Ribuan Penghuni Tahura di Kendari Akan Direlokasi, Studi Komprehensif Mendesak
Tahura Nipa-Nipa yang kini dihuni hingga ribuan warga membutuhkan solusi komprehensif untuk mencegah bencana di Kendari.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ribuan warga yang tinggal di Taman Hutan Rakyat Nipa-Nipa Kendari, Sulawesi Tenggara, bakal segera direlokasi. Pembukaan hutan secara terus-menerus ditengarai ikut memicu banjir bandang. Akibatnya, ribuan rumah warga dan sejumlah fasilitas umum terdampak. Diharapkan segera rampung, pemerintah diminta berhati-hati menyusun studi komprehensif untuk menyelesaikan akar permasalahan.
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kendari Safril Kasim mengungkapkan, secara teori, banjir bandang di Kendari berasal dari limpasan air kuat dari Taman Hutan Rakyat (Tahura) Nipa-Nipa. Tempat itu adalah kawasan konservasi penting di Kendari. Selain meredam banjir, kawasan itu memiliki banyak sumber air bersih.
Hujan selama beberapa jam, kata Safril, membawa debit air besar dan turun dari elevasi yang curam. Akibatnya, air mengalir deras membawa sejumlah material dan menghantam permukiman. Rumah sakit penuh pasien juga terdampak.
Ke depan, tutur Safril, pemerintah harus segera membuat studi komprehensif terkait persoalan di Tahura Nipa-Nipa. Hal itu dilakukan guna mengetahui skala kerusakan, titik kritis, hingga solusi dan penanganan untuk lingkungan dan masyarakat.
Alasannya, kata Safril, kawasan itu diokupasi, baik untuk permukiman maupun perkebunan, sejak lama. Solusi yang berjalan selama ini tidak mampu menyelesaikan masalah. Padahal, bencana akibat pembukaan lahan terus menghantui masyarakat di bawah.
”Jika masih memungkinkan, bisa dengan model hutan kemasyarakatan. Tapi jika benar-benar rusak, dan membahayakan, mau tidak mau (warga) harus keluar. Ini memang pekerjaan panjang dan lintas sektoral. Semoga, ke depan, solusinya tidak tambal sulam, tetapi komprehensif,” tuturnya, Senin (18/3/2024), di Kendari.
Sementara itu, untuk solusi lingkungan, bisa dilakukan dengan penghijauan dan penanaman kembali wilayah yang rusak. Beberapa titik juga bisa dibuat penampungan air, baik embung maupun cekdam.
Tangkapan air
Ditetapkan pemerintah sejak 1999, luas Tahura Nipa-Nipa mencapai 7.877 hektar. Kawasan ini membentang di sisi kiri Kota Kendari yang berfungsi sebagai kawasan konservasi, edukasi, hingga ekowisata. Wilayah ini juga berperan dalam pengendalian banjir karena menjadi daerah tampungan air.
”Fenomena yang terjadi, tahura tersebut adalah daerah tangkapan air yang dilindungi. Namun, dengan dibukanya daerah tersebut, air akan mengalir deras saat hujan turun. Jika masyarakat bermukim di daerah tangkapan air, kejadian yang sama akan berulang,” kata Penjabat Wali Kota Kendari Muhammad Yusup, di Kendari, seusai buka puasa bersama di lokasi bencana, Sabtu (16/3/2024).
Selama tinggal di sini, lebih dari tiga puluh tahun, banjir ini paling parah. Makanya, sekarang kami takut kalau hujan, apalagi kalau malam hari. Ini semua karena drainase, dan bukit di belakang yang sudah dibuka semua. (Abdul Kadir)
Bencana banjir bandang yang terjadi, Yusup melanjutkan, merupakan bencana periodik dan terus berulang. Oleh karena itu, penyebab banjir harus ditangani, agar kejadian yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Menurut Yusup, masyarakat penghuni Tahura harus memahami dan mengerti akan hal ini. Diharapkan mereka bisa berpindah dan tidak bermukim kembali di daerah tangkapan air. Diperkirakan ada ribuan warga yang mendiami kawasan tersebut.
”Ini bukan hal yang mudah, tapi kami berharap nanti bisa dilakukan (relokasi). Kami tidak akan merugikan masyarakat,” ujarnya. Namun, saat ditanya terkait lokasi dan teknis relokasi, ia belum bisa menjawab lengkap.
Ekstrem
Sebelumnya, banjir bandang menerjang Kendari pada Rabu (6/3/2024). Hujan deras selama beberapa jam membuat air melimpas dengan deras dan membawa lumpur. Air menerjang rumah, menghanyutkan kendaraan, dan membuat warga mengungsi.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kendari menunjukkan, 3.248 rumah terendam banjir. Akibatnya, 3.233 keluarga terdampak banjir dan 15 keluarga lainnya terkena longsor. Seorang warga, Serda Pande Pratama, meninggal tersengat arus listrik saat membersihkan kediamannya.
Abdul Kadir (57), warga Lorong Lasolo, Kelurahan Sanua, Kendari Barat, menuturkan, banjir bandang kali ini adalah yang paling ekstrem. Ketinggian air meningkat dengan cepat, mengalir deras, dan membawa material dari gunung.
Menurut Abdul, banjir bandang pada pekan lalu tidak pernah diprediksi sebelumnya. Meski berkali-kali jadi langganan banjir, ketinggian air tidak seperti kejadian tersebut. Air bercampur lumpur menerjang kampung dengan ketinggian lebih dari satu meter.
”Selama tinggal di sini, lebih dari tiga puluh tahun, banjir ini paling parah. Makanya, sekarang kami takut kalau hujan, apalagi kalau malam hari. Ini semua karena drainase, dan bukit di belakang yang sudah dibuka semua,” katanya.