Jalan Pengabdian Marbot Menjemput Kebahagiaan untuk Semua
Marbot adalah pekerjaan mulia. Meski upahnya tidak seberapa, pengabdian itu memberi bahagia bagi banyak orang.
Menjadi marbot diyakini sebagai pekerjaan mulia yang mendatangkan banyak pahala dan membawa kebahagiaan. Dalam memenuhi panggilan ini, mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta, serta memberikan kebahagiaan bagi jemaah yang beribadah di masjid.
Hal itu dirasakan Suriansyah (57), marbot atau kaum masjid, di Masjid Al-Amin, Banua Anyar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saat Kamis (21/3/2024) siang itu, ia menyapu karpet di dalam masjid itu, terutama pada bagian yang dirasakan agak berpasir.
”Di bulan Ramadhan, masjid memang harus lebih sering dibersihkan karena banyak yang datang ke masjid untuk beribadah dibandingkan dengan hari-hari biasa,” katanya.
Baca juga: Menempuh Jalan Mulia, Marbot Masjid Belum Hidup Sejahtera
Jemaah banyak datang ke masjid terutama saat buka puasa dan shalat Maghrib, kemudian saat shalat Tarawih. Karena itu, Suriansyah bisa empat kali menyapu karpet masjid dalam sehari. Pekerjaan itu dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
”Kalau hari-hari biasa cukup dua kali sehari, pagi dan sore,” ujarnya.
Siang itu, Suriansyah tak hanya menyapu karpet, tetapi juga merapikan saf jemaah dan kitab-kitab di mimbar. Ia kemudian menyalakan kipas angin dan penyejuk ruangan ketika beberapa orang sudah memasuki masjid dan bersiap menunaikan shalat Dzuhur. ”Tiga puluh menit lagi azan Dhuzur,” ujarnya.
Pekerjaan sebagai marbot di Masjid Al-Amin, Banua Anyar, sudah dilakoni Suriansyah selama enam tahun. Ia terpanggil setelah bertemu Ustaz Ahmad Nida, Ketua Pengurus Masjid Al-Amin, Banua Anyar.
Jadi kaum masjid ini bukan untuk mengejar upah, melainkan mengejar ibadah.
”Waktu ditawari Ustaz Nida jadi kaum di masjid ini, ulun pas menganggur. Maka, langsung saja ulun iyakan,” kata Suriansyah, yang sebelumnya bekerja sebagai tukang bikin pigura.
Sebagai marbot di Masjid Al-Amin, Suriansyah mendapat fasilitas tempat tinggal di dekat masjid. Di situ ia tinggal bersama istri dan dua anaknya. Mereka tidak perlu membayar sewa rumah, listrik, dan air. Semuanya ditanggung pengurus masjid.
Setiap bulan ia juga menerima upah atau insentif sebesar Rp 1 juta dan bantuan bahan pokok berupa 5 kilogram beras, 1 liter minyak goreng, 1 kg gula pasir, 15 bungkus mi instan, dan 30 butir telur ayam.
”Itu dicukup-cukupkan saja. Kalau tidak cukup, istri dan anak yang menambahkan. Kebetulan mereka juga bekerja,” katanya.
Ketenangan hidup
Menurut Suriansyah, ia menikmati pekerjaan sebagai marbot meskipun upahnya tidak seberapa. Dengan pekerjaan itu, ia bisa melayani jemaah sekaligus memperbanyak ibadah. ”Sudah setua ini tidak ada juga yang dicari. Jadi, ulun mencari ketenangan saja,” katanya.
Zainuddin (42), marbot di Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah, Kuin Utara, Banjarmasin, mengatakan, tujuannya menjadi marbot bukan demi materi, melainkan mencari ketenangan hidup. Jika sekadar memburu uang, ia bisa saja tetap berjualan pentol bakso.
Ketika masih berjualan pentol, Zainuddin bisa mengantongi setidaknya Rp 100.000 dalam sehari atau Rp 3 juta dalam sebulan. Penghasilan itu hampir setara dengan upah minimum kota (UMK) Banjarmasin Rp 3,3 juta dan upah minimum provinsi (UMP) Kalsel Rp 3,2 juta per bulan.
”Awal jadi kaum masjid tahun 2016, ulun terima Rp 200.000 per minggu atau Rp 800.000 sebulan. Baru di tahun 2022 ulun terima Rp 500.000 per minggu atau Rp 2 juta dalam sebulan,” kata bapak dengan satu anak ini.
Penghasilan Zainuddin sebagai marbot itu juga terkadang kurang, terlebih apabila ada kebutuhan untuk anaknya yang bersekolah di SMP. Untungnya, istri dia bisa menutupi dengan penghasilan dari berjualan keripik singkong.
Baca juga: Marbot Masjid Masih Belum Sejahtera
”Jadi kaum masjid ini bukan untuk mengejar upah, melainkan mengejar ibadah. Di sini, ulun juga mencoba beramal. Mudah-mudahan saja berkah dan banyak pahalanya,” ujarnya.
Ketua Harian Pengurus Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah, Ahmad Mahfuzh, mengatakan, marbot adalah pekerjaan mulia karena tugasnya memberikan kenyamanan kepada jemaah dalam beribadah. Marbot juga tak jarang mengingatkan orang-orang untuk beribadah. Ia bisa mengumandangkan azan ketika waktunya shalat.
”Kami sudah berupaya memberikan insentif yang pantas dengan keterbatasan anggaran. Insentif itu sebetulnya lumayan. Kalau dibandingkan dengan UMK Banjarmasin, memang kecil. Tetapi, itu masih lebih besar dari gaji guru honorer di Banjarmasin,” katanya.
Mendapat perhatian
Menurut Mahfuzh, Pemerintah Kota Banjarmasin juga sudah memperhatikan kesejahteraan marbot dengan memberikan tunjangan atau bantuan uang transportasi. Bantuan itu diterima dua kali dalam setahun, yakni sebesar Rp 2,28 juta per semester.
”Mudah-mudahan pemberian bantuan itu terus berlanjut,” ujarnya.
Baca juga: Marbot, Pekerjaan Sukarela yang Menenteramkan
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina pada Februari mengatakan, pemkot pada 2024 telah mengalokasikan anggaran Rp 11,7 miliar untuk bantuan uang transportasi bagi sekitar 2.600 ustaz, ustazah, guru mengaji, dan marbot di Banjarmasin. ”Ini merupakan bentuk kepedulian pemkot pada kesejahteraan para ustaz dan marbot di Banjarmasin,” katanya.
Perhatian terhadap marbot juga sudah dilakukan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) At-Taqwa Kota Cirebon, Jawa Barat. Ketua Harian At-Taqwa Center Ahmad Yani mengemukakan, marbot merupakan ujung tombak dalam pengelolaan dan pelayanan jemaah di masjid. Mereka bertugas membuka kunci masjid, menabuh beduk, mengepel, menyapu, hingga menjaga barang jemaah.
”Masjid nyaman, bersih, itu karena marbot. Kalau tidak diperhatikan oleh DKM, siapa lagi yang memperhatikan? Saya selalu bilang, dosa hukumnya kalau pengurus DKM tidak mengurus marbot,” ujar Yani di Cirebon, Kamis (21/3/2024).
Di Masjid At-Taqwa, marbot berstatus pekerja lepas mendapatkan upah Rp 75.000 per hari. Adapun marbot berstatus pekerja tetap mendapatkan honor pokok sesuai upah minimum kota sekitar Rp 2,4 juta per bulan, tunjangan kesehatan, jaminan hari tua, tunjangan hari raya (THR) satu kali honor pokok, hingga tunjangan munggahan sebelum Ramadhan.
Menurut Yani, upaya penyejahteraan marbot kembali ke pola pikir pengurus masjid. Di banyak masjid, marbot belum digaji. ”Ada pemikiran konvensional, seolah-olah uang kas DKM itu tidak boleh dipakai (habis) sehingga ada keraguan menggunakannya untuk marbot yang mengabdi,” katanya.
Berkolaborasi
travel
Meskipun mendapat gaji bulanan hingga kesempatan umrah, warga yang ingin menjadi marbot di Masjid At-Taqwa perlu memenuhi sejumlah kriteria. Paling utama, marbot harus berakhlak mulia, mampu membaca Al Quran, pendidikan minimal SMP, serta punya keahlian di bidangnya.
Baca juga: Buka Puasa Bersama Sinta Wahid, Tanpa Sekat Agama
Calon marbot pun harus mengikuti tes praktik ibadah, baca Al Quran, wawancara, serta masa percobaan tiga bulan. ”Marbot juga ada masa pensiunnya. Dulunya, 65 tahun. Terus jadi 70 tahun. Itu pun masih ada marbot yang ingin mengabdi. Tapi, sebagai pekerja lepas,” kata Yani.
Wakim (73), marbot di Masjid At-Taqwa sejak 2008, menuturkan, upah bulanan yang diterimanya sebagai marbot tetap cukup lumayan. Ia bahkan bisa menjalani ibadah umrah, yang salah satu sumber dananya berasal dari penghasilannya sebagai marbot.
Setelah pensiun sebagai marbot tetap di Masjid At-Taqwa, mantan pegawai PT Kereta Api Indonesia ini tetap mengabdi sebagai marbot meskipun berstatus pekerja lepas. Kakek tiga cucu ini tidak masalah mendapat upah Rp 75.000 per hari untuk menyapu, mengepel, hingga memastikan masjid bisa digunakan sejak pukul 03.30.
”Memang saya sudah pensiun. Tapi, saya, kan, masih ada kebutuhan dan (secara) fisik masih mampu (jadi marbot),” katanya.
Wakim pun ingin menjalani sisa hidupnya sebagai marbot masjid. ”Kalau kerja di masjid itu, kan, ladang (amal untuk) akhirat. Kita tidak hidup di dunia saja, tapi akhirat juga yang masanya lebih panjang,” katanya.
Baca juga: Seabad Bubur Harisah Panjunan Cirebon, Setia Setiap Bulan Puasa