Buka Puasa Bersama Sinta Wahid, Tanpa Sekat Agama
Kebersamaan tanpa sekat agama terlihat dalam acara buka puasa bersama di Paroki Gereja Bunda Maria, Cirebon.
Bulan Ramadhan kembali menjadi ruang pertemuan warga dari berbagai latar belakang di Kota Cirebon, Jawa Barat. Melalui buka puasa bersama yang dihadiri Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, kebersamaan tanpa sekat agama itu menguatkan masyarakat di tengah impitan ekonomi.
Azan yang berkumandang di Aula Gereja Bunda Maria, Cirebon, Jumat (15/3/2024) petang, menandakan waktu berbuka puasa. Ratusan warga beragam agama, budaya, dan profesi, termasuk kelompok duafa, pun menyantap takjil yang disiapkan jemaat gereja setempat.
Semuanya duduk melantai di atas karpet. Tidak ada yang merasa paling tinggi. Tidak ada sekat juga antara Sinta Nuriyah, istri Presiden Keempat RI Gus Dur; mantan Wali Kota Cirebon Eti Herawati; sejumlah anggota DPRD setempat; tokoh agama; buruh bangunan; dan penarik becak.
Lihat juga: Buka Puasa Lintas Agama Bersama Sinta Nuriyah Wahid
Keberagaman itu juga tampak dari pakaian hadirin. Ada yang memakai peci, ikat kepala, jilbab, kalung salib, baju muslim koko, batik, jas organisasi daerah, sampai kaus lusuh bermerek alat pencukur kumis. Selawat dan lagu tarling (gitar suling) ”Warung Pojok” turut meramaikan.
Setelah syahdu azan, sayup-sayup terdengar nyanyian jemaat yang beribadah dari dalam gereja. Lokasinya, tepat di bangunan sebelah aula tempat buka puasa. Di lantai dua aula, pihak gereja menyediakan tempat shalat Maghrib yang dilengkapi karpet dan pendingin ruangan.
Beginilah suasana buka puasa bersama, yang merupakan rangkaian kegiatan Sahur Keliling 2024. Acara itu digelar oleh Puan Amal Hayati yang dipimpin Sinta, Jaringan Gusdurian, Pemuda Katolik, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Cirebon, dan sejumlah komunitas lainnya.
Paroki Gereja Bunda Maria juga membagikan bingkisan berisi nasi kotak dan beberapa kue untuk kelompok duafa. Mereka cukup menukarkan kupon yang telah diberikan sebelumnya. ”Lumayan buat makan,” ujar Sa’anah (68), warga Dukuh Semar, saat mengintip kantongan itu.
Setidaknya, ia tidak perlu lagi merogoh uang lebih dari Rp 20.000 untuk membeli hidangan buka puasa hari itu. Apalagi, harga sejumlah bahan pokok masih tinggi. Beras, misalnya, bisa mencapai Rp 17.000 per kilogram. Padahal, katanya, biasanya harganya hanya Rp 12.000 per kg.
”Saya dapat bantuan beras 10 kg (dari pemerintah). Paling habis setengah bulan. Di rumah ada enam orang,” ujar nenek dua cucu ini. Selain cucu, ia juga tinggal bersama dua anaknya dan satu menantu. Seorang anaknya bekerja serabutan dan lainnya masih menganggur.
Itu sebabnya, bagi Sa’anah, beras bantuan dan bingkisan buka puasa turut membantu keluarganya. ”Senang bisa bersilaturahmi ke sini (gereja). Ini baru pertama kali (buka di sana). Namun, di sini sering bagi sembako. Hubungannya bagus, alhamdulillah,” ungkapnya.
Uswatun Hasanah (30), warga lainnya yang turut hadir, juga berterima kasih atas undangan buka puasa sore itu. ”Saya dulu pernah ikut acara jalan santai (gereja). Nanti tanggal 26 Maret infonya ada pasar murah di sini. Dapat beras, sirop, roti, dan lainnya dengan Rp 60.000,” ujarnya.
Tamu ”high class”
Tidak hanya Sa’anah dan Uswatun, ibu-ibu yang tergabung dalam Serviamus Paroki Gereja Bunda Maria juga bersemangat. Tim ini mengelola sumbangan jemaat dan sejumlah pihak untuk acara buka puasa bersama. Mereka sudah memasak dan menyiapkan hidangan sejak pukul 07.00.
”Pisang untuk buat kolak malah sudah dibeli lima hari lalu,” ujar Iing Cahyanto (56), anggota Serviamus. Ia dan sembilan ibu lainnya membuat sekitar 700 porsi kolak serta menyiapkan 500 kotak nasi padang dan 100 porsi nasi jamblang khas Cirebon. Ada juga aneka kue.
”Ini tamu-tamu high class (kelas atas), kami harus persembahkan yang terbaik. Ini tugas yang dimandatkan oleh paroki kami,” ujar Iing yang mengenakan seragam batik. Tamu yang ia maksud adalah Sinta Wahid, sejumlah komunitas, warga setempat, hingga penarik becak.
Ia pun bahagia bisa membantu acara buka puasa untuk sejumlah Muslim di Cirebon. ”Kalau bukan kita, siapa lagi? Kita kan semua sama. Kita tidak pernah membedakan agama apa pun,” ungkap Iing yang baru makan setelah peserta buka puasa pulang.
Baca juga: Jatuh-Bangun Pemuda Cirebon Menjaga Nyala Toleransi
Ketua Umum Paroki Bunda Maria Cirebon Pastor Antonius Haryanto mengatakan, pihaknya terbuka bagi siapa pun yang bertekad membangun persaudaraan. Salah satunya melalui buka puasa bersama, yang melibatkan warga dari beragam latar belakang.
”Ini momentum kami membantu kepada mereka yang membutuhkan, yang miskin, kepada umat beragama yang lainnya. Ini menjadi sarana bagi kami yang ingin mewujudkan kasih dengan membangun persaudaraan tanpa sekat agama,” ungkap Romo Haryanto.
Pihaknya juga mengapresiasi konsistensi Sinta Wahid yang berkeliling sejumlah rumah ibadah setiap puasa. Hal itu, katanya, menjadi contoh baik bagi masyarakat bahwa sesuatu yang baik harus diperjuangkan. Apalagi, di bulan Ramadhan yang baik.
”Ibu juga memberikan teladan bahwa punya previlege (keistimewaan) itu sekaligus punya tanggung jawab yang besar untuk melindungi orang-orang,” ungkap Romo Haryanto yang turut memfasilitasi kegiatan Haul Ke-13 Gus Dur di Aula Gereja Bunda Maria Cirebon tahun 2023.
Buka puasa bersama itu murni tentang keagamaan dan kemanusiaan, bukan kepentingan politik. Itu sebabnya, tidak ada atribut partai politik. (Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid)
Warisan Gus Dur
Buka puasa bersama yang merupakan rangkaian Sahur Keliling 2024 itu bukan kali ini saja. Pada 2019, misalnya, Sinta Wahid menggelar acara serupa di Wihara Dewi Welas Asih Cirebon.
”Ini sudah saya gelar sejak mendampingi Gus Dur di Istana Negara, sudah 25 tahun,” ungkapnya.
Sejak Gus Dur wafat pada akhir 2009, Sinta tetap meneruskan tradisi itu. Ia pun kerap mengisahkan pesan Gus Dur, termasuk humornya. Saat membuka pidatonya sore itu, contohnya, ia tidak ingin mengatakan kalimat memanjatkan syukur seperti penceramah lainnya.
”Kalau bilang itu, nanti diketawain Gus Dur. Kata Gus Dur kan, buat apa syukur dipanjatkan? Syukur kan bisa panjat sendiri,” ujarnya disambut tawa ratusan orang. Ia juga mengingatkan pesan Gus Dur agar keberagaman suku, agama, dan budaya di negeri ini tetap terjaga.
”Semua itu tinggal di Indonesia. Jadi kalau begitu, mereka itu saudara kita. Kalau memang saudara kita, apakah pantas kalau kita gontok-gontokan? Apakah pantas kita saling berebut?” kata Sinta.
Hadirin sontak menjawab, ”Tidak.”
”Kalau rebutan kursi?” katanya lagi.
”Tergantung kondisi,” jawab sejumlah orang diikuti tawa.
Sinta tersenyum dan menegaskan bahwa buka puasa bersama itu murni tentang keagamaan dan kemanusiaan, bukan kepentingan politik. Itu sebabnya, tidak ada atribut partai politik.
Meski demikian, Sinta menginginkan wakil rakyat hadir di acara itu agar mengetahui kondisi riil warganya. Itu sebabnya, ia juga mengundang kelompok duafa, yang selama ini berjuang untuk hidup. Dari merekalah, masyarakat, terutama pejabat, seyogianya belajar.
”Saya sangat menghormati semuanya, ada tukang becak. Kenapa? Karena orang-orang seperti bapak tidak akan pernah korupsi. Apa yang mau dikorupsi? Namun, orang di atas kalian?” ungkap satu dari 11 tokoh perempuan berpengaruh versi harian New York Times tahun 2017 ini.
Bulan puasa menjadi momentum untuk mengajarkan kejujuran pada diri sendiri dan orang lainnya, saling menghargai, serta saling menolong. Lewat buka puasa bersama yang tanpa sekat agama sore itu, Sinta kembali mengingatkan pentingnya melestarikan berbagai nilai itu.
Lihat juga: Pesan-Tren Damai di Cirebon, Belajar Toleransi dari Gereja hingga Wihara