Beban Berat dan Setumpuk Masalah yang ”Menenggelamkan” Demak
Banjir di Demak pada Maret ini disebut terparah selama sekitar 30 tahun terakhir. Apa yang menyebabkan banjir besar itu?
Banjir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, terjadi karena kombinasi sejumlah faktor, mulai dari cuaca ekstrem, tanggul jebol, sedimentasi sungai, hingga alih fungsi lahan. Demak juga menanggung beban berat karena air dari daerah sekitarnya mengalir ke wilayah itu.
Desi (40) dan Habibi (7) berjalan kaki menembus genangan air menuju Alun-alun Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (20/3/2024) siang. Mata sepasang ibu dan anak itu menjelajahi sekeliling lapangan yang terletak di pusat kota tersebut. Semua sisi digenangi air.
Raut wajah mereka seolah tak percaya menyaksikan alun-alun itu terlihat lebih mirip kolam daripada lapangan. Rumput dan tanah di alun-alun tersebut tak terlihat lagi karena digenangi air dengan ketinggian sekitar 50 cm. Kondisi yang sama terjadi di jalan raya sekitar alun-alun.
Hari itu, Desi dan Habibi akhirnya bisa keluar dari rumah mereka yang berlokasi tak jauh dari Alun-alun Demak. Sebelumnya, sejak Senin (18/3/2024), mereka terjebak di rumah karena banjir.
Saat itu, genangan air setinggi 1 meter merendam jalan perkampungan tempat mereka tinggal di Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak. Namun, karena lantai rumah mereka lebih tinggi dari jalan, air yang memasuki area rumah hanya setinggi mata kaki.
Sebelum banjir terjadi, kawasan pusat kota Demak memang diguyur hujan deras seharian pada Minggu (18/3/2024). Setelah itu, genangan air mulai muncul di wilayah permukiman dan jalan-jalan protokol. Tinggi genangan air meningkat hingga 40-50 cm pada Senin.
Kondisi itu menyebabkan aktivitas pusat kota itu lumpuh. Kendaraan bermotor tidak bisa melintas. Toko-toko lebih banyak yang tutup. Sebagian kantor pemerintahan juga tak beroperasi gegara terdampak banjir. Bahkan, luapan air sungai itu ikut merendam Kantor Bupati Demak.
Baca juga: Banjir Demak, Perbaikan Tanggul yang Jebol Terus Dikebut, Ribuan Warga Masih Mengungsi
”Banjir semacam ini juga pernah terjadi sewaktu saya kecil, antara tahun 1992 dan 1993. Tetapi, banjir kali ini rasa-rasanya lebih parah. Waktu itu air tidak sampai masuk ke rumah saya,” ujar Desi.
Banjir di wilayah perkotaan Demak dipicu jebolnya tanggul Sungai Lusi di Desa Bugel, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jateng. Kejadian itu mengakibatkan kenaikan debit air Sungai Jajar yang melintasi Grobogan dan Demak. Limpasan air sungai itulah yang membuat wilayah pusat kota Demak kebanjiran.
”Semoga pemerintah semakin perhatian dengan ancaman-ancaman bencana. Kalau tanggul memang rawan jebol, semestinya diperkokoh. Lebih-lebih kota (Demak) ini, kan, seperti mangkok,” kata Desi.
Mengulang cerita
Kenangan terhadap banjir besar juga terekam dalam memori Nurkan (51), warga Desa Ketanjung, Kecamatan Karanganyar, Demak. Dia menyebut, pada 1993 terjadi banjir besar yang juga dipicu tanggul sungai yang jebol.
”Ini seperti mengulang cerita yang sebelumnya. Waktu itu juga tanggul jebol. Sekarang tanggul jebol lagi,” kata Nurkan.
Pada 1993, menurut Nurkan, banjir di desanya disebabkan jebolnya tanggul sungai di wilayah Undaan, Kabupaten Kudus, Jateng. Pada 2024, banjir di Desa Ketanjung disebabkan jebolnya tanggul Sungai Wulan. Lokasi jebolan tanggul berada persis di sebelah desa tersebut. Mirisnya lagi, peristiwa tanggul jebol itu terjadi dua kali hanya dalam rentang waktu 1,5 bulan.
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas, banjir besar terjadi di Demak pada awal tahun 1993. Bencana itu mengakibatkan warga dari tujuh kecamatan di Demak dan dua kecamatan di Kudus mengungsi. Jumlah pengungsi lebih dari 32.000 orang (Kompas, 1/2/1993).
Baca juga: Nestapa dari Tepi Sungai Wulan
Pemicu banjir saat itu adalah dibukanya pintu pembagi air Wilalung di Kecamatan Undaan, Kudus, guna mengurangi penumpukan air dari Bendung Kelambu di Grobogan. Banjir juga diperparah jebolnya tanggul Sungai Tuntang di Grobogan sepanjang 25 meter.
Kala itu, banjir juga membuat jalur pantura (pantai utara) yang menghubungkan antara Semarang, Demak, dan Kudus terputus. Tinggi genangan air terentang 30-50 cm. Kondisi itu membuat kendaraan bermotor tidak bisa melintas.
Pada 1980, peristiwa semacam itu juga pernah terjadi. Jumlah kecamatan terdampak mencapai 13 kecamatan dari 14 kecamatan yang ada di Demak. Lagi-lagi curah hujan tinggi serta jebolnya sejumlah tanggul dituding sebagai biang kerok bencana. (Kompas, 25/1/1980).
Banjir terparah
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Demak Agus Nugroho mengatakan, banjir yang terjadi di Demak pada Maret ini merupakan yang paling parah setidaknya selama 30 tahun terakhir. Banjir itu membuat 90 desa di 11 kecamatan di Demak terendam.
Jumlah warga yang terdampak diperkirakan lebih dari 97.000 orang dan lebih kurang 25.000 orang mengungsi. Saking besarnya bencana itu, Agus bahkan menyebut banjir telah ”menenggelamkan” Demak.
Baca juga: Banjir Masih Menggenang, Presiden ke Lokasi untuk Pastikan Penanganan Tanggul Jebol
”Saat ini sudah 90 desa terdampak, kota kami sudah tenggelam. Listrik sudah dimatikan, jadi saya berharap bahwa satu-satunya solusi penanganan banjir di Demak hanya bagaimana penutupan tanggul (yang jebol) itu selesai dan baik,” ucap Agus, Rabu (20/3/2024).
Menurut Agus, ada berbagai faktor yang menyebabkan banjir di Demak sangat parah. Saat hujan ekstrem melanda Demak dan sekitarnya pada Rabu (13/3/2024), setidaknya tujuh tanggul sungai jebol. Kondisi itu menyebabkan air limpas ke permukiman dan area persawahan yang ada di Demak. Apalagi, air dari sejumlah wilayah di Jateng juga mengalir ke Demak.
Baca juga: Perbaikan Tanggul Jebol di Demak dan Grobogan Ditargetkan Rampung Dua Hari
”Jadi, posisi Demak ini berada di bawah Salatiga, Ungaran, Boyolali, Grobogan, dan Blora. Itu airnya mengarah semua ke Demak. Apalagi, semua sungai yang ada di Demak, mulai dari Sungai Pucang Gading itu tiga arus sungainya ke arah kami. Satu mengarah ke Semarang, tapi tertutup pintunya,” ujar Agus.
Tak hanya itu, aliran air dari Bendung Wilalung yang seharusnya terbagi ke Kudus dan Jepara juga hanya mengarah ke Demak. Hal itu terjadi karena sembilan pintu airnya telah ditutup dengan dicor.
Saat harus menerima beban air yang begitu besar, daya tampung sungai-sungai di Demak tidak optimal. Kondisi itu disebut Agus terjadi karena adanya sedimentasi akibat erosi dari kawasan hulu, seperti di wilayah Salatiga, Ungaran, Boyolali, Grobogan, dan Blora.
”Kami berharap, yang punya kewenangan terkait hutan dan lahan yang ada di atas harus mengedukasi masyarakat. Harus ada perbaikan lingkungan yang di atas. Jangan sampai ada penebangan pohon yang masif, pembangunan vila, dan hotel-hotel. Ini merusak daya serap yang di atas. Jangan sampai dampak negatifnya ke Demak,” ucap Agus.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Bukan Satu-satunya ”Biang Kerok” di Balik Banjir Semarang
Kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng sepanjang 2023 menunjukkan, terjadi alih fungsi lahan cukup parah di daerah hulu yang menjadi penopang resapan air.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng Iqbal Alma menyebut, banyak kawasan resapan air di Jateng telah berubah menjadi perumahan. Selain itu, sebagian juga berubah menjadi tambang-tambang untuk menyuplai kebutuhan reklamasi pantai, proyek strategis nasional, serta industri. Kondisi itu turut memicu banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di Jateng belakangan ini.
”Berbagai bencana banjir besar yang terjadi tiap tahun tidak membuat pemerintah di Jateng segera mengambil langkah serius agar bencana yang meluas dan semakin tinggi ini tidak berulang,” ungkap Iqbal.
Dia memaparkan, ada beberapa kebijakan yang justru kontradiktif dengan bencana banjir yang terjadi. Hal itu, antara lain, tampak dalam draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jateng tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jateng Tahun 2023-2043 yang saat ini sedang dibahas.
Iqbal menyebut, dalam raperda itu diketahui kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya (PTB) berkurang 82.230 hektar dari 107.286 hektar menjadi 25.056 hektar. Luasan kawasan konservasi dan cagar budaya juga berkurang seluas 19.093 hektar, dari sebelumnya seluas 32.788 hektar menjadi seluas 13.695 hektar.
Walhi Jateng berharap, pemerintah mengembalikan fungsi kawasan hulu sebagai daerah resapan air dan daerah yang memiliki fungsi lindung. Selain itu, pemerintah juga diharapkan menyusun struktur ruang dan penataan ruang dalam RTRW sesuai dengan fungsi ruang lingkungan hidup yang berkeadilan.