah Leicester.
Dilihat dari perspektif lebih luas, penalti-penalti Leicester itu tidak jatuh dari langit. Semua itu bagian dari taktik Manajer Leicester City Brendan Rodgers. Menjelang kunjungan timnya ke Anfield, Rodgers mengakui, timnya memang bermain lebih pragmatis ketika bertandang.
Mereka sebisa mungkin bertahan di setengah lapangan sendiri. Ketika mendapat kesempatan menyerang, mereka akan memulai serangan kilat dan agresif menuju kotak penalti lawan. ”Tim ini sedang mengembangkan cara lain untuk menang,” ujar Rodgers yang pernah menangani Liverpool.
Serangan-serangan balik Leicester kerap membuat kepanikan di jantung pertahanan lawan. Kepanikan itu mampu dimanfaatkan striker cepat seperti Jamie Vardy dan gelandang yang lihai menahan bola, James Maddison. Mereka bisa mudah memancing pelanggaran lawan. Lebih dari separuh penalti mereka berasal dari aksi dramatis Vardy dan Maddison.
Kecerdikan mereka itu tampak saat memukul Manchester City, 5-2, di Stadion Etihad, September lalu. ”Si Rubah” hanya memegang 28 persen penguasaan bola. Namun, mereka menang telak dengan mendapatkan tiga kali hadiah penalti.
Ancaman bagi Liverpool
Sebanyak 75 persen dari total delapan gol penalti Leicester itu didapatkan saat berlaga di markas lawan. Fakta ini bisa menjadi ancaman bagi Liverpool.
Sebagai salah satu tim paling dominan, yaitu rata-rata 58,2 persen penguasaan bola, Liverpool akan menciptakan lubang besar di pertahanan. Gaya bermain yang sangat ofensif bisa menjadi bumerang ”Si Merah” menyusul absennya tiga pilar di lini belakang akibat cedera, yaitu Virgil van Dijk, Joe Gomez, dan Trent Alexander-Arnold.
Manajer Liverpool Juergen Klopp pun telah mewanti-wanti para pemainnya agar waspada dengan Vardy, salah satu pencetak gol terbanyak di Liga Inggris saat ini (delapan gol).
”Dia (Vardy) adalah ancaman bagi siapa pun. Dia bisa menggunakannya (kecepatan) dengan cerdas. Adalah tantangan untuk menjaganya,” katanya.
Selain masalah di lini belakang, Liverpool juga kehilangan penyerang andalannya, Mohamed Salah, dan kapten Jordan Henderson. Namun, kabar baiknya, Fabinho telah pulih dari cedera dan bisa mengisi kekosongan di posisi bek.
Pada 1981, Liverpoool dibekap Leicester di Anfield. Kekalahan itu menghentikan rekor 63 laga tak terkalahkan mereka di kandang.
Di sisi lain, perjalanan ke Anfield akan menjadi cermin realitas bagi Leicester. Meski efektif dalam delapan laga awal musim ini, mereka tidak bisa merebut kembali posisi puncak jika hanya mengharapkan hadiah penalti dari wasit dan bermain serba pragmatis.
”Deja vu” 1981
”Si Merah” sudah menanti Liecester dengan rekor 63 laga beruntun tanpa kekalahan di Anfield. Meski banyak pemain cedera, kualitas mereka masih jauh di atas Leicester. Klopp masih punya trisula mematikan, yaitu Sadio Mane, Roberto Firmino, dan Diogo Jota.
Namun, fakta kehebatan Liverpool di Anfield itu sekaligus bisa menghadirkan deja vu bagi mereka ataupun Leicester. Pada 1981, Liverpoool dibekap Leicester di Anfield. Kekalahan itu menghentikan rekor 63 laga tak terkalahkan mereka di kandang. Dengan demikian, sejarah pun bisa kembali terulang.
”Kami pergi ke mana pun untuk bisa mendapatkan hasil terbaik. Tidak peduli itu City atau Liverpool. Kami kini dalam performa terbaik dan akan menunjukkannya lagi di laga berikutnya,” ungkap bek sayap Leicester, Christian Fuchs, penuh tekad.
Sementara itu, pada laga Sabtu (21/11/2020) malam, Chelsea menang 2-0 atas Newcastle United di Stadion St James Park. Kemenangan itu membuat Chelsea merebut puncak klasemen sementara. (AP/REUTERS)