HKMAN 2024: Masyarakat Adat Berada di Tepi Jurang
Dalam peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, AMAN Kalteng menilai masyarakat adat berada di tepi jurang.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat dinilai berada di tepi jurang seiring RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan. Mereka dikungkung oleh kriminalisasi, krisis pangan, dan kehilangan ruang hidup.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik untuk memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan 25 tahun berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) dengan tajuk ”Masyarakat Adat Berada di Tepi Jurang”. Diskusi itu diselenggarakan oleh AMAN Provinsi Kalteng di Kota Palangkaraya, Senin (18/3/2024) malam.
HKMAN selalu diperingati setiap tahun pada tanggal 17 Maret untuk mengingatkan hari lahirnya AMAN di Indonesia 25 tahun silam. Saat itu, 400 pemimpin masyarakat adat dari seluruh Nusantara berkumpul di Jakarta untuk membahas nasib mereka sebagai masyarakat adat. Sejak 1999 itu juga, melalui keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama (KMAN I), AMAN didirikan.
Ketua Biro Advokasi, Publikasi, dan Kampanye Pengurus Harian Wilayah (PHW) AMAN Kalteng Wanda Franata mengungkapkan, dalam perjalanannya selama 25 tahun, masyarakat adat justru kian berada di tepi jurang, mulai dari kriminalisasi, perampasan wilayah hingga krisis pangan menghantui kehidupan masyarakat adat. Pengakuan yang jalan di tempat juga membuat aktivitas masyarakat adat kian terganggu.
Wanda menambahkan, secara nasional AMAN mencatat, sejak 2014 telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat seluas 8,4 juta hektar (ha) dan setidaknya 678 orang dari komunitas adat dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat. Sebanyak lebih kurang 10 kasus di antaranya berada di Kalimantan Tengah, yang mirisnya sampai memakan korban jiwa.
Kasus di Desa Bangkal, kata Wanda, menewaskan Gijik (35), salah satu anggota Komunitas Adat Bangkal, Kabupaten Seruyan. Belum lagi penangkapan sejumlah pengurus dan anggota komunitas adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, lalu konflik di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, serta sejumlah konflik lainnya di Kabupaten Barito Timur dan Barito Utara.
”Kasus itu didominasi konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan, baik perkebunan sawit maupun perusahaan tambang,” ungkap Wanda.
Kasus-kasus tersebut, kata Wanda, sudah cukup membuktikan bahwa masyarakat adat selalu yang paling dirugikan dalam konflik agraria. Ditambah lagi, sejak 15 tahun lalu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal, kebijakan itu dinilai mampu membawa banyak perubahan, terutama soal perlindungan masyarakat adat beserta ruang hidupnya.
”Ini yang membuat kami melihat masyarakat berada di tepi jurang,” ujar Wanda.
Baca juga: Tumpang Tindih Lahan Hutan Berujung Konflik di Kalteng
Wanda juga mengingatkan kembali bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawa Cita yang hingga di ujung masa jabatannya belum terwujud.
Dalam kegiatan tersebut, hadir pula Direktur LBH Kota Palangkaraya Aryo Nugroho dan Direktur Walhi Kalteng Bayu Herinata. Selain itu, hadir juga Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalimantan Tengah Irene Lambung.
Aryo justru memiliki pandangan lain soal masyarakat adat. Menurut dia, masyarakat adat justru sudah berada di dalam jurang.
”Sudah tidak di tepi lagi, tapi sudah di dalam jurang, persoalannya apakah hidup atau tidak di dalam itu yang harus didiskusikan lagi,” ujarnya.
Aryo menjelaskan, di Kalimantan Tengah, masyarakat adat tidak hanya kehilangan ruang hidupnya, tetapi juga dibatasi aktivitasnya. Seperti larangan membakar yang membuat berbagai macam tradisi adat Dayak mulai pudar, lalu benih-benih padi lokal yang sudah berusia ratusan tahun juga hilang karena sebagian besar peladang tradisional sudah tidak berladang lagi.
Kebijakan soal larangan membakar itu, menurut Aryo, berdampak pada banyak sisi kehidupan masyarakat adat yang membuat dirinya menyimpulkan masyarakat adat sudah bukan berada di tepi jurang, melainkan di dalam jurang.
”Apalagi, secara hukum dan kebijakan, bisa dilihat eksistensi masyarakat adat itu ditentukan oleh pemerintah. Hal ini membuat banyak komunitas adat tidak diakui dan tidak mendapatkan perlindungan,” kata Aryo.
Hal serupa juga disampaikan oleh Bayu Herinata. Bayu menjelaskan, banyak masyarakat adat dikriminalisasi lantaran aparat penegak hukum tidak melihat konflik agraria sebagai pemicu tindakan pidana.
Bayu mengatakan, dalam dua sampai tiga tahun terakhir di Kalteng terjadi berbagai macam kasus pemanenan tandan sawit yang dilakukan masyarakat saat menuntut haknya. Sayangnya, strategi untuk membuka keran komunikasi itu justru berujung penjara.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawa Cita yang hingga di ujung masa jabatannya belum terwujud.
”Pemerintah dan aparat menyebut itu penjarahan, kalau kami melihat itu merupakan bagian dari upaya masyarakat mendapatkan haknya,” kata Bayu.
Irene Lambung menambahkan, perempuan adat juga tidak terlepas dari konflik agraria. Mereka adalah kelompok yang paling terdampak dari konflik tersebut, terutama ketika ruang-ruang hidup mereka dirampas.
”Apa yang terjadi di Kinipan, Bangkal, Penyang, dan daerah konflik lainnya itu merupakan bentuk upaya masyarakat adat mempertahankan ruang hidup mereka dan sumber kehidupan mereka,” kata Irene.
Baca juga: Dalam Konflik Agraria di Kalteng Kelompok Perempuan Paling Terdampak
Sebelum diskusi ditutup, AMAN Kalteng mengeluarkan Sembilan poin tuntutan, yaitu desakan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, desakan mengeluarkan perda atau SK Bupati dan wali kota terkait pengakuan masyarakat adat.
Lalu, mereka meminta aparat penegak hukum untuk berhenti melakukan kriminalisasi dan intimidasi, mendesak aparat untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, mengadili aparat pelaku penembakan Gijik.
AMAN Kalteng juga menyatakan sikap untuk menolak aturan atau regulasi yang melarang membakar untuk masyarakat adat, meminta pemerintah membuat regulasi khusus terkait peladang, dan yang terakhir mendorong lembaga-lembaga adat lainnya agar ikut bersuara dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.