PSSI Bukan Hanya Timnas
Ketua Umum PSSI perlu menyusun langkah untuk memajukan sepak bola Indonesia dari segala aspek. Fokus untuk menghadapi Piala Dunia U-20 boleh saja diterapkan, tetapi akan dibawa ke mana sepak bola Indonesia setelah itu?
Ada tujuh pilar penopang sepak bola yang semuanya memiliki kesetaraan dan keterkaitan erat jika ingin menggapai sebuah keberhasilan, baik di dalam maupun luar lapangan, baik prestasi timnas maupun bisnis, atau istilah kerennya industri sepak bolanya maju.
Sebuah adagium yang pernah diembuskan Presiden Joko Widodo bahwa sepak bola tidak lepas dari hukum ekonomi. Di mana ada sepak bola, maka di sana ada pula kehidupan masyarakat yang bisa ditingkatkan. Salah satunya lewat industri sepak bolanya. Ketujuh pilar penopang sepak bola itu pertama kali dicetuskan oleh Ketua PSSI Kardono pada era tahun 1980-an.
Dengan filosofi kerja yang menggunakan ketujuh pilar tersebut sebagai landasan memajukan sepak bola, Kardono, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Militer (Sekmil) Presiden Soeharto, berhasil menghadirkan dua gelar SEA Games, serta timnas masuk semifinal Asian Games Seoul, Korsel 1988, dan lolos ke putaran final babak kualifikasi Piala Dunia 1986, Zona Asia Sub-Grup III B tahun 1985.
Fakta prestasi yang diraih kepengurusan Kardono sampai saat ini belum dilewati enam kepengurusan berikut sesudahnya, yaitu Azwar Anas, Agum Gumelar, Nurdin Halid, Djohar Arifin Husein, La Nyalla Matalitti, dan Edy Rahmayadi. Kini, Mochamad Iriawan atau Ibul masih seperempat perjalanan untuk membuktikan kinerjanya di cabang olahraga paling digandrungi di Tanah Air ini.
Apa saja ketujuh pilar penopang sepak bola ala Kardono tersebut? Pengurus, pemain, wasit, media, sponsor, penonton/masyarakat, dan pemerintah. Salah satu saja dari ketujuh pilar ini ditelantarkan, atau tidak ditangani sesuai prinsipnya, maka hampir dipastikan prestasi akan sulit diraih.
Namun, tulisan saya kali ini bukan mau membahas secara detail ketujuh pilar tersebut. Saya ingin menyorot bagaimana Ibul menerima mandat dan kuasa kongres tahun lalu untuk memimpin PSSI dengan baik. Apakah Ibul sudah dan sementara melangkah di jalur yang pas? Mari, kita tengok.
Skala prioritas
Sebagai pemegang kemudi sepak bola nasional, Ibul akan mengarahkan pelayaran kapal besar PSSI ke mana pun beliau inginkan. Mau dibawa berlabuh di pantai tanpa dermaga, mau dibawa sandar di sebuah dermaga yang kokoh nan indah, atau bahkan mau dibawa ke pantai dan pelabuhan penuh batu karang, ya Ibul yang putuskan.
Kapal PSSI masih seperempat perjalanan waktu dan sepertinya arah yang dituju belum jelas, apalagi mencari pelabuhan yang kokoh untuk bersandar? Semua ini masih dalam kabut yang tebal, bahkan para awak kapal pun (baca pengurus/Exco) tidak tahu persis tujuan akhir Ibul, sang nakhoda melayarkan kapalnya.
Baca juga : Pemerintah Intervensi PSSI?
Kurang dari sebulan lagi, setahun Ibul memimpin PSSI, tepatnya 2 November mendatang. Lalu, apa yang sudah menjadi trendsetter dari Ibul? Ataukah Ibul itu sendiri adalah trendsetter-nya? Wallahualam…!
Belum ada sesuatu yang baru dari kepengurusan PSSI saat ini. Yang ada hanya melakukan program rutinitas sebelumnya. Ya, mengurus timnas dan menjalankan kompetisi strata tertinggi, itu pun masih karut-marut.
Bagi pengurus, PSSI adalah timnas. Yang lainnya hanya pelengkap. Kompetisi profesional, pembinaan usia muda, peningkatan jumlah serta mutu wasit dan pelatih, perangkat pertandingan, sport science (SDM) hanyalah pelengkap penderita. Belum lagi bicara tentang infrastruktur termasuk pembangunan Sekretariat PSSI.
Katanya ada pengembangan pola permainan sepak bola Indonesia yang dikenal dengan filanesia. Namun, kenapa sudah berapa tahun ini berjalan sentra pembinaan filanesia belum memperlihatkan hasil menggembirakan? Atau pola pembinaan ala filanesia bakalan tidak pernah merasuk dalam pengembangan dan peningkatan prestasi timnas usia muda ke depan?
Baca juga : Sudahkan Shin Tae-yong Diberi Kewenangan Penuh?
Konsentrasi PSSI kini fokus pada timnas, terutama menatap pesta sepak bola dunia usia U-20 tahun depan, di mana kita sebagai tuan rumah. Wajar kalau PSSI habis-habisan saat ini mempesiapkan diri, terutama lewat Timnas U-19 yang kini berlatih di luar negeri di bawah pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong (STY).
Akan tetapi, sesudah Piala Dunia U-20 tahun depan, yang berakhir Juni 2021, apa yang akan menjadi program andalan PSSI kemudian?
Rekan wartawan senior, Erwiyantoro, dalam tulisan bebasnya pertengahan pekan ini, menyorot dengan tajam sejumlah ”dosa” PSSI. Dari 11 dosa PSSI itu, poin ketujuh menarik perhatian saya. ”Sampai hari ini, struktur organisasi yang pernah dilaporkan ke KONI Pusat belum disahkan dalam rapat Exco PSSI. Sehingga semua anggota yang sudah tercantum nama-namanya tidak bisa bekerja. Termasuk badan yustisi, dari Komite Disiplin, Banding, dan Etik semuanya digantung nasibnya”.
Saya lalu teringat, ada sebuah keputusan strategis lainnya yang diambil Ibul dan sudah disetujui Exco, tetapi tidak pernah berjalan dan terimplementasi dalam kinerja PSSI sampai hari ini. Keputusan itu, berupa dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) kepada Syarif Bastaman sebagai Direktur Tim Nasional pada Mei 2020. SK itu pun sampai hari ini belum dicabut.
Baca juga : Naturalisasi, antara Impian dan Kenyataan
”Itu betul Pak Yes, ada SK buat Pak Syarif sebagai Direktur Tim Nasional, tetapi kelanjutannya kami enggak tahu lagi,” kata salah seorang Exco.
Poin penting dari SK tersebut adalah memberikan kewenangan penuh kepada Direktur Tim Nasional untuk, antara lain, ”Mewakili PSSI dalam mengelola, melakukan pengawasan, mengevaluasi pelaksanaan kontrak penunjukan Shin Tae-yong dan tim, satu dan lain hal agar kinerja pelatih kepala tersebut dapat memberikan hasil yang maksimal bagi PSSI dan manakala diperlukan untuk melakukan renegosiasi kontrak sesuai kebutuhan PSSI dan kepentingan bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka membentuk Timnas U-20 yang tangguh dan dapat memberikan jaminan prestasi pada FIFA World Cup 2021 di Jakarta.”
Menurut sumber yang layak dipercaya, Syarif tidak diberi lagi kewenangan sesuai perintah SK tersebut karena adanya intervensi tangan-tangan kuat. Itu terjadi saat STY masih berada di Seoul, Korsel, Juli 2020. Juga karena ada pernyataan Syarif di media tentang ancaman pemecatan STY jika yang bersangkutan tidak mengikuti arahan PSSI untuk segera ke Jakarta. Ibul kemudian mengabaikan SK yang ditandatanganinya tersebut dan memberikan kuasa penuh kepada Direktur Teknik Tim Nasional Indra Syafri dalam mengawasi kinerja STY.
Kepercayaan dan reputasi
Gonjang-ganjing tentang jadi-tidaknya lanjutan Kompetisi Liga 1 dan 2 masih menjadi perbincangan hangat di kalangan komunitas sepak bola nasional maupun internal PSSI. Di dalam tubuh PSSI sendiri, ada dua kubu yang saling bertolak belakang untuk memutuskan apakah kompetisi dilanjutkan atau dihentikan.
Di sini, Ibul dituntut mengambil keputusan tepat yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan. Keputusan yang diambil sebaiknya mengutamakan kepercayaan dan reputasi Ibul sendiri ke depan. Jika salah mengambil keputusan, bukan tidak mungkin Ibul akan dimositidakpercayakan oleh anggota. Karena jangan lupa bahwa jika ada kekecewaan yang timbul di kalangan pihak klub yang mayoritas adalah voters tentang keputusan Ibul, otomatis hilanglah kepercayaan mereka terhadap Ibul.
Baca juga : Dukung dan Sukseskan Piala Dunia U-20
Keputusan Asprov PSSI Jawa Timur (Jatim) untuk menghentikan kompetisi Liga 3 tahun 2020, menurut saya, adalah langkah jitu dan tepat dalam kondisi pandemi Covid-19 ini. Sekaligus keputusan Ahmad Riyadh sebagai Ketua Asprov PSSI Jatim ini merespons kebijakan Menpora Zainudin Amali yang pekan lalu menegaskan mendukung keputusan PSSI menunda kompetisi Liga 1 dan 2.
Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.
Sekadar mengingatkan kembali bahwa Ibul tidak mungkin ”berjudi” dengan kepolisian dalam meyakinkan pihak klub untuk kelanjutan kompetisi. Rencana awal Oktober digelar kompetisi sudah gagal. Apakah Ibul mau mempertaruhkan reputasinya lagi dengan menjanjikan klub bahwa kompetisi akan bergulir di November? Bagaimana kalau kembali kepolisian tidak memberikan izin keramaian?
Saran saya, kompetisi sebaiknya dihentikan meski akibat dari keputusan itu ada yang menjadi korban. Namun, seperti pendapat umum, sebuah keputusan pasti tidak bisa menyenangkan semua pihak. Bagaimana Ibul…?