Ada Kejanggalan, Revisi UU MK Bisa Mengancam Hakim
Revisi UU MK diduga sarat kepentingan politis, antara lain untuk mengikat hakim agar patuh kepada lembaga pengusung.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diduga sengaja dilakukan demi kepentingan politis tertentu. Selain diduga dimaksudkan sebagai aturan yang dapat ”mengancam” para hakim, perubahan dalam sejumlah pasal juga diduga sengaja dilakukan demi menguntungkan tokoh hakim tertentu di MK.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 Mahfud MD mengatakan, dalam draf revisi UU MK, dalam Pasal 87 dinyatakan bahwa para hakim yang sudah menjabat selama lima tahun hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapatkan persetujuan dari institusi pengusung.
Aturan ini berbeda dan terasa lebih tegas dibandingkan aturan sebelumnya, di mana kelanjutan masa jabatan hakim MK cukup diputuskan melalui konfirmasi dengan lembaga pengusung.
”Saya menduga, ketegasan aturan dengan kewajiban mendapatkan persetujuan dari institusi pengusung inilah yang kemudian bisa menjadi sesuatu hal yang mengikat hakim, untuk tidak berlaku macam-macam, dan melakukan segala sesuatunya sesuai dengan skenario dari lembaga pengusung,” ujar Mahfud saat ditemui seusai acara peresmian Pusat Studi Agama dan Demokrasi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu (22/5/2024).
Dugaan itu sempat menguat sebelum Pemilu 2024, di mana mungkin, tekanan atau ancaman tersebut bisa terjadi saat para hakim MK menangani aduan atau sengketa terkait Pemilihan Presiden 2024.
Namun, sekalipun saat ini MK sudah tidak lagi menangani masalah terkait pilpres dan sebagian besar hakimnya tidak akan lagi bertugas pada Pilpres 2029, persetujuan dari pihak pengusung semestinya tidak lagi digunakan untuk menentukan masa jabatan hakim MK.
”Sesuai dengan aturan tata perundang-undangan, masa jabatan hakim MK seharusnya cukup berlangsung sesuai dengan masa jabatan yang sudah dituliskan dalam keppres (keputusan presiden) saja,” ujarnya.
Setelah melihat draf revisi UU MK, Mahfud pun terkejut karena melihat adanya perubahan pada masa pensiun hakim MK. Sebelumnya, usia pensiun hakim MK ditetapkan setelah 15 tahun menjabat atau saat yang bersangkutan menginjak usia 70 tahun. Di dalam dua hal ini, masa pensiun akan diputuskan tergantung mana yang akan lebih cepat dilalui, usia 70 tahun atau masa kerja 15 tahun.
Namun, dalam draf diketahui bahwa hakim MK akan berhenti bekerja saat menginjak usia 70 tahun. Dengan perubahan aturan ini, maka dipastikan salah satu hakim MK, Anwar Usman, yang merupakan saudara ipar Presiden Joko Widodo, akan menjalani masa jabatan lebih dari 15 tahun.
”Ketika dia menginjak usia pensiun 70 tahun, dia akan mendapatkan bonus hampir satu tahun dari ketentuan pensiun yang sebelumnya ditetapkan berlaku setelah 15 tahun menjabat sebagai hakim MK,” ujarnya.
Mahfud menuturkan, revisi UU MK ini sudah beberapa kali dilakukan. Revisi pertama diketahuinya pada tahun 2020 ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Sekalipun revisi sudah dinilainya janggal, ketika itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa karena apa yang tercantum dalam revisi sudah diputuskan sebelum dirinya menjadi menteri.
Dia pun kembali terkejut karena tahun 2022, usulan untuk merevisi UU MK kembali muncul. Ketika itu, dia sempat mengusulkan agar pembahasan terkait revisi UU MK tidak dilanjutkan. Namun, ternyata pembahasan terus berlanjut dan dia menduga revisi sudah diputuskan dan akan segera disahkan.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad enggan menjawab saat diminta tanggapan terkait desakan untuk segera menghentikan proses pengesahan RUU MK.
Dia hanya menegaskan bahwa dengan adanya pengesahan di tingkat pertama, DPR tinggal mengesahkan RUU MK dalam rapat paripurna.
Terkait dengan pembahasan di masa reses yang selama ini banyak dikecam dan dianggap melanggar aturan, Dasco membantah dan menyatakan pembahasan masih bisa dilakukan selama masih mendapatkan izin dari pimpinan DPR.