Kisah Mariance Kabu, Bangkit Menggugat Setelah Disiksa Majikan di Malaysia
Mariance Kabu menunggu keadilan datang setelah satu dekade berlalu.
Setelah satu dekade, kasus penyiksaan terhadap Mariance Kabu (43), pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur, oleh majikannya di Selangor, Malaysia, akhirnya disidangkan. Dari rumahnya di Kupang, Mariance menantikan keadilan.
Mariance duduk menenun kain di rumah pelatihan Pendeta Emmy Sahertian di Kupang, NTT, Selasa (19/3/2024). Satu per satu helai benang disusun dan dipadatkan sejajar menggunakan kayu untuk menenun.
Lembaran-lembaran kain pun terbentuk sesuai ukuran yang dikehendaki. Kegiatan menenun ditekuni sejak 2022 guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Tidak terbayangkan sebelumnya kegiatan itu dapat dinikmatinya di kampung halaman. Sekitar 10 tahun lalu, ia merasa hidupnya berada di dalam neraka.
Hari demi hari, Mariance menghadapi siksaan Ong Su Peng Serene dan Sang Yoke Leng, kedua majikan perempuannya, saat ia bekerja di Malaysia, April-Desember 2014.
Setelah satu dekade, kasus kekerasan terhadap Mariance itu akhirnya disidangkan di Selangor, Malaysia. Rangkaian persidangan itu menjadi harapan bagi Mariance untuk mendapatkan keadilan.
Namun, sejumlah pernyataan pengacara terdakwa Ong Su Peng Serene dan Sang Yoke Leng tak ayal membuat Mariance dan keluarganya meradang. Pekan lalu, pengacara terdakwa menyebut Mariance mengalami gangguan jiwa saat bekerja di rumah para terdakwa.
Tuduhan itu pun dibantah Mariance. Ia sangat marah mendengar hal itu. ”Itu kebohongan besar,” katanya, Kamis (14/3/3024), saat ditemui di Kupang.
Selama bekerja di rumah majikan, Januari-Agustus 2014, ia mengaku normal dan waras.
”Bagaimana mungkin saya gila kalaubisa merawat lansia. Menyiapkan makan dan minum, mengenakan dan menggantikan pakaian, dan melayani semua kebutuhan bagi orangtua itu,” ucapnya lagi.
Setelah satu dekade, kasus kekerasan terhadap Mariance itu akhirnya disidangkan di Selangor, Malaysia. Rangkaian persidangan itu menjadi harapan bagi Mariance untuk mendapatkan keadilan.
”Saya dikontrak sebagai perawat lansia, tetapi menangani semua pekerjaan rumah. Memasak, mencuci, menyetrika, sapu dan ngepel lantai, dan pekerjaan rumah lain. Semua yang saya kerjakan itu terekam di kamera pemantau atau CCTV majikan. Kalau saya gila kenapa majikan tidak langsung membawa saya ke rumah sakit jiwa atau memanggil orang memborgol saya di kediamannya,” ungkap Mariance bertubi-tubi.
Baca juga: Pekerja Migran Ilegal, Beban Ganda Keluarga di NTT
Ibu empat anak ini menyayangkan sikap Ong Su Peng dan Sang Yoke Leng yang sengaja merusak CCTV di kediaman mereka setelah Mariance masuk IGD rumah sakit di Malaysia akibat penganiayaan.
CCTV itu adalah barang bukti paling akurat untuk membuka semua kejadian selama delapan bulan Mariance bekerja. Semua bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal, terekam jelas. Namun, menurut dia, sekarang mereka dengan mudah berbohong dan membalikkan semua fakta.
Mariance ingin hadir dalam persidangan yang terjadwal 28 Juni 2024. Ia ingin bersaksi di depan hakim pengadilan Malaysia. Jika perlu, dihadirkan pula majikan yang menganiaya dirinya selama delapan bulan itu.
Bukti-bukti penganiayaan itu pun masih tersimpan di Kedubes RI di Malaysia. Ia juga masih menyimpan sebagian dari bukti penganiayaan itu.
Dalam hari-hari kelam itu, tiga gigi Mariance dicabut dengan tang, lidah pun demikian dan nyaris putus. Kemaluan dipukul dengan palu sampai memar, bibir dipukul sampai sobek. Telinga dipukul dan ditarik dengan tang sampai melar dan sebagian terluka.
”Semua anggota tubuh saya mengalami tindak kekerasan dari majikan. Saya bayangkan kisah itu seperti berada dalam neraka. Saya sempat dikunci selama satu pekan di dalam kamar mandi dalam kondisi telanjang,” tuturnya.
Ia berhasil keluar dari rumah itu setelah kedua majikan pergi ke luar rumah. Meski pintu dan pagar rumah dikunci, Mariance mencoba menulis sepucuk surat kemudian dilemparkan ke arah rumah tetangga, yang merupakan warga India. Surat itu isinya singkat, ”Tolong keluarkan saya dari sini. Saya hampir mati karena dianiaya majikan”.
Kabar penganiayaan itu pun akhirnya sampai ke Polisi Diraja Malaysia.
Baca juga: Kisah Tragis Mariance Kabu, Buruh Migran NTT yang Dianiaya Majikan di Malaysia
Polisi Malaysia datang ke rumah majikan itu dan membawa Mariance ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan.
Hasil pemeriksaan medis memperlihatkan, telah terjadi patah tulang hidung, luka memar dan lebam di seluruh tubuh, kerusakan di bagian telinga, dan luka-luka di bagian kepala akibat benturan benda tajam.
Anggota Jaringan Masyarakat Sipil Anti Perdagangan Orang Indonesia (Jamasiapoi) NTT, Pdt Emmy Sahertian mengatakan, majikan jangan mengalihkan isu untuk membenarkan perbuatan keji terhadap Mariance Kabu. Sangat tidak logis kalau seorang dengan gangguan jiwa bisa diterima majikan bekerja sebagai perawat lansia dan pembantu rumah tangga di kediamannya.
Ia meminta pengadilan Malaysia fokus pada kasus penganiayaan berat itu. Jangan terprovokasi dengan informasi palsu yang sengaja didesain untuk membebaskan majikan, pelaku kejahatan kemanusiaan. Peranan hakim adalah menegakkan keadilan, bukan menegakkan kepentingan pribadi dan kelompok atau golongan.
”Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri harus terlibat aktif melakukan pengawasan dan pemantauan khusus jalannya persidangan di Malaysia. Persidangan itu harus bebas dari praktik mafia peradilan sehingga korban tetap mendapatkan keadilan hukum, bukan sebaliknya dituduh gila dan semacamnya,” katanya.
Baca juga: Kasus Hukum Pelaku Pembunuh Adelina Sau Tidak Jelas
Salah satu kesepakatan dalam ASEAN Summit Meeting 2023 adalah penghormatan hak-hak pekerja migran, termasuk penanganan kasus hukum yang menimpa mereka. Karena itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat menerapkan secara adil, jujur, dan bertanggung jawab kesepakatan itu.
”Kami mendesak sistem peradilan di Malaysia bisa membuka mata terhadap diskriminasi para pekerja migran asal Indonesia di Malaysia. Hukum setempat harus dijalankan seadil-adilnya tanpa membedakan suku, bangsa, dan agama,” kata Emmy.
Jamasipoi pun mengapresiasi pengacara lokal Malaysia yang membantu Mariance Kabu selama ini. Begitu juga tim lembaga peradilan Malaysia yang selama ini melakukan persidangan terhadap Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng.
”Ketulusan para pengacara Malaysia membantu Mariance Kabu merupakan bentuk solidaritas ASEAN dari aras people to people secara konkret. Masyarakat Indonesia, terutama keluarga korban, hanya bisa mendoakan jasa baik mereka,” kata Emmy.
Ia meminta KBRI di Malaysia bersikap proaktif membentuk tim pengumpul fakta sehingga bisa membantu pembuktian di persidangan. KBRI di Malaysia jangan membiarkan proses persidangan itu berlalu begitu saja. Kehadiran perwakilan Indonesia di luar negeri antara lain untuk membantu dan membela hak-hak pekerja migran Indonesia di negara itu.
Baca juga : Kasus PMI Ilegal Tinggi, Sekolah PMI Didirikan Pertama di NTT