Puasa bisa jadi momentum mengubah pola makan lebih sehat dengan pangan lokal, seperti umbi-umbian, sagu, dan jagung.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Puasa menjadi momen tepat mengubah pola makan menjadi lebih sehat. Salah satu jembatannya adalah beralih ke sumber pangan lokal.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Ahli Gizi Kalimantan Tengah Ririn Noorhaisna Raffela mengatakan, puasa adalah saat ideal mengubah metabolisme tubuh. Momen ini sangat baik untuk mereka yang hendak mengubah pola makan atau diet sehat.
Ketika metabolisme berubah, lanjut Ririn, tubuh perlahan bakal terbiasa. Harapannya, kebiasaan itu bisa berlanjut seusai bulan puasa berlalu.
”Butuh 21 hari untuk mengubah kebiasaan dan 40 hari untuk menjadi gaya hidup,” kata Ririn di Palangkaraya, Rabu (27/3/2024).
Salah satu yang bisa dicoba adalah memulai mengonsumsi pangan lokal pengganti beras konvensional. Selain beras merah, sagu, umbi-umbian, dan jagung bisa jadi pilihan.
Dengan sendirinya, kita akan membatasi makan nasi putih dan menggantinya dengan pangan lokal yang ada di sekitar kita,” katanya.
Pola makan yang lebih sehat sejatinya bukan monopoli orang masa kini. Sejak lama, warga Kalteng sudah mempraktikkannya. Mereka memanfaatkan pangan lokal, bahkan pangan liar yang memiliki nilai gizi tinggi, untuk menjaga kondisi tubuh dan pikirannya.
Salah satu praktiknya masih terjadi di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas. Mantir atau perangkat adat Dayak di Kalumpang Sanyo mengatakan, setidaknya terdapat 16 jenis umbi yang dibudidayakan masyarakat di desanya.
Empat umbi lain, kata Sanyo, masih tumbuh liar di hutan. Salah satunya adalah gadung (Dioscorea hispida) atau yang disebut uwi baputih.
Menurut Sanyo, umbi-umbian itu biasa disantap untuk mengurangi konsumsi beras. Apalagi, di saat harga beras kian mahal, umbi-umbian bisa jadi pilihan.
”Kalau puasa ini, uwi (umbi) itu bisa jadi makanan buat buka sama teh atau kopi hangat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, untuk sayuran, selama ini dirinya dan semua warga kampung selalu memanfaatkan tumbuhan liar, seperti bajei atau pakis hijau dan kalakai atau pakis merah. Mereka juga mengonsumsi sayur dari singkah atau umbut, batang tanaman muda.
”Kalau (sayuran liar) itu sih sudah dari nenek moyang dulu, mau dia sudah kaya atau masih miskin, itu masih dimakan karena memang enak,” ungkapnya.
Tidak hanya enak, pangan lokal juga menyehatkan. Kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics (2016) menyebut, kandungan gizi kelakai di antaranya zat besi atau Fe (41,53 part per million/ppm) dan beta karoten (66,99 ppm) (Kompas, Kamis, 1 September 2022).
Nutrisi yang terkandung dalam kelakai adalah kalsium, protein, vitamin A, C, beta karoten, fosfor, zat besi, mangan, tanin, alkaloid, flavonoid, dan juga steroid (Norma dan Ermina, 2021).
”Mungkin itu orang-orang dulu (nenek moyang) hidupnya panjang karena makan makanan liar yang ada di hutan,” ujar Sanyo.