Terlibat dalam Seruan Selamatkan Demokrasi, Guru Besar UGM Dapat Pesan Berisi Hinaan
Usai terlibat dalam seruan terkait demokrasi, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro menerima pesan berisi hinaan.
Oleh
HARIS FIRDAUS, REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Koentjoro, menerima sejumlah pesan berisi hinaan dari orang tak dikenal. Pesan-pesan yang disampaikan melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial itu berkait dengan keterlibatan Koentjoro dalam penyampaian seruan dari kampus yang mendorong upaya penyelamatan demokrasi di Indonesia.
Koentjoro merupakan salah satu akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terlibat aktif dalam penyampaian seruan terkait kondisi demokrasi di Indonesia. Pada 31 Januari 2024, dia hadir dalam pembacaan Petisi Bulaksumur oleh para sivitas akademika UGM di Balairung UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam petisi itu, sivitas akademika UGM, antara lain, meminta Presiden Joko Widodo dan jajarannya untuk kembali kepada koridor demokrasi. Dalam kesempatan tersebut, Koentjoro menjadi perwakilan sivitas akademika UGM yang membacakan Petisi Bulaksumur.
Selain itu, Koentjoro juga hadir dalam acara Kampus Menggugat di Balairung UGM pada Selasa (12/3/2024). Dalam acara tersebut, para akademisi, antara lain, mengajak sejumlah pihak untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Koentjoro menjadi salah satu akademisi yang menyampaikan orasi dalam kegiatan itu.
Saat dihubungi, Minggu (17/3/2024), Koentjoro mengaku mendapat pesan dari orang tak dikenal melalui aplikasi Whatsapp serta media sosial Facebook dan Instagram. Para pengirim pesan itu mengejek sikap Koentjoro yang terlibat dalam seruan kampus yang mengkritik pemerintah.
”Mereka mengejek kenapa saya yang sudah tua ini mau ikut-ikutan membacakan petisi. Ada yang menuduh hal itu saya lakukan karena bertujuan mengejar jabatan. Dan ada pula yang menuduh saya adalah pendukung dari pasangan calon presiden tertentu,” kata Koentjoro.
Menurut Koentjoro, pesan-pesan tersebut diterimanya sebelum dan setelah pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari lalu. Sebelum pencoblosan, Koentjoro mendapat pesan semacam itu melalui Instagram dan Facebook dari empat sampai lima akun berbeda.
Selain itu, beberapa hari sebelum pemungutan suara Pemilu 2024, kantor Koentjoro juga sempat didatangi seseorang yang tidak dikenal. Orang itu mencari Koentjoro, tetapi tidak berhasil bertemu karena sang guru besar tak ada di kantor. Karena tak berhasil bertemu Koentjoro, orang itu akhirnya marah-marah kepada anggota satpam yang bertugas.
”Saya sedang tidak berada di kantor. Namun, orang tersebut terus-menerus memaksa untuk masuk. Dia bersikeras ingin bertemu karena mengaku sudah menempuh perjalanan jauh dari Kalimantan,” ucap Koentjoro.
Koentjoro menambahkan, pesan semacam itu terakhir diterimanya sekitar satu sampai dua hari lalu melalui aplikasi Whatsapp. Di profil Whatsapp pengirim pesan itu tertera keterangan nama dengan tambahan tulisan ”KPK”. Seperti diketahui, singkatan KPK umumnya mengacu pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meski begitu, Koentjoro mengaku tidak takut saat menerima pesan itu. ”Saya menyebutkan bahwa penggunaan nama KPK untuk menakut-nakuti orang lain adalah tindakan melanggar hukum dan bisa dilaporkan,” ujarnya.
Koentjoro menambahkan, pesan-pesan tersebut tak menyurutkan niat dan semangatnya untuk terus mengkritisi pemerintah demi menyelamatkan demokrasi. Dia juga menilai, pesan-pesan itu bukan merupakan teror, melainkan sekadar bullying.
”Selaku dosen, tindakan menyerukan kritik bagi pemerintah adalah bagian dari tugas kami memberikan edukasi kepada masyarakat banyak,” ucapnya.
PSP UGM Didatangi
Selain Koentjoro, kantor Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM juga sempat didatangi oleh orang tak dikenal. Staf PSP UGM, Hari Widodo, menuturkan, orang itu datang ke kantor PSP UGM beberapa hari setelah pembacaan Petisi Bulaksumur atau sekitar awal Februari 2024.
Menurut Hari, orang yang mengaku datang dari Kalimantan itu mencari Kepala PSP UGM Agus Wahyudi. Namun, orang itu tidak bisa bertemu Agus karena Agus sedang berada di luar negeri. Oleh karena itu, orang tersebut kemudian ditemui oleh staf PSP UGM.
Hari memaparkan, orang itu mengaku datang ke kantor PSP UGM karena lembaga itu ikut terlibat dalam perumusan Petisi Bulaksumur. Orang itu juga menyampaikan ketidaksetujuan terhadap Petisi Bulaksumur.
”Sebelum datang ke PSP, orang itu mengaku datang ke Fakultas Psikologi UGM untuk mencari Prof Koentjoro sebagai orang yang membacakan Petisi Bulaksumur,” kata Hari saat dihubungi, Minggu siang.
Selaku dosen, tindakan menyerukan kritik bagi pemerintah adalah bagian dari tugas kami memberikan edukasi kepada masyarakat banyak.
Hari menambahkan, saat berada di kantor PSP UGM, orang itu sempat berteriak-teriak. Akibatnya, sejumlah pengunjung kafe di lingkungan kantor PSP UGM menjadi terganggu. ”Menurut laporan dari pengelola kafe, memang keberadaan orang itu mengganggu tamu-tamu yang ada di kafe. Selain suaranya keras, penampilannya juga menakutkan karena seperti orang marah,” ungkapnya.
Kepala PSP UGM Agus Wahyudi mengatakan, pusat studi itu memang terlibat aktif dalam perumusan Petisi Bulaksumur. Agus pun hadir secara langsung dalam pembacaan petisi tersebut. Selain itu, Agus juga datang dalam acara Kampus Menggugat beberapa hari lalu.
Di sisi lain, Agus menyatakan, PSP UGM terbuka untuk siapa pun yang ingin datang untuk mencari informasi ataupun berdiskusi. ”Kita di UGM itu terbuka. Enggak ada yang kita sembunyikan. Kalau, misalnya, mau datang cari informasi dan berdiskusi, ya, pasti kita jelaskan,” ucapnya.