Delapan Prajurit TNI yang Diduga Menganiaya Warga Papua Ditahan
Delapan prajurit dari Yonif 300/Braja Wijaya, yang diduga melakukan penganiayaan terhadap warga Papua, ditahan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih mengakui kebenaran video prajurit TNI yang diduga menganiaya warga di Papua. Hal ini dipastikan setelah TNI melakukan investigasi terkait kasus ini. Para prajurit itu kini ditahan di kesatuannya.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel (Inf) Candra Kurniawan menyatakan, para prajurit dalam video tersebut berasal dari Yonif Raider 300/Braja Wijaya, bagian dari Kodam III/Siliwangi. Dengan begitu, dalam investigasi di lokasi kejadian, Kodam XVII/Cenderawasih berkoordinasi dengan Polisi Militer Kodam III/Siliwangi.
”Bukti-bukti awal, terdapat delapan prajurit yang diduga melakukan penganiayaan sehingga kini dilakukan penahanan oleh Pomdam III/Siliwangi untuk diproses hukum,” ujar Candra dalam keterangan persnya yang diterima Kompas di Jayapura, Papua, Senin (25/3/2024).
Hingga saat ini, lanjut Candra, pemeriksaan masih terus dilakukan. Tujuannya, melengkapi bukti-bukti adanya unsur pelanggaran hukum untuk ditingkatkan dalam proses penyidikan.
Sebelumnya, dalam video yang beredar sejak Kamis (21/3/2024), sekelompok orang dengan atribut TNI menganiaya warga laki-laki Papua. Di dalam drum berisi air, tangan warga itu diikat. Para pelaku lantas bergantian melayangkan pukulan, tendangan, serta serangan dengan benda tajam dan tumpul.
Diabaikan
Terkait ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti adanya pengabaian pendekatan kemanusiaan dalam penanganan konflik di Papua. Para pelaku bahkan mengeluarkan ujaran-ujaran rasisme kepada korban.
”Pernyataan-pernyataan petinggi TNI dan pejabat pemerintah lainnya soal pendekatan kemanusiaan ataupun kesejahteraan menjadi tidak ada artinya sama sekali. Diabaikan aparat di lapangan,” ucap Usman.
Ia menuturkan, dari berbagai sumber dan penelusuran, Amnesty International Indonesia menduga, penganiayaan dilakukan kepada tiga pemuda di Kabupaten Puncak, 3 Februari 2024. Korban sempat dibawa ke rumah sakit. Namun, salah satu di antaranya, korban yang berada dalam video, akhirnya meninggal.
”Tindakan itu bisa terulang. Selama ini tidak ada hukuman bagi yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” tuturnya.
Harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik orang asli papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri.
Dalam keterangannya, ia juga mengingatkan hak untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan, tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apa pun.
Dalam hukum nasional, larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur dalam konstitusi, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi atas United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apa pun.
”Harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik orang asli papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri,” kata Usman.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey menyatakan akan mengawal pengungkapan kasus ini. Penegakan hukum secara cepat, tepat, jujur, terbuka, dan adil sesuai prinsip HAM sehingga bisa menjawab keresahan masyarakat Papua.