Seabad Bubur Harisah Panjunan Cirebon, Setia Setiap Bulan Puasa
Meskipun harga bahan bakunya meningkat, keluarga Bayasut menolak komersialisasi demi menjaga kemurnian ibadah.
Tradisi pembuatan bubur harisah di Kampung Arab Panjunan, Kota Cirebon, Jawa Barat, memasuki usia satu abad pada bulan puasa tahun 2024. Meskipun harga bahan bakunya meningkat, keluarga Bayasut secara turun-temurun tetap menolak komersialisasi makanan itu.
Abdullah bin Islam bin Bayasut (68) baru saja sampai di rumah tua tepat di depan Masjid Asy-Syafi’i Bayasut, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Sabtu (16/3/2024), sekitar pukul 11.00. Berjalan membungkuk, ia menenteng bingkisan hitam berisi daging kambing muda.
Satu kilogram daging itu lalu dibersihkan dan dimasak. Pada saat bersamaan, ia dan adiknya, Fatimah binti Islam (65), menyiapkan bumbu rempah-rempah.
Ada serai, daun salam, jahe, cengkeh, pandan, serta kapulaga, dan lada. Bahan-bahan itu biasa digunakan untuk makanan khas Timur Tengah.
Abdullah juga mencuci beras 5 kilogram dan merebusnya di dalam panci. Setelah menjadi bubur yang lembut, 1 kilogram daging dan aneka bumbu rempah digabung dalam satu wadah.
Di sinilah tugas pria lanjut usia ini terasa kian berat. Ia harus mengaduk masakan itu tanpa henti selama dua jam!
”Kalau enggak diaduk, nanti gosong. Api kompornya juga harus kecil,” ucap Abdullah.
Tangan keriputnya terus menggerakkan spatula. Ia baru berhenti mengaduk jika buburnya matang. Meski tak mencicipinya, ciri bubur masak tampak dari warna kecoklatan dan bumbunya yang merata.
Setelah dua jam. Aroma daun pandan dan aneka rempah menguar dari panci. Harum bubur seakan memanjakan hidung orang-orang di sekitarnya. Bubur lalu didinginkan sebelum dipindahkan ke wadah makanan styrofoam. Beginilah proses pembuatan bubur harisah khas Kampung Arab Panjunan.
Saudagar Cirebon
Berbeda dengan bubur lainnya yang berbahan ayam, harisah mengandung daging kambing muda dengan sejumlah rempah Timur Tengah. Kapulaga, misalnya, dibeli di tokoh haji setempat. Malah, ada ungkapan, ”beli oleh-oleh haji enggak perlu ke Arab, cukup di Panjunan saja”.
Uniknya, bubur yang dibikin sejak pukul 10.00 hingga disajikan sore hari ini hanya tersedia pada bulan Ramadhan. Bubur ini menjadi salah satu menu buka puasa di Masjid Asy-Syafi’i.
”Bubur ini dibikin sejak tahun 1924, zaman kakek saya (Syekh Islam Mohamad Bayasut),” ujarnya.
Syekh Bayasut merupakan saudagar dari tanah Yaman bagian selatan. Ia dikenal kaya karena memelihara banyak kuda yang dijual ke Jakarta dan kota lainnya. Konon, kuda itu berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.
”Ibaratnya, dagang kuda itu sekarang jual mobil,” ucapnya.
Lihat juga: Melihat Bubur Harisah yang Dibuat Hanya Saat Bulan Puasa
Pada 1912, Syekh Bayasut mendirikan rumah yang kini menjadi tempat pembuatan bubur harisah. Ia juga membangun Masjid Asy-Syafi’i Bayasut pada 1918. Pada 1924, sosok tokoh di Panjunan ini membuat Yayasan Bayasut dan bubur harisah untuk para musafir dan warga.
”Dulu banyak musafir pada istirahat di sini. Ceritanya, kalau ada tamu-tamu dari Jakarta tunggu kereta, makan malam di sini. Di bulan Ramadhan, disunahkan bahkan diwajibkan bikin bubur dari kakek saya,” ungkap Abdullah, generasi ketiga Bayasut.
Arti harisah, katanya, adalah berhenti atau diam. Jadi, warga diharapkan berhenti dan berkumpul di Masjid Asy-Syafi’i untuk menikmati takjil atau bubur. Sejumlah orang bahkan menyebut makanan itu sebagai bubur bayasut.
Lihat juga: Kisah Bubur Harisah, Takjil Perekat Silaturahmi di Pesisir Cirebon
Setelah kakeknya wafat, tugas membuat bubur harisah diturunkan kepada ibunya. Kemudian, dilanjutkan oleh kakaknya, Muhammad bin Islam bin Bayasut. Kakaknya berpulang sekitar tahun 2020 ketika pandemi Covid-19. Sejak itu, Abdullah meneruskan tradisi bubur harisah.
Pandemi juga membuat keluarga Bayasut menyuguhkan bubur harisah ke dalam wadah makanan. Sebelumnya, penyajian bubur itu dilakukan secara prasmanan di piring besar. Suasana kebersamaan pun lebih terasa karena sejumlah anggota jemaah makan di piring yang sama.
Harga pangan naik
Selain wabah Covid-19, lonjakan harga bahan pangan juga menjadi tantangan pelestarian tradisi bubur harisah. Harga beras premium, misalnya, melonjak dari biasanya Rp 13.000 per kilogram menjadi Rp 15.200 per kilogram di agen beras langganan Abdullah. Di pasar, harganya lebih tinggi.
”Kalau enggak beras premium, hasil buburnya enggak enak. (Berasnya) harus bagus. Kan, kita mau ibadah,” ucap Abdullah. Harga daging kambing muda juga meningkat dari Rp 130.000 per kilogram beberapa tahun lalu menjadi Rp 170.000 per kilogram, bahkan lebih.
”Sebelum Ramadhan, kami sudah pesan daging kambing muda. Kasih Rp 2 juta atau Rp 3 juta. Kalau enggak begitu, nanti enggak kebagian. Apalagi, sekarang (daging kambing) lagi susah,” ungkapnya. Semua dana pembuatan bubur berasal dari Yayasan Bayasut.
”Meskipun (harga bahan bubur) naik, ya,tidak dikurangi jatahnya. Kan, ibadah,” ucap Abdullah yang juga bertugas sebagai muazin di Masjid Asy-Syafi’i Bayasut. Namun, pihaknya mengaku kesulitan menambah porsi bubur seperti dahulu karena harga bahan bakunya melonjak.
Ini murni (kepentingan) agama untuk sedekah. Kalau namanya komersial, pasti habis. (Ismail Ibrahim Basayut)
Beberapa dekade lalu, katanya, beras yang dimasak bisa mencapai 10 kilogram. Daging kambingnya pun lebih dari 1 kilogram. Saat itu musafir dari luar Cirebon masih banyak. Kini, bubur disajikan untuk penduduk setempat, keluarga Bayasut, hingga warga dari Kabupaten Cirebon.
Meski demikian, peminat bubur harisah tidak surut. Sebelum keluarga Bayasut membawa 50-100 porsi bubur ke masjid untuk menu buka puasa, warga kerap kali meminta makanan itu untuk dibawa pulang. Bahkan, tidak semua anggota jemaah kebagian bubur itu.
”Makanya, sekarang, tempatnya mengecil untuk ukuran seblak (11 sentimeter x 11 sentimeter). Jadi, bisa dapat banyak (bubur),” ucap Fatimah. Kini, ia bisa menyiapkan sekitar 200 porsi bubur dengan wadah kecil. Sebelumnya, wadahnya lebih besar dari itu, sekitar 18 cm x 12 cm.
Tidak hanya umat Islam, kata Fatimah, warga keturunan Tionghoa setempat juga pernah datang meminta bubur harisah. Mereka tertarik dengan kuatnya rasa rempah dan lembutnya daging di bubur.
”Ya, dikasih. Enggak masalah. Selagi masih ada (bubur), ya,dikasih,” ungkapnya.
Bagi Fatimah, tradisi bikin bubur harisah merupakan momentum kumpul keluarga. Sebab, kerabat yang tinggal di Kabupaten Cirebon juga acapkali hadir. Pembuatan bubur baru selesai sekitar tiga hari sebelum Lebaran. Sebab, keluarga Bayasut juga perlu menyiapkan Idul Fitri.
Menolak komersial
Ismail Ibrahim Bayasut, pengurus Yayasan Bayasut, mengatakan, bubur harisah hanya dibuat saat Ramadhan karena pada bulan itu Allah SWT melipatgandakan pahala untuk hamba-Nya. Amalan itu antara lain menyiapkan menu buka puasa bagi umat.
Itu sebabnya, bubur harisah disajikan gratis, tidak dijual. ”Ini murni (kepentingan) agama untuk sedekah. Kalau namanya komersial, pasti habis. Kalau namanya amalan, pasti akan mengalir terus pahalanya walaupun alamnya sudah berubah dari dunia ke alam barzah,” ungkap Ismail.
Pembagian bubur harisah secara sukarela juga merupakan amanat Syekh Bayasut. Begitu pun dengan rumah tua peninggalan keluarga, dilarang dijual untuk kepentingan komersial. Padahal, katanya, sejumlah orang sempat ingin membeli rumah yang temboknya berbahan kapur itu.
Baca juga: Bubur Banjar Melintasi Batas Wilayah, Dibuat di Banjar Populer di Solo
Jika rumah dan bubur harisah dikomersialkan, katanya, keturunan telah mengkhianati Syekh Bayasut. ”Kita ingin amal soleh ini terus ngalir ke keluarga kita. Kalau komersial, ya, sudah bercampur. Kalau kita murni ibadah, masih ada harapan amal kita diterima Allah,” ujarnya.
Keluarganya pun bertekad mempertahankan tradisi bubur harisah secara turun-temurun di bulan Ramadhan. Keponakan Abdullah dan Ismail, misalnya, mulai belajar menyajikan makanan itu. Ia juga memastikan pembagian bubur tetap gratis meskipun harga bahan bakunya melonjak.
Riadi Darwis, pakar gastronomi dari Politeknik Pariwisata NHI Bandung, menilai, bubur sudah ada sebelum awal abad ke-20 di Indonesia. Perpaduan dengan kuliner Arab, seperti bubur, pun tidak hanya ada di Cirebon, tetapi juga daerah lainnya, seperti di Gresik, Jawa Timur.
”Di Gresik, (bubur disajikan) saat haul pendiri pondok pesantren. Tapi, (bahannya) ada unsur gandum,” ucapnya.
Di Cirebon, katanya, munculnya bubur harisah tidak terlepas dari kehadiran pelabuhan besar. Tempat itu menjadi titik pertemuan komunitas dari banyak negara.
Bangsa Arab ada di Cirebon sejak abad ke-15 via pelabuhan. Pustaka Negarakretabhumi Parwa 1 Sargah 3 menyebutkan, pada 1447, warga Cirebon berasal dari Jawa (106 orang), Sumatera (16), Semenanjung Malaka (4), India (2), Persia (2), Syam (3), Arab (11), dan China (6).
Menurut Riadi, bubur, seperti harisah, juga punya makna tertentu. ”Bubur (berwarna) putih juga simbol bahwa manusia itu pada dasarnya dia itu suci. Dia harus bisa menghadapi godaan-godaan. Godaan itu hawa nafsu,” ungkapnya.
Di usianya ke-100 tahun pada bulan Ramadhan 2024, bubur harisah masih menghadapi sejumlah cobaan. Salah satunya kenaikan harga bahan pangan. Namun, keluarga Bayasut tetap konsisten menjaga tradisi ini sebagai ibadah, tidak bercampur unsur komersialisasi.
Tradisi bubur harisah menjadi potret bagaimana manusia diuji untuk mampu mengendalikan hawa nafsu pada bulan puasa. Jangan sampai Ramadhan menyisakan ungkapan, nasi telah menjadi bubur atau penyesalan.
Lihat juga: Mengupas Arti ”Takjil” yang Populer Saat Ramadhan