Rafael Nadal datang ke final Perancis Terbuka 2020 sebagai petenis yang tak diunggulkan menghadapi Novak Djokovic yang tahun ini nyaris tak terkalahkan. Namun, Nadal membuktikan dirinya adalah "raja" di Roland Garros.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
PARIS, MINGGU - Meski tiba di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, dengan membawa 12 gelar juara Perancis Terbuka, Rafael Nadal sebenarnya menjadi ”underdog” ketika berhadapan dengan Novak Djokovic pada laga final. Namun, Nadal bisa mengatasi kesulitan yang diberikan rival terberatnya itu, juga dari banyak situasi yang tak menguntungkannya sejak awal turnamen.
Dalam partai puncak, Minggu (11/10/2020), Nadal mengalahkan Djokovic, 6-0, 6-2, 7-5. Kemenangan tersebut membawanya pada berbagai statistik baru dalam buku rekornya sebagai petenis profesional, salah satunya menyamai prestasi Roger Federer dengan 20 gelar Grand Slam. Sementara itu, Djokovic bertahan dengan 17 gelar.
Tak kehilangan satu set pun dari tujuh laga dalam perjalanan untuk meraih trofi Coupe des Mousquetaires untuk ke-13 kalinya, Nadal menyamai prestasi yang dibuatnya pada Perancis Terbuka 2008, 2010, dan 2017. Prestasi itu juga membuatnya menjadi petenis dengan gelar terbanyak, 13 kali, dari satu turnamen. Sebelumnya, dia berbagi tempat dengan mantan petenis putri Amerika Serikat kelahiran Ceko, Martina Navratilova, yang meraih 12 gelar dari turnamen WTA Chicago.
Kemenangan atas Djokovic juga membawa Nadal pada kemenangan ke-100 dari 102 pertandingan di Roland Garros sejak debut pada 2005. Dia hanya kalah dari Federer dengan 102 kemenangan di Australia Terbuka dan 101 kemenangan di Wimbledon.
”Dengan situasi sulit di sini, kemenangan ini sangat berarti bagi saya. Saya tak terpikir untuk menyamai 20 gelar Roger (Federer) saat datang ke pertandingan, tetapi ini adalah turnamen yang sangat penting dalam hidup saya. Semuanya bisa dicapai berkat dukungan dari keluarga dan pelatih yang telah bersama saya melewati semua kesulitan termasuk ketika saya cedera,” tutur Nadal.
Tak menguntungkan
Meski menjadi petenis yang paling dominan di Roland Garros, hingga dijuluki ”Raja Lapangan Tanah Liat”, situasi tahun ini sebenarnya tak memihak pada Nadal. Sejak menjalani sesi latihan, dia menempatkan dirinya sebagai ”underdog”. Perancis Terbuka 2020 menghadirkan tantangan terbesar baginya.
Turnamen yang biasanya diselenggarakan pada musim panas di Perancis, kali ini berlangsung pada musim gugur. Persaingan pada level tertinggi di lapangan tanah liat itu mundur, dari 24 Mei-7 Juni menjadi 27 September-11 Oktober, karena pandemi Covid-19.
Dengan digelar saat suhu udara lebih rendah dan terkadang hujan, lapangan tanah liat menjadi lembab. Penggunaan bola yang lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya mempersulit kondisi bagi Nadal. Hal ini karena petenis Spanyol itu tak bisa mendapat dampak pukulan topspin yang sering menyulitkan lawan di tanah liat.
Kesulitan yang sering dihadirkan itu adalah putaran bola yang begitu kencang. Saat menerima bola dengan gerakan seperti itu, petenis harus memiliki genggaman raket yang solid. Jika tidak, bola pun cenderung tak bisa dikontrol.
Lapangan Roland Garros tahun ini memunculkan pantulan lebih rendah hingga memiliki kecocokan lebih tinggi bagi semua petenis. Ini juga cocok dengan Djokovic dengan karakter groundstroke cepat dan datar.
Sejak hari pertama turnamen, saya katakan padanya bahwa dia pernah menang dalam situasi yang menguntungkan, juga merugikan. Jadi, Rafa memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik.
Namun, berkat adaptasi yang dijalani selama latihan dan dari pertandingan ke pertandingan, Nadal memenangi laga puncak. Taktik Djokovic untuk mempersulit Nadal dengan kejutan dari pukulan-pukulan dropshot sejak awal permainan, bisa diantisipasi dengan baik.
Salah satu kunci kemenangan Nadal adalah minimnya jumlah kesalahan yang dilakukan, yaitu 14 unforced error, jauh lebih sedikit dari 52 kesalahan yang dibuat Djokovic. Pada set pertama, Nadal bahkan hanya membuat dua unforced error.
Selain mengiringi proses adaptasi dalam cara bermain, pelatih Nadal, Carlos Moya, harus menghilangkan keraguan Nadal, dengan memberi pandangan positif.
”Sejak hari pertama turnamen, saya katakan padanya bahwa dia pernah menang dalam situasi yang menguntungkan, juga merugikan. Jadi, Rafa memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik,” kata mantan petenis Spanyol tersebut.
Jauh hari sebelum berhadapan dengan kesulitan di Roland Garros, Nadal menjalani situasi pelik, yang juga dihadapi semua atlet di dunia, karena Covid-19. Pada satu masa, tenis bahkan tak menjadi prioritasnya.
Dalam masa tanpa keikutsertaan turnamen selama tujuh bulan, persiapan kembali ke kompetisi dilakukan perlahan. Nadal menjalani dua bulan setelah turnamen terakhirnya, ATP Acapulco, Meksiko, Febuari, tanpa tenis.
Prioritas
Tim pelatih membiarkannya memilih prioritas dan kembali ke lapangan tenis ketika merasa nyaman. Ada kalanya latihan hanya berlangsung lima menit, lalu satu jam, lalu tak ada latihan. Proses tersebut dilalui dengan rasa tak nyaman di tubuh setelah kehilangan rutinitas yang sistematis.
Nadal melewatkan rangkaian turnamen lapangan keras di Amerika Serikat, termasuk Grand Slam AS Terbuka, 31 Agustus-13 September, dan memilih bersiap untuk persaingan di tanah liat. Roma Masters, 14-21 September, menjadi turnamen pertamanya.
Namun, penampilannya tak sesuai keinginan. Dia kalah pada babak perempat final dari Diego Schwartzman. Kekalahan dari turnamen yang telah memberinya sembilan gelar itu sangat menyakitkan, namun disikapi dengan caranya sendiri yaitu langsung berlatih lagi.
Schwartzman membawa kepercayaan diri yang tinggi dari kemenangan di Roma ketika bertemu Nadal untuk kedua kalinya, dalam rentang 10 hari, pada semifinal di Roland Garros. Kali ini, dalam format pertandingan best of five sets, Nadal menang.
Baca juga: Schwartzman, "David" di Antara Para "Goliath" Tenis
”Rafa adalah Rafa. Setelah kalah di Roma, dia langsung latihan, memperbaiki semua kekurangan. Itulah mengapa dia bisa sampai ke final di Roland Garros. Anda harus bermain baik dan konsisten selama tiga, empat, atau lima jam yang menuntut kekuatan fisik dan mental untuk melawan Rafa di Grand Slam,” kata Schwartzman setelah semifinal.
Sementara itu, Nadal mengatakan, banyak kunci yang membuatnya konsisten bersaing di papan atas. Dia pun hanya tertawa ketika diminta hanya menyebut satu faktor. ”Kalau dipaksa hanya menyebut satu, saya akan menyebut hasrat,” katanya. (AP/AFP)